Senin, 18 Oktober 2010

Kriteria Untuk Identifikasi Fitokimia

Kriteria Untuk Identifikasi Fitokimia
suatu senyawa yang telah dikenal dan diketcmukan lagi di dalam tumbuhan baru, dapat diidentifikasi berdasarkan pembandingan kromatografi dan spektrum dengan senyawa asli. Cuplikan asli dapat diperolch dari perusahaan niaga kimia (lihat Lampiran B), dengan cara isolasi ulang dari sumber yang telah diketahui, atau, sebagai usaha terakhir, dengan meminta kepada pencliti yang pcrtama kali mengisolasi dan mcmaparkannya. Sampai sebcrapa jauh kita harus melakukan pembandingan bergantung pada golongan senyawa yang ditelaah. Tetapi, sebagai pedoman umum, dapat dikatakan kita hams menggunakan sebanyak mungkin kriteria untuk mcyakinkan kebenaran identifikasi .
Pembandingan kromatografi harus didasarkan kepada ko-kromatog-rafi senyawa dengan senyawa asli, tanpa pemisahan, paling sedikit dalam cmpat sistcm. Bila KLT merupakan dasar utama pembanding-.an, jelas ada keuntungannya bila digunakan pcnjerap yang berlainan (misalnya selulosa dan silika gel) di samping pengembang yang ber­lainan pada satu jenis penjerap (tabel 1.5). Bila mungkin, kita harus membandingkan senyawa tak dikenal itu dengan senyawa pemban-ding dengan menggunakan tiga kriteria kromatografi yang jelas. Kriteria itu misalnya waktu retensi pada KGC, KCKT dan Rp pada KLT; atau Rp pada KKt, KLT dan pergerakan nisbi pada elektrofo-resis. Demikian juga untuk pembandingan spektrum harus digunakan dua cara atau lebih. Idealnya, semua spektrum UV, IM, dan RMI - ^1 harus dibandingkan.
Pada senyawa tumbuhan baru biasanya kita dapat saja menentukan strukturnya berdasarkan pengukuran spektrum dan kromatografi, terutama yang bertalian dengan spektrum dan kromatografi senyawa yang sudah dikenal dalam deret yang sama. Peyakinan struktur dapat dilakukan dengan pengubahan kimia. dan menjadikannya senyawa yang sudah dikenal. Pada waktu lampau, tahap penting dalam identi­fikasi struktur ialah menentukan rumus molekul dengan cara mikro-analisis sekurang-kurangnya dengan menentukan karbon dan hidrogen. Mikroanalisis yang demikian masih tetap diperlukan, tetapi bila kita hanya mempunyai beberapa mikrogram senyawa, sekarang dapat saja kita mengukur massa ion molekul dengan tepat, yaitu dengan spek-trometer massa (lihat bagian 1.4.4 dan tabel 1.5). Pada senyawa baru, membuat turunannya bermaniaat pula, misalnya membuat asetat, eter metil, dan sebagainya, karena analisis senyawa turunannya itu akan menambah peyakinan mengenai rumus molekul senyawa asal-nya.
Analisis hasil
Analisis Kualitatif
Banyak analisis tumbuhan yang dicurahkan pada isolasi dan identi­fikasi kandungan sekunder dalam jenis tumbuhan khusus atau se-kelompok jenis tumbuhan, dengan harapan ditemukan beberapa kandungan yang strukturnya baru atau tidak biasa. Tetapi; perlu kita ketahui bahwa banyak dari komponen yang mudah diisolasi itu merupakan senyawa yang biasa dijurnpai atau terdapat umum dalam tumbuhan. Sukrosa mungkin mengristal dari pekatan ekstrak air tumbuhan dan sitosterol dari fraksi fitosterol. Komponen yang lebih menarik sering kali berupa komponen yang kadarnya lebih rendah.
Bila diperoleh senyawa yang strukturnya jelas-jelas baru, haruslah diperiksa dengan teliti apakah senyawa tersebut memang belum pernah dilaporkan. Harus pula diteliti dalam berbagai pustaka yang ada (misalnya ensiklopedia terpenoid yang baru, Glasby, 1982), tetapi, di samping itu, diperlukanjuga penelusuran Chemical abstract secara tuntas.  
Alasan lain melakukan analisis fitokimia ialah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologi. Dalam hal ini kita harus memantau cara ekstraksi dan pe-misahan pada setiap tahap, yaitu untuk melacak senyawa aktif tersebut sewaktu dimurnikan. Kadan'g-kadang keaktifan hilang selama proses fraksinasi akibat ketidakmantapan senyawa itu, dan akhirnya mungkin saja diperoleh senyawa berupa kristal tetapi tanpa keaktifan seperti yang ditunjukkan oleh ekstrak asal. Kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa aktif selama proses isolasi dan pencirian harus selalu tertanam dalam ingatan.
Demikian juga, haruslah disadari bahwa pembentukan senyawa jadian merupakan hal yang biasa dalam analisis tumbuhan. Banyak senyawa yang terdapat dalam jaringan tumbuhan sangatlah labil, dan, hampir tak terelakkan, mungkin berubah selama ekstraksi. Pigmen plastid, yaitu klorofil dan karotenoid, mudah berubah selama kromatografi (lihat bab 3 dan 4 ). Semua glikosida tumbuhan mungkin terhidro-lisis sedikit, baik secara enzimatis maupun secara takenzimatis selama proses isolasi, sementara ester mungkin mengalami transesterifikasi dengan adanya pelarut alkohol. Terpena atsiri mudah mengalami tata-ulang molekul selama penyulingan uap (bab 3) dan mungkin terjadi perasematan (rasemisasi) kandungan yang aktif optik bila tidak dilakukan tindakan pencegahan. Protein pun mungkin menjadi sasaran pro tease selama isolasi (lihat bab 7).
Selanjutnya, senyawa jadian mungkin masuk tanpa disengaja dari perlengkapan laboratorium selama pemurnian. Senyawa tinambah yang paling umum ialah butil isoftalat, yaitu pemlastik atau peliatyang hampir selalu mencemari ekstrak tumbuhan. Senyawa tersebut me-„ benar-benar pernah dilaporkan sebagai kandungan tumbuhan walau pun sumbernya jelas, yaitu dari botol cuci plastik yang di-(ninakan oleh petugas selama isolasi. Untuk menghindari senyawa adian ekstrak tumbuhan kasar harus diperiksa untuk mengetahui oakah senyawa yang dapat diisolasi setelah pemurnian yang meluas itu betul-betui terdapat dalam ekstrak asal.
Analisis kuantitatif
Penentuan kuantitas komponen yang ada dalam ekstrak tumbuhan sama pentingnya dengan penentuan kualitatif ekstrak tumbuhan ter­sebut. Pada pendekatan yang paling sederhana data kuantitatif dapat diperoleh dengan menimbang banyaknya bahan tumbuhan yang dieunakan semula (seandainya jaringan kering) dan banyaknya hasil yang diperoleh. Hasil demikian, yang berupa persentase dari ke-seluruhan, merupakan angka minimum karena adanya bahan yang hilang selama pemurnian tidaklah terelakkan. Besarnya kehilangan dapat diperkirakan dengan menambahkan senyawa murni yang di-ketahui bobotnya ke dalam ekstrak kasar, lalu pemurnian diulangi dan banyaknya senyawa yang diperoleh kembali ditentukan. Bila kita mengekstraksi jaringan segar, diperlukan faktor konversi (kebanyakan daun tumbuhan mengandung air 90%) untuk menyatakan hasil sebagai persentase bobot kering.
Pengukuran kuantitatif dapat juga dilakukan pada serbuk kering bahan tumbuhan untuk menentukan kadar total gula, nitrogen, pro­tein, fenol, tanin, dan sebagainya. Beberapa cara yang dapat diguna-kan akan dibicarakan dalam bab-bab berikut. Cara tersebut mungkin saja tidak lepas dari kesalahan karena gangguan dari komponen lain. Apakah penentuan kuantitatif yang demikian itu mempunyai nilai dan segi, misalnya saja, banyaknya 'pemangsaan' yang diderita organ tumbuhan tertentu, masih memerlukan penilaian.
Secara ideal, dalam pengukuran kuantitatif, kuantitas masing-maSing komponen dalam golongan senyawa tertentu perlu ditetapkan, dan im sekarang dapat dilakukan dengan mudah secara KGC atau KCKT. Misalnya, banyaknya asam lemak yang terikat dalam lipid netral dapat ditentukan dengan cara yang betul-betui terulangkan. Ini dapat dilakukan dengan penyabunan, lalu pembentukan ester metil, dan kemudian pengukuran kuantitatif secara KGC (bab 4). Demikian juga pengukuran KCKT dapat digunakan untuk menentukan banyaknya P^men flavonoid dalam berbagai varietas dan genotipe bunga kebun.
Sudah jelas bahwa mengulang pengukuran merupakan hal yang penting agar pengukuran tersebut dapat dinilai secara statistik, tetapi hal ini kadang-kadang tidak diperhatikan. Perbedaan kuantitas yang disebabkan oleh parameter lingkungan hams dihilangkan dan pen-cuplikan harus memperhatikan umur dan tempat-tumbuh tumbuhan. Petunjuk mengenai hal ini terdapat dalam kebanyakan buku ajar tumbuhan mutakhir, tetapi sebaiknya dilihat juga buku Paech dan Tracey (1956-1964).
Penggunaan
Umum
Sekarang prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam semua cabang ilmu tumbuhan, walau pun sebelumnya tidaklah selalu dcmikian. Meski pun cara ini sudah jelas penting dalam semua telaah kimia dan biokimia, penggunaanya dalam lingkungan biologi yang lebih ketat baru dalam dua dasa warsa tcrakhir ini saja. Dalam disiplin yang tampaknya jauh dari laboratorium kimia pun, scperti sistematika, fitogeografi, ekologi, dan paleobotani, cara fitokimia telah menjadi penting untuk memecahkan jcnis masalah tertentu. Tidak dapat diragukan lagi, cara fitokimia ini akan makin banyak digunakan dalam semua bidang tersebut di masa mcndatang.
Dalam buku ini hanya disebutkan beberapa saja dari penggunaan cara fitokimia yang banyak itu. Beberapa penggunaan yang sudah nyata dalam pertanian, industri makanan dan gizi, serta pcnelitian farmasi memang sudah sepantasnya. Penggunaan berikut dikcmukakan hanya untuk memberikan gambaran mengenai nilai cara fitokimia dalam cabang utama ilmu tumbuhan.
Fisiologi tumbuhan
Sumbangan utama telaah fitokimia kepada fisiologi tumbuhan yang tak dapat diragukan lagi ialah pada penentuan struktur, asal-usul biosintesis, dan ragam kerja hormon tumbuhan alam. Sebagai hasil kerja sama yang terus menerus antara fisiologiwan dan fitokimiawan selama tahun-tahun belakangan ini sekarang telah dikenal lima golongan pengatur tumbuh: auksin, sitokinin, absisin, giberelin, dan etilena. Cara deteksi yang berbeda-beda pada KGC, KLT, dan KKt dibahas kemudian sebagai berikut: auksin (h. 250), sitokinin (h. 257), absisin (h. 138), dan giberelin (h. 145). Salah satu segi istimcwa pada hormon golongan giberelin ialah besarnya jumlah struktur yang di-
ketahui (lebih dari 60), dan rupanya semuanya mempunyai jangka sifat pengatur tumbuh yang serupa. Kebutuhan akan cara yang tepat' mituk mendeteksi dan membedakan giberelin yang satu dari yang lainnya menghasilkan pengembangan gabungan KG-SM untuk analisis tersebut. Cara yang lebih terinci terdapat dalam buku umum niengenai cara isolasi senyawa pengatur tumbuh yang disunting oleh Hillman (1978). Persyaratan yang diperlukan untuk analisis hormon yang teliti telah dibahas dengan kritis oleh Reeve dan Crozier (1980). Suatu tinjauan ulang yang baik sekali mengenai cara terbaru, ter-inasul< 'radioimmunoassay' ialah tinjauan ulang Horgan (1981).
Patologi tumbuhan
Cara fitokimia penting bagi patologiwan, terutama untuk menentu-kan ciri atau sifat kimia dari fitotoksin (hasil sintesis mikroba yang terbentuk dalam tumbuhan tinggi bila tumbuhan tersebut diserang bakteria atau fungi) dan fitoaleksin (hasil metabolisme tumbuhan tinggi yang dibentuk sebagai jawaban terhadap serangan mikroba). Berbagai jenis struktur kimia yang berlainan terlibat dalam kedua hal tersebut. Fitotoksin yang paling dikenal ialah hkomarasmin dan asam fusarat, yaitu turunan asam amino yang merupakan senyawa pelayu pada tomat. Toksin lain yang telah diisolasi ialah glikopep-tida, naftokuinon, atau seskuiterpenoid (Durbin, 1981). Secara kimia beberapa fitotoksin labil sehingga diperlukan tindakan pencegahan khusus selama isolasi dan identifikasinya.
Demikian pula fitoaleksin mempunyai struktur yang berbeda-beda, bergantung pada sumber tumbuhan (Bailey dan Mansfield, 1982)'. Fitoaleksin dapat berupa seskuiterpenoid (risitin dari Solanum tu-berosum), isoflavonoid (pisatin dari Pisum sativum), asetilena (asam. wieron dari Vicia faba), atau senyawa fenol (orkinol dari Orchis militaris). Identifikasi isoflavonoid dan asetilena dipaparkan berturut-turut dalam bab 2 dan bab 5, dan suatu prosedur untuk mengimbas pembentukan fitoaleksin disajikan sebagai percobaan praktek dalam bab 2.                                                
Senyawa 'pra-infeksi' (kandungan sekunder alam), oleh beberapa patologiwan tumbuhan, dianggap penting sebagai penyebab ketahan-an tumbuhan terhadap penyakit. Senyawa yang diduga terlibat di dalamnya ialah senyawa fenol, seperti floridzin dalam apel dan tanin dalam frambus. Cara identifikasi senyawa demikian dibahas secara terinci dalam bab 2.
Dua bidang penelitian ekologi -yang mementingkan kandungan tum­buhan sekunder ialah antaraksi tumbuhan-hewan dan antaraksi tum-buhan-tumbuhan. Masalah analitik pada kedua bidang tersebut sulit karena jumlah bahan biologi yang tersedia bagi fitokimiawan sangat terbatas. Misalnya, dalam mengikuti nasib senyawa sekunder pada peristiwa pemakanan daun oleh serangga diperlukan telaah berbagai organ serangga untuk memeriksa tempat penyimpanan senyawa tersebut; telaah demikian itu sering kali rumit dan makan banyak waktu.
Senyawa yang sampai sekarang terutama diketahui terlibat dalam antaraksi tumbuhan-hewan ialah alkaloid dan glikosida jantung, glikosida minyak mostar, sianogen, steroid, atau terpena atsiri. Senyawa tumbuhan dapat berlaku sebagai penarik atau penolak makan, mempunyai pengaruh horrnon pada serangga, atau memper-lengkapi serangga dengan mekanisme pertahanan yang berguna terhadap hewan pemakan serangga (Harborne, 1982).
Antaraksi tumbuhan-tumbuhan melibatkan senyawa alelopati, yaitu senyawa yang dikeluarkan oleh suatu tumbuhan dari akar atau daun-nya untuk mencegah tumbuhnya jcnis tumbuhan lain di sekitarnya. Senyawa tersebut berupa terpena atsiri (misalnya sineol) atau asam fenolat sederhana, bergantung pada tempat tumbuhnya, apakah di daerah beriklim semitropik atau scdang. Telaah fitokimia alelopati mungkin sulit karena memerlukan pfientuan senyawa pada ekstrak daun utuh, pelepasan senyawa dari daun, dan juga cuplikan tanah. Kemungkinan perubahan senyawa aktif dengan cepat dalam tanah juga menyulitkan telaah dalam bidang ini.
Segi terapan penelitian antaraksi tumbuhan-hewan antara lain pengendalian gangguan serangga terhadap tumbuhan pertanian de­ngan pestisida alam atau buatan. Telaah fitokimia mungkin diperlu­kan untuk melacak nasib pestisida tersebut di lingkungannya. Per-kembangan terakhir mengenai hal ini telah ditinjau ulang oleh Huston dan Roberts (1983).
Paleobotani
Fitokimia barn belakangan ini saja digunakan untuk menelaah tum­buhan fosil, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa peranannya akan meningkat, misalnya dalam menguji berbagai hipotesis menge­nai asal-usul awal tumbuhan darat. Beberapa hasil fitokimia yang telah dicapai sekarang antara lain identifikasi pigmen klorofil yang telah terurai sebagiari dalam endapan lignit yang berumur 50 juta tahun identifikasi karbohidrat dalam tumbuhan zaman paleozoikum vane berumur 250—400 juta tahun, dan identifikasi hidrokarbon dalam Equisetum yang hidup pada zaman triasikum, berumur 200 juta tahun (Chaloner dan Alien, 1970). Bahan dinding tepung sari /polenin) dari tumbuhan fosil telah ditelaah juga dengan berhasil (Shaw, 1970), dan pada penguraian menghasilkan asam lemak dan asam fenolat yang dapat dikenali. Identifikasi terpena dalam damar fosil dan batu ambar fosil telah menghasilkan juga data baru yang sangat menarik perhatian dari segi filogenetik (Thomas, 1970). Peng-gunaan cara fitokimia pada paleobotani telah ditinjau ulang baru-baru ini oleh Niklas (1980).
Genetika Tumbuhan
Pada masa lampau sumbangan fitokimia kepada genetika tumbuhan tinggi ialah sebagai s.arana untuk mengidentifikasi antosianin, flavon, dan pigmen karotenoid yang terdapat dalam genotipe warna yang berbeda pada tumbuhan kebun. Hasilnya telah menunjukkan bahwa pengaruh biokimia gen ini mempunyai dasar yang sederhana dan telah menunjukkan kemungkinan alur pembuatan pigmen dalam organisme tersebut (Alston, 1964). Senyawa keturunan lainnya dalam tumbuhan (alkaloid, terpena, dan sebagainya) telah berhasil di-petakanjuga dengan telaah fitokimia.
Sumbangan fitokimia yang lebih baru kepada genetika ialah identi­fikasi tumbuhan hibrida dan penentuan asal-usul induknya dengan cara kimia. Fitokimia pun telah mendapat pengakuan yang meningkat sebagai sarana yang berguna, bersama-sama dengan sitologi, pada analisis variasi genetika dalam populasi tumbuhan (bandingkan Har­borne dan Turner, 1984).
Sistematika Tumbuhan
Salah satu bidang yang paling cepat berkembang dalam fitokimiapada saat ini ialah disiplin hibrida antara kimia dan taksonomi, yang di-kenal sebagai sistematika biokimia atau kemotaksonomi. Pada dasar-nya, kemotaksonomi ialah telaah kimia dalam kelompok tumbuhan yang terbatas, terutama mengenai kandungan sekundemya, dan juga makromolekul serta penggunaan data yang diperoleh untuk menggo-longkan tumbuhan (Harborne dan Tunner, 1984).Boleh jadi golongan senyawa yang paling bermanfaat untuk telaah yang demikian itu ialah flavonoid. Telaah mengenai banyak senyawa lain (khususnya alkaloid, asam amino nonprotein, terpena, dan scnyawa belerang) telah menghasilkan juga informasi baru yang ber-guna untuk taksonomi. Cara yang teliti itu penting, baik pada penja-ringan pendahuluan tumbuhan maupun pada analisis komponennya yang lebih terinci. Analisis kimia urutan asam amino protein tumbuhan juga telah dimanfaatkan sehubungan dengan masalah sis-tematika pada tingkat penggolongan tumbuhan yang lebih tinggi. Telah diperoleh hasil mengenai sitokrom C, plastosianin, dan fere-doksin; pengurutan asam nukleat tumbuhan telah menghasilkan juga data yang penting untuk taksonomi (Jensen dan Fairbrothers, 1983).


Sumber :
J.B. Harborne. 2006. Metode Fitokimia.Bandung (terbitan kedua): ITB

0 komentar:

Posting Komentar