BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dewasa ini, diarahkan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerintahan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
penyelenggaraan daerah. perlu memperhatikan hubungan antara susunan pemerintahan pusat dan antar pemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah serta aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan merata. Di samping itu perlu
diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar pemerintah daerah dapat menjalankan peranya sesuai dengan fungsi dan wewenang yang diberikan dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahan baik oleh pemerintah pada tingkat pusat, daerah maupun pemerintahan di tingkat desa.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah pada tingkat desa,
mau tidak mau menuntut adanya tindakan responsif di tingkat desa. Sehingga pemerintahan di tingkat desa tidak dapat menghindar dari adanya tuntutan
perubahan dalam era otonomi daerah tersebut, beberapa unsur aparat di tingkat desa seperti masyarakat Kepala Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) merupakan unsur penting dalam menjalani pemerintahan di tingkat desa, harus menjalani reposisi ataupun perubahan dalam cara pembentukan atau penetapannya dalam menyelenggarakan pemerintahan desa.
Seiring dengan perkembangan penyelenggaran otonomi daerah dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektivitasnya, untuk memberdayakan daerah yang harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Maka Lembaga Musyawarah Desa (LMD) diganti dengan Badan Perwakilan Desa (BPD), perubahan ini dilakukan sebagai konsekuensi dari adanya kebutuhan masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya sekaligus melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat di tingkat desa.
BPD dibentuk sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, yang berfungsi sebagai Lembaga Kemasyarakatan Desa dalam memberdayakan masyarakat desa dan sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.
Dengan demikian eksistensi BPD diharapkan dapat membawa perubahan demokratisasi di tingkat desa, untuk itu masyarakat diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menata pemerintahan sendiri melalui lembaga tersebut. Hal ini berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No. 64
Tahun 1999, disebutkan bahwa : "BPD adalah sebagai badan perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila"
Dengan adanya keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) dewasa ini, sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa seluruh wilayah Indonesia diharapkan dapat berfungsi sebagai lembaga pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa di seluruh Indonesia pada umumnya dan masyarakat desa yang ada di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo pada khususnya. Agar penyelenggaraan otonomi desa dapat dijalankan dan terselenggara dengan baik sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan'masyarakat.
Dalam kaitannya dengan implikasi tuntutan demokratisasi tersebut, paling tidak diperlukan adanya penyaluran atau pendistribusian kekuasaan di tingkat desa, agar kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah daerah tidak berada dalam satu tangan atau bersifat otoriter. Untuk itu dalam hal ini diperlukan adanya sistem pengawasan antara kekuasaan yang ada (Check And Balance), sehingga kekuasaan yang bersifat otoriter dan sentralistik dapat dihindari.
Berdasarkan kenyataan yang ada di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo, menunjukkan bahwa BPD dalam melaksanakan fungsinya sebagai mitra pemerintah desa dalam memberdayakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat saat ini belum terselenggara secara optimal, karena masih terdapat faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya di antaranya : (1) tidak adanya aturan tertulis mengenai masalah pertanggung jawaban hasil kerja BPD secara formal, dimana belum ada kejelasan kepada siapa dan bagaimana pertanggung jawaban hasil kerjanya; (2) warga masyarakat masih diliputi perasaan takut kalau harus mengawasi dan mengoreksi kinerja Kepala Desa, sehingga mereka lebih suka membicarakan di belakang atau tidak secara terbuka untuk menyampaikan keluhan kepada pihak lain yang dapat dipercaya dapat menindak lanjuti laporannya (3) masyarakat lebih suka menyampaikan aspirasmya kepada kepala bahwa dalam pengawasan terhadap jalannya pemerintah desa adalah dan wewenang BPD bukan masyarakat secara langsung, sehingga hal ini hambat jalannya fungsi BPD sebagai mitra pemerintah di tingkat desa.
Berkaitan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, memotivasi penulis mengangkat dan mengkaji masalah ini dengan mengadakan pendekatan keilmuwan melalui suatu penelitian yang diformulasikan dalam sebuah judul : factor - faktor Yang Menghambat Fungsi BPD Sebagai Mitra Pemerintah Desa (Penelitian Di Desa Tabongo Timur - Kecamatan Tabongo)".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan konteks penelitian yang ada, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian nanti dapat difokuskan sebagai berikut:
Faktor apa saja yang penghambat fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa di desa tabongo timur kecamatan tabongo?
Upaya-upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa di desa tabongo timur kecamatan tabongo ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo.
Untuk mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
Diharapkan dapat membentuk sikap ilmiah peneliti dalam mengkaji dan menelaah fenomena-fenomena sosial yang timbul dalam masyarakat sebagai salah satu wadah untuk mengembangkan Pendidikan Luar Sekolah di masyarakat, khususnya di bidang pemerintahan desa.
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah desa dan masyarakat untuk memberdayakan fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa.
Sebagai bahan informasi bagi Badan Perwakitan Desa untuk meningkatkan fungsinya sebagai mitra pemerintah desa dalam memberdayakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sebagai bahan kajian bagi peneliti lanjut yang ingin mengembangkan penelitian terhadap permasalahan ini.
BABII
KAJIAN TEORET1S
Hakekat Penyelenggaraan Pemerintahan Di Tingkat Desa
Prinsip dan Tujuan Penyelenggaraan Pemerintahan
Dalam sistem penyelenggaran pemerintahan Negara Indonesia, adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai pada tingkat pemerintah desa. Hal ini tentunya tidak akan lepas dari sistem pembagian kekuasaan atau urusan pemerintah pusat, daerah dalam rangka penetapan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Kaloh (2003:13) mengemukakan bahwa : prinsip "Negara Kesatuan" adalah meletakan kekuasaan/kewenangan atas semua urusan pemerintahan pada pemerintah pusat, dengan kata lain pemegang kekuasaan sepenuhnya berada ditangan "Pemerintah Pusat". Namun dalam rangka efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, "Urusan' tersebut dialirkan (dibagikan) kepada pemerintah daerah melalui konsep yang diberikan ke daerah tetapi memiliki batas.
Menurut Salam (2004:225) bahwa pemerintahan yaitu mekanisme-mekanisme, proses-proses, dan institusi-institusi melalui warga negara mengartikulasikan kepentingan mereka, memediasi perbedaan-perbedaan mereka, serta menggunakan hak dan kewajiban legal mereka. Lembaga pemerintahan merupakan proses lembaga-lembaga publik, mengatasi masalah-masalah publik, axengelola sumber daya publik dan menjamin realisasi hak asasi manusia. Sehingga dalam konteks ini pemerintahan memiliki hakikat yang esensial yaitu bebas dari penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Dalam hubungannya dengan pengaturan sistem Rembagian urusan pusat dan daerah Philipus Hadjon (2002:24) mengemukakan bahwa : "Pembagian kekuasaan/urusan secara vertikal dalam negara kesatuan menurut hukum tatanegara dikenal sebagai Desentralisasi Teritorial (territoriele decentralizate)
Dengan pengertian "Desentralisasi" adalah sebagai penyerahan tugas atau urusan kepada pemerintah tingkat bawah. Pandangan mengenai pemerintah daerah menurut Bagir Manan (1997:70) menyatakan bahwa sejalan dengan ketata negaraan sudah sejak semula meletakkan otonomi daerah atau pemerintahan daerah sebagai salah satu sendi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen mewujudkan kesejahteraan umum, otonomi daerah merupakan cara memelihara negara kesatuan.
Untuk itu dalam pengaturan "Sistem Pembagian Urusan otonomi Daerah / Pemerintah Daerah", perlu dipahami beberapa ajaran mengenai isi dan luasnya pemerintahan, seperti diuraikan oleh Rochmat (1993:23) bahwa dalam hal ini dikenal 3 (tiga) ajaran yang terkenal mengenai isi dan luasnya otonomi atau pemerintahan yaitu : (1) Pengertian/ajaran rumah tangga secara materil yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang diperinci secara tegas didalam rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu persatu secara tegas. (2) Pengertian/ajaran rumah tangga secara formil, tidak ada perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah, bila disini dilakukan pembagian tugas, maka hal ini didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan yang rasional dan praktis, keyakinan kepentingan daerah dapat lebih baik dan berhasil diselenggarakan oleh masing-masing daerah dari pada pemerintah pusat. (3) Pengertian/ajaran rumah tangga secara riil, yaitu suatu sistem yang berdasarkan keadaan dan faktor-faktor nyata, sehingga tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik dalam daerah itu sendiri maupun dengan pemerintahan R.I.
Muljadi (2005:97) mengemukakan bahwa pembagian urusan pemeritahan dalam negara kesatuan R.I, dalam hal ini urusan pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara vertikal yaitu pembagian dari pemerintah pusat dengan penyerahan urusan dimaksud kepada pemerintah daerah, yang meliputi pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, Kota sampai pada tingkat desa. Disamping itu juga dilaksanakan pemerintahan secara horizontal, yaitu pembagian urusan pemerintahan diluar urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dari pimpinan pusat kepada perangkat pemerintah pusat dan pembagian urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah, dari pimpinan Kabupaten/Kota kepada perangkat pemerintah daerah, serta pemerintah desa yang menjalankan otonomi desa.
Dengan_demikian pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan dalam penyatuan sistem pembagian urusan pusat dan daerah senantiasa dilaksanakan pada area atau wilayah guna kepentingan masyarakat daerah otonomi Kabupaten/Kota dan Desa dalam daerah Provinsi yang bersangkutan. Berarti pendapat tersebut akan sesuai bila berlandaskan posisi daerah Provinsi tersusun dengan daerah Kabupaten/Kota" sampai pada tingkat desa.
Bertitik tolak uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan suatu negara diselenggarakan berdasarkan "Kewenangan Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan" yang dimiliki pemerintah negara, oleh perangkat pemerintahan yang bersangkutan, termasuk pemerintahan daerah sampai pada tingkat desa.
2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan otonom, pembagian urusan pemerintah tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah, urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Mustafa (1990:42) mengemukakan penyelenggaraan pemerintah dapat dibagi dalam 4 (empat) fungsi atau yang disebut dengan istilah "Catur Praja" yaitu : (1) Fungsi pemerintahan dalam arti sempit (Bestuur) (2) Fungsi kepolisian yang menjalankan preventif Rechhtszorg terhadap tertib hukum dalam usahanya untuk memelihara tata tertib masyarakat; (3) Fungsi mengadili yaitu menyelesaikan sengketa-sengketa; (4) Fungsi membuat. Sedangkan penyelenggaraan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa pembagian atau bentuk-bentuk urusan pemerintahan adalah meliputi : (1) Fungsi "Bestuwszorff melaksanakan kesejahteraan umum;
(2) Fungsi "Bestuur" menjalankan Undang-Undang; "(3) Fungsi kepolisian;
(4) Fungsi membuat peraturan.
Dengan demikian untuk bentuk-bentuk urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan desentralisasi meliputi, urusan pemerintahan dibidang politik, luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisial dan agama. Namun disamping itu masih terdapat banyak urusan pemerintahan yang bersifat "Concurrent artinya urusan pemerintahan yang penangganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga setiap urusan yang bersifat "Concurrent" senantiasa ada bagian umum yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan pada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota/Desa.
3. Penyelenggaraan Pemerintahan Di Tingkat Desa
Terkait dengan kedudukan pemerintah desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan darr menyelenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif (Marsono, 1985:7).
Otonomi yang dimiliki oleh desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dan pemerintah daearah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa diluar desa geneologis yaitu yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa
ataupun transmigrasi, dan alasan lain seperti warga pluralistis, majemuk atau heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, Salam (2004:226) memberikan dua pemahaman yaitu : (1) Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial; (2) Aspek-aspek fangsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut;
Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Untuk Badan Perwakilan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya. Disamping itu untuk membantu penyetenggraan pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangkat desa yaitu sekretaris desa, dan kepala-kepala dusun yang merupakan unsur penting dalam menjalankan atau menyelenggarakan pemerintahan di desa.
B. Hakikat Fungsi BPD Sebagai Mitra Pemerintah Desa
1. Pengertian dan Kedudukan BPD
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang tentang otonomi daerah (UU No. 22 Tahun 1999), sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, kedudukan Badan Perwakilan Desa (BPD) pada waktu itu dikenal dengan istilah "Lembaga Musyawarah Desa" sebagai unsur penting dalam menjalankan demokrasi ditingkat desa.
Untuk keanggotaan "Lembaga Musyawarah Desa" dalam ketentuan ini terdiri dari kepala desa karena jabatannya menjadi ketua "Lembaga Musyawarah Desa" dan sekretaris desa karena jabatannya menjadi sekretaris "Lembaga Musyawarah Desa" merupakan wadah dan penyalur pendapat masyarakat desa dalam mengambil bagian terhadap pembangunan desa yang keputusan-keputusannya ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan memperhatikan kenyataan hidup dan berkembang dalam masyarakat yahg bersangkutan.
Setelah diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, nama "Lembaga Musyawarah Desa" ditiadakan dan diganti dengan "Badan Perwakilan Desa", selanjutnya dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Istilah Badan Perwakilan Desa-diganti dengan "Badan Permusyawaratan Desa", perubahan ini sesuai dengan konsekuensi adanya perbedaan dalam cara pembentukan atau penetapan anggota BPD.
Dalam ketentuan Undang-Undang ini Badan Perwakilan Desa (BPD) dibentuk sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Sehingga dalam hal ini BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Untuk keanggotaan Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah diangkat dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat serta syarat dan tata cara penetapan anggota dari pimpinan Badan Perwakilan Desa dalam perda yang berpedoman pada peraturan pemerintah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Badan Perwakilan Desa mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pemerintah desa dan menjadi mitra dari pemerintah desa serta BPD sebagai perwujudan penyelenggaraan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah di desa.
2. Tugas dan Fungsi BPD Sebagai Mitra Pemerintah Desa
Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dibentuk sebagai perwujudan penyelenggraaan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan ditingkat desa, dalam ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, maka Badan Perwakilan Desa mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Tugas Badan Perwakilan Desa :
Adapun tugas Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah sebagai berikut :
Memberikan persetujuan atas pengangkatan perangkat desa; (2) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; (3) Bersama-sama dengan kepala desa menerapkan peraturan desa; (4) Bersama-sama dengan pemerintah desa menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa; (5) Menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.
b. Wewenang Badan Perwakilan Desa
Berkaitan dengan wewenang Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah-sebagai berikut: (1) Meminta pertanggung jawaban Kepala Desa; (2) Menilai, menerima, atau menolak pertanggung jawaban Kepala Desa; (3) Meminta keterangan Kepala Desa; (4) Mengadakan perubahan rancangan peraturan desa; (5) Menetapkan peraturan tata tertib desa
Berkaitan dengan tugas dan wewenang Badan Perwakilan Desa (BPD) diatas, maka sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, Badan Perwakilan Desa mempunyai fungsi:
Mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan
berkembang didesa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan;
Legislasi yaitu merumuskan dan menetapkan peraturan desa bersama-sama
pemerintah desa;
Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa,
anggaran pendapatan dan belanja desa serta kepastian-Kepala Desa;
Menampung aspirasi masyarakatyaitu menangani dan menyalurkan aspirasi
yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang
Dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan dalam Pasal 209 bahwa : "Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat".
Dari fungsi BPD tersebut dapat dikatakan bahwa BPD mempunyai hak meminta pertanggungjawaban kepada desa, menilai, menerima atau menolak pertanggungjawaban kepala desa, meminta keterangan kepada kepala desa, mengadakan perubahan rancangan peraturan desa serta menerapkan tata tertib BPD (http://www.prov.go.id/v2/mdex.php/id/2005/02/05/74/.phtmn
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Badan Perwakilan Desa berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan berfungsi sebagai mitra kerja pemerintah desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, dan keputusan Kepala Desa serta menampung dan menindaki atau menyalurkaan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang.
C. Faktor-Faktor Yang Menghambat Fungsi BPD Sebagai Mitra Pemerintah
Desa
Kunci utama memahami pemerintahan yang baik termasuk di-tingkat desa adalah pemahaman-atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip mi maka didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan, Baik buruknya pemerintahan bisa dinilai, bria ia telah bersinggungan dengan semua unsur faktor-faktor yang mempengaruhi pemerintahan yang baik. Menurut Wasistiono (2006:22) meliputi : (1) partisipasi (participation); {2) penegakan aturan (rule of law); (3) transparansi (transparancy); (4) daya tanggap (responsiveness); (5) berorientasi pada konsensus (consensus orientatio'); (6) keadilan/kesetaraan (equity); (7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness dan efficiency); (8) akuntabilitas (accountability); (9) visi strategis (strategic vision).
Faktor-faktor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang berkaitan secara langsung menghambat fangsi Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai mitra pemerintah desa, yaitu meliputi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Rendahnya tingkat partisipasi (participation)
Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyalurkan aspirasinya, atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara kontruktif seperti : (a) ada rasa kesukarelaan dan tanpa paksaan; (b) ada keterlibatan secara emosional; (c) memperoleh manfaat secara langsung dan tidak langsung dari keterlibatannya.
2. Kurangnya transparansi (transparancy)
Transparansi adalah keterbukaan mencakup semua aspek aktivitas yang-menyangkut kepentingan masyarakat, mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana sampai pada tahapan evaluasi pelaksanaan program pembangunan di desa.
Menurut Salam (2004:228) transparansi dapat dilihat pada tiga aspek yakni: (a) adanya kebijakan yang terbuka terhadap pengawasan pembangunan di desa; (b) adanya akses infonnasi sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakan pemerintah desa; (3) berlakunya prinsip check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan.
3. Kurangnya daya tanggap (responsiveness)
Pemerintah harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder atau kepentingan masyarakat dalam berbagai level kepentingan, karena selama ini pemerintah dianggap tertutup terhadap penyelenggaraan pemerintahan, arogan dan berorientasi pada kekuasaan.
4. Kurangnya keadilan/kesetaraan (equity)
Setiap warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan, walaupun kemampuan individu berlainan, namun kadang kala kesejahteraan dan keadilan tidak seiring sejalan.
5. Terbatasnya akuntabilitas (accountability)
Pertanggungjawaban setiap aktivitas pemerintah desa secara menyeluruh kepada masyarakat atas setiap aktivitas yang dilakukan, masih terbatas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang menghambat fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa adalah : rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, kurangnya transparansi, daya tanggap, tidak adahya kesetaraan, dan rendahnya akuntabilitas publik. Untuk itu dalam mendukung fungsi BPD di tingkat Desa harus dibangun dalam kerangka kebebasan, aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas dan terbuka, sehingga masyarakat dapat mempertanyakan tentang mengapa suatu keputusan dibuat, atau apa kriteria yang digunakan sehingga mereka dapat mengontrol, memonitor kegiatan pemerintah desa beserta proses kerjanya, tanpa
ada yang harus ditutup-tutupi dalam proses perumusan kebijakan dan tindakan pelaksanaannya.
D. Upaya-Upaya Peningkatan Fungsi BPD Sebagai Mitra Pemerintah Desa
Hubungan seperti apa yang kelak akan dibangun antara masyarakat dan pemerintah untuk mendukung fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa ? jawabannya, menuntut adanya hubungan langsung antara pemerintah dengan warganya yang demokratis, yaitu pemerintahan yang menekankan pentingnya membangun proses pengambilan keputusan publik yang sensitif terhadap suara-suara komunitasnya, yang akan melahirkan pemerintahan yang baik.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, Asmo (2004:25) mengemukakan diperlukan reformasi kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform) yaitu :
Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan baik struktur maupun infrastruktumya. Kuncinya adalah pemberdayaan masyarakat;
Reformasi manajemen publik terkait dengan perhmya digunakan model
manajemen pemerintahan yang baru, yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
Identik dengan pendapat di atas, Ointoe dan Isnaeni (2005:57) mengemukakan beberapa elemen strategis yang dituntut dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang lebih baik, termasuk dalam mendukung fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa antara lain adalah :
Kepemimpinan yang baik
Kata kunci yang penting dari seorang pemimpin adalah harus memiliki visi dan dapat dipercaya. Menurut Soeharyo (2001:29) bahwa ciri-ciri kepemimpinan yang baik yaitu : (1) memiliki kesadaran diri; (2) kemampuan mengelola dan atau menangani perubahan, ketidakpastian (uncertainty), ketidakteraturan (chaos) dan keserba bertentangan (paradoxal); (3) mempunyai visi ke depan; (4) mempunyai kejelasan sistem nilai (value system); (5) mempunyai orientasi kepada masyarakat; (6) keterbukaan terhadap kritik dan saran; (7) memberikan kepercayaan kepada yang dipimpinnya; (8) kemampuan menggunakan kekuatan secara arif dan bijaksana.
Meningkatkan kemampuan dan kekuatan masyarakat
Kesetaran adalah prasyarat dari adanya interaksi yang sehat. Pengorganisasian warga, pembentukan jaringan kerja antar masyarakat sebagai kegiatan penyeimbang dari pemerintah. Keterbukaan yang .diberikan perlu diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam merumuskan permintaan kolekrifhya, menciptakan refresentasi dari berbagai interest yang ada di masyarakat, dan meresohisi konflik-konflik yang muncul.
Kemampuan teknis dan manajemen
Bagaimana proses perencanaan dirumuskan, bagaimana pengorganisasian dan pelaksanaannya, maupun proses pengendalian dan pengawasan yang dijalankan merupakan cermin dari kemampuan teknis dan manajemen urusan publik.
4) Meningkatkan ruang partisipasi masyarakat
Situasi ketiadaan komunikasi yang terbuka dan bersifat dua arah perlu diubah menjadi situasi yang lebih terkoordinir, diliberatif dan menunjukkan adanya hubungan kesetaraan. Peran media media massa untuk mendorong adanya komunikasi merupakan bagian yang penting terwujudnya pemerintahan yang baik
5) Moral dan budaya demokratis
Moral dan budaya yang mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik adalah moral dan budaya yang tidak mentolelir berbagai bentuk korupsi dan penyalahgunaan jabatan, keberpihakan kepada yang lemah/miskin, sensitivitas atas kesetaraan, kesadaran akan pentingnya peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan publik, serta adanya kepercayaan dan toleransi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, termasuk dalam mendukung fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa antara lain adalah :
(1) kepemimpinan yang baik; (2) meningkatkan kemampuan dan kekuatan masyarakat; (3) kemampuan teknis dan-manajemen; (4) peningkatan ruang partisipasi; (5) moral dan budaya demokratis.
Untuk mewujudkan upaya tersebut dilakukan dengan membangun rasa saling percaya antara pemerintah desa dengan masyarakat, di mana pemerintah harus memberikan informasi akurat bagi masyarakat yang membutuhkannya. Terutama informasi yang andal berkaitan dengan masalah-masalah program, peraturan, dan hasil-hasil yang dicapai dalam proses pemerintahan, adanya mekanisme yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi-informasi yang relevan, adanya peraturan yang mengatur mengenai kewajiban pemerintah untuk menyediakan informasi kepada masyarakat, serta menumbuhkan budaya di tengah-tengah masyarakat untuk mengkritisi kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah desa.
BABIII
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang faktor-faktor yang menghambat fungsi BPD sebagai mitra pemerintah desa, maka dalam penelitian ini digunakan metope kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penggunaan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis ini didasarkan pada pandangan Maleong (2005:17) bahwa "untuk memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu".
Penggunaan metode kualitatif didasarkan pada pertimbangan bahwa data yang diperoleh akan lebih lengkap, mendalam dan terpercaya serta ditemukannya segala kejadian dalam konteks sosial. Data yang bersifat keyakinan, kebiasaan, sikap mental dan budaya yang dianut oleh seseorang dapat dikemukakan dengan jelas.
B. Kehadiran Peneliti
Mengenai kehadiran peneliti dalam lapangan penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri". Menurut Sugiyono (2003:59) bahwa peneliti berfungsi sebagai pelaku utama dalam penelitian, tentu saja sebagai manusia biasa dengan segala kemampuan yang masih terbatas, maka dalam pengumpulan data masih diperlukan catatan lapangan (note field). Kenyataannya, penelitian kualitatif tidak bisa dipisahkan dengan
kegiatan pengumpulan data yang sangat berpengaruh dalam analisis data, interpretasi data serta penarikan generalisasi.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Bongohulawa Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo. Penetapan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa
lokasi tersebut mudah dijangkau dalam proses penelitian untuk pengumpulan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
D. SumberData
Dalam penelitian, penulis mendapatkan data dari beberapa sumber, yang dapat dibagi atas:
Data primer, merupakan data yang diperoleh melalui wawancara dengan : pihak keanggotaan Badan Perwakilan Desa, aparat desa dan dengan beberapa masyarakat yang dianggap mampu memberikan informasi atas permasalahan yang dikaji.
Data sekunder, merupakan data-data yang diperoleh secara tertulis dan digunakan sebagai bahan pendukung penelitian. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui telaah terhadap referensi perpustakaan yang dianggap relevan dengan permasalahan penelitian yang sedang diteliti.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena yang diteliti. Kegiatan yang diobservasi berkaitan dengan keadaan permasalahan yang terjadi di desa sehubungan dengan pelaksaanaan fungsi BPD.
Wawancara, yaitu instrumen utama pengumpulan data dalam penelitian ini yang dilakukan dengan cara tanya jawab langsung kepada semua pihak yang berkompoten dalam penelitian ini, antara lain : pihak keanggotaan Badan Perwakilan Desa, aparat desa dan dengan beberapa masyarakat yang dianggap mampu memberikan informasi atas permasalahan yang dikaji. Dalam kegiatan wawancara ini, penulis akan menggunakan panduan sehingga wawancara dapat beijalan sesuai kebutuhan penelitian.
Dokumentasi, yaitu teknik yang dilakukan untuk menjaring data-data sekunder berupa catatan-catatan, literature-literatur, laporan-laporan serta dokumen lain yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
F. AnalisisData
Teknik analisis data yang-digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif deskripttf, yaitu proses analisisnya dimulai dengan menelaah dan mengkaji seluruh data yang telah diperoleh dari berbagai sumber yang terkait, dan diuraikan dalam bentuk kaliamat-kalimat yang logis untuk ditarik kesimpulan.
Teknik analisis data selama proses pengumpulan data dilakukan dengan cara induksi artinya analisis didasarkan pada keadaan nyata di lapangan, dan tidak didasarkan atas pemikiran, pemahaman apalagi kepentingan subjektif peneliti. Menurut Tuloli (2002:85) bahwa teknik analisis data setelah data terkumpul
dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) Merapikan data; (2) Reduksi data;
(3) Mengadakan kategorisasi; (4) Pengujian keabsahan data; (5) Mengadakan simpulan.
G. Pengecekan Keabsahan Data
Mengadakan pengecekan keabsahan data dari data yang diperoleh merupakan konsep penting dalam penelitian kualitatif. Teknik yang digunakan peneliti untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam pengecekan keabsahan data adalah : (1) observasi yang mendalam terhadap aspek yang diteliti; (2) triangulasi; data yang sudah ada dicek kebenarannya pada sumber lain untuk mengetahui tingkat kebenaran data. (3) member chek; mengkonfirmasikan kembali data kepada responden apakah sudah benar. (4) mengecek kebenaran dan kecocokan hasil interpretasi dari simpulan yang sudah dirumuskan.
H. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa tahap penelitian, yakni:
Mengadakan observasi.
Merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian guna mendapatkan gambaran yang jelas tentang-substansi masalah yang diteliti.
Menyiapkan panduan wawancara yang akan digunakan sebagai alat pengumpul utama data penelitian.
Mengadakan wawancara dengan responden penelitian secara berulang.
Mengadakan verifikasi terhadap data yang terkumpul sebagai hasil dari
wawancara.
Mengadakan trianggulasi untuk melakukan pengecekan keabsahan data sehingga memperoleh data nil dilapangan.
Mengadakan generalisasi terhadap hal-hal yang teramati dilapangan.
Membuat laporan hasil penelitian.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Keadaan Umum Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo
Kondisi Geografis
Masyarakat desa adalah suatu wilayah yang mempunyai hukum dan ditempati sekurang-kurangnya beberapa ribu orang yang mempunyai ikatan keluarga yang rapat dan kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Kondisi masyarakat Desa tabongo juga tidak berbeda dengan desa-desa lain pada umumnya, dimana masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencahariannya. Interaksi antar sesama warga Desa tabongo juga masih sangat erat.
Batas wilayah Desa tabongo timur kecamatan tabongo:
2. Sebelah Utara : Desa
3. Sebelah Selatan : Desa
4. Sebelah Barat : Desa
5. Sebelah Timur : Des
b. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat pendidikan
Komposisi penduduk Desa tabongo timur kecamatan tabongo berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :
No Tingkat pendidikan Jumlah persentase
1 Tamatan S-3
Tamatan S-2
Tamatan S-1
Tamatan D-3
Tamatan D-2
Tamatan D-1
Tamatan SLTA
Tamatan SLTP
Tamatan SD
Tidak tamat Tamatan SD
Buta huruf
Jumlah
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa penduduk Desa tabongo timur sebagian besar masih berpendidikan rendah. Lahan pertanian sawah memegang peranan penting. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya keahlian atau ketrampilan terutama pada kalangan orang tua sehingga kehidupan mereka sangat tergantung pada hasil pertanian.
Secara lengkap jenis pekerjaan masyarakat Desa tabongo timur dapat digambarkan sebagaimana dari data tabel 3 tersebut dibawah tampak bahwa 35,6% penduduk bekerja pada sektor pertanian. Hal ini berarti pula bahwa mayoritas masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian baik bekerja sebagai petani, penyewa, atau pemaro sawah maupun buruh pertanian.
Lapangan pekerjaan utama adalah sektor pertanian dimana besar kecinya pendapatan sangat tergantung pada keadaan alam. Dengan masyarakat yang bercorak agraris tersebut, maka di Desa Tabongo Timur kecamatan tabongo dalam pembagian kerja lebih utama berdasarkan pada usia, kemampuan fisik, dan jenis kelamin.
Table 3 : Jenis Mata Pencarian Penduduk Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo
no Jenis mata pencarian Jumlah persentase
1 Buruh tani
2 Petani sendiri
3 Pedagang/wiraswasta/pengusaha
4 pengrajin
5 PNS
6 TNI/polri
7 guru
8 Tukang batu
9 sopir
Jumlah
c. Bidang Ekonomi
Bidang ekonomi yang akan diuraikan disini dibagi menjadi dua sektor yaitu sektor pertanian dan sektor perdagangan, karena kedua sektor tersebut yang menjadi dominasi kehidupan masyarakat Desa tabongo timur kecamatan tabongo.
1) Sektor Pertanian
Petani adalah mereka yang memiliki lahan dan sekaligus sebagai penggarap, sedangkan buruh tani adalah mereka yang hanya menggarap lahan yang bukan miliknya, hanya sebagai penggarap saja
Keadaan pertanian di Desa tabongo timur cukup baik, tetapi pengerjaannya masih bersifat tradisional dan magis religius, artinya bahwa kegiatan rasa syukur dilakukan dengan cara berdo’a bersama di sawah dan makan bersama dengan tidak meninggalkan sifat kekeluargaan.
Dengan banyaknya masyarakat yang bergerak disektor pertanian, maka dapat dikatakan bahwa Desa tabongo timur merupakan desa pertanian.
Dengan demikian tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat Desa tabongo timur sehingga dalam setiap panen diharapkan akan selalu berhasil.
Masyarakat Desa tabongo timur yang mayoritas bekerja di bidang pertanian, berpengaruh terhadap kesejahteraan kehidupan masyarakat Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo.
2) Sektor Perdagangan
Perekonomian Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo tidak hanya dari sektor pertanian, akan tetapi juga dari sektor perdagangan. Masyarakat yang bergerak di sektor perdagangan ada 159 orang. Jumlah ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan mereka yang bergerak disektor pertanian, sektor perdagangan ini juga memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo yang tidak memiliki lahan pertanian. Jenis barang yang diperdagangkan sangat bermacam-macam seperti buah, sayur, umbi-umbian, sampai dengan hewan ternak seperti : ayam, kambing, sapi, kerbau. Mereka yang menjual dagangannya di rumah dan ada pula yang dijual di pasar.
Transportasi yang mereka pergunakan apabila ke pasar adalah mobil angkutan umum, dokar, sepeda. Kemudahan dalam hal transportasi inilah yang menjadikan para pedagang semakin bersemangat ke pasar untuk memperdagangkan barang dagangannya. Kemudahan ini juga dirasakan bagi masyarakat Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo yang akan membeli sesuatu keperluan sehari-hari. Pertanian di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo dilakukan dengan cara pertanian semi modern baik pengelohan tanahnya maupun perairannya. Pengolahan pertanian di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo, menggunakan tenaga hewan ternak, tenaga mesin maupun tenaga manusia. Masyarakat Desa Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo yang mayoritas bekerja di bidang pertanian, berpengaruh terhadap kesejahteraan kehidupan masyarakat Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo
d. Pemerintahan Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo.
Pemerintahan Desa Tabongo Timur seperti halnya pemerintahan desa lainnya mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan berusaha semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pemerintah Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo memiliki struktur organisasi pemerintahan sebagai berikut :
Keterangan :
a. BPD :
b. Petinggi ( Kepala Desa ) :
c. Carik ( Sekretaris Desa ) :
d. Kebayan (Kaur)
Kaur Pemerintahan :
Kaur Keuangan :
Kaur Umum :
Kaur Kesra :
Kaur Pembangunan :
Gambaran Umum BPD Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo
Menurut ketentuan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 tahun 1999, jumlah anggota BPD ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan, dengan ketentuan sebagai berikut :
Jumlah penduduk sampai dengan 1500 jiwa, 5 orang anggota;
1501 sampai dengan 2000 jiwa, 7 orang anggota;
2001 sampai dengan 2500 jiwa, 9 orang anggota;
2501 sampai dengan 3000 jiwa, 11 orang anggota;
Lebih dari 3000 jiwa, 13 orang anggota.
Berdasarkan data di atas maka jumlah penduduk suatu desa membawa konsekuensi terhadap jumlah anggota BPD desa tersebut. Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo memiliki jumlah penduduk 5.464 jiwa. Sesuai dengan aturan tersebut, maka jumlah anggota BPD di Desa Jatiroto adalah 13 orang anggota.
Keterangan:
A.1 = Anggota 1
A.2 = Anggota 2
A.3 = Anggota 3
A.4 = Anggota 4
A.5 = Anggota 5
A.6 = Anggota 6
A.7 = Anggota 7
A.8 = Anggota 8
A.9 = Anggota 9
A.10 = Anggota 10
Pemberhentian anggota BPD dapat dilakukan apabila yang bersangkutan :
a. Meninggal dunia;
b. Mengundurkan diri;
c. Tidak bertempat tinggal di wilayah desa yang bersangkutan;
d. Tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (4) dan melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (4) Peraturan Daerah ini;
e. Tidak menghadiri rapat 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tingkat pendidikan anggota BPD sangat rendah, dari 13 anggota BPD 5 (lima) orang diantaranya berpendidikan SMA, 5 (lima) orang berpendidikan SMP dan 3 (tiga) orang berpendidikan SD.
Pelaksanaan fungsi BPD
Dari hasil penelitian menunjukkan gejala bahwa BPD di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo mempunyai fungsi yang nampak pada legislasi Peraturan Desa. Dengan adanya BPD, Pemerintah Desa dalam menetapkan segala bentuk Peraturan Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo selalu meminta persetujuan dari BPD baik dari Ketua BPD maupun dari anggota BPD, baik itu masalah tata tertib Desa Tabongo Timur, Anggaran Pendapatan Belanja Desa, maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan Pemerintahan Desa Tabongo Timur.
Tata tertib BPD yang telah ditetapkan merupakan keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh anggota BPD, baik Ketua BPD, Wakil Ketua BPD dan anggota BPD itu sendiri. Adanya keharusan kerjasama antara BPD dengan pemerintah desa menimbulkan hubungan yang harmonis, yakni saling menghormati, menghargai pendapat satu sama lain dalam rangka memajukan desa. Keputusan yang ada sekarang ini harus terbuka untuk umum dalam arti diketahui oleh masyarakat Desa Tabongo Timur.
Dengan demikian Pemerintahan Desa Tabongo Timur, setelah adanya BPD, masyarakat Desa Tabongo Timur diharapkan mengetahui apa yang menjadi Keputusan pemerintahan Desa Tabongo Timur. Setelah adanya BPD juga diharapkan dapat menunjukkan dan meningkatkan pembangunan Desa Tabongo Timur. Jadi masyarakat Desa Tabongo Timur akan lebih semangat dalam melaksanakan demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya jika anggota BPD sendiri tidak mau melaksanakan atau menjalankan apa yang menjadi keputusannya, maka sudah tentu BPD di Desa Tabongo Timur tidak dapat diharapkan atau diperlukan lagi oleh masyarakat Desa Tabongo Timur.
BPD mendukung terhadap Pemerintahan Desa yang ada sekarang ini, sebab BPD itu sendiri merupakan mitra kerja Pemerintah Desa. Maka sudah tentu Pemerintahan Desa Tabongo Timur dapat melaksanakan apa yang menjadi keputusan mereka, yaitu Keputusan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Desa dan BPD secara demokrasi.
Hal tersebut diatas dapat diperjelas dengan keterangan dari Rebo Ketua RT 1, sebagai berikut :
“Dengan adanya tata tertib BPD yang telah ditetapkan, maka BPD di Desa Tabongo Timur harus melaksanakan apa yang telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya terhadap Pemerintahan Desa Tabongo Timur, baik permasalahan yang ada di BPD itu sendiri, maupun terhadap masyarakat Desa Tabongo Timur, jadi permasalahan yang sedang dihadapi oleh Pemerintahan Desa Tabongo Timur sudah tentu BPD terlibat didalamnya”.(Wawancara dilakukan tanggal 21 Maret 2010).
Dengan adanya tata tertib BPD, peran BPD dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa Tabongo Timur lebih terarah, sebab apa yang menjadi keputusannya adalah ketentuan yang telah ditetapkan dan merupakan pedoman yang harus ditaati serta dipatuhi, sehingga BPD dan Pemerintahan Desa harus melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya. Dengan demikian sudah tentu BPD akan lebih berwibawa dan dihormati, sehingga demokrasi di Desa Tabongo Timur dapat berjalan dengan baik dan fungsi BPD di Desa Tabongo Timur yang telah terlaksana dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan melalui tahap persiapan, pembuatan rancangan, pembahasan dan pengesahan menurut UU No. 10 Tahun 2004, dilakukan oleh Dewan dan eksekutif. Sejalan dengan hal ini, maka untuk pelaksanaan legislasi oleh BPD menempuh tahapan-tahapan yang sama yakni persiapan, pembuatan rancangan, pembahasan dan pengesahan yang dilakukan bersama-sama antara BPD dengan Kepala Desa. Selain tahapan-tahapan persiapan, pembuatan rancangan, pembahasan dan pengesahan terdapat juga 3 (tiga) tahap lain dalam proses pembuatan Peraturan Desa yakni tahap insiasi, tahap sosio-politis dan tahap yuridis.
Peraturan Desa merupakan produk hukum desa yang artinya bahwa Peraturan Desa merupakan naskah hukum, dibuat, dibentuk dan diterbitkan oleh BPD dan Kepala Desa. Proses pembuatan Peraturan Desa yang dilakukan oleh BPD dan Kepala Desa melalui 3 (tiga) tahapan yaitu :
Tahap inisiasi merupakan tahap munculnya gagasan dalam masyarakat.
Dalam pembentukan Peraturan desa, tahapan ini adalah tahapan yang paling awal untuk terbentuknya suatu peraturan dalam masyarakat, karena tanpa adanya inisiasi atau gagasan dari Kepala Desa ataupun dari BPD tentunya dalam suatu desa tidak akan terbentuk suatu peraturan.
Dalam proses pembuatan Peraturan Desa, tahap ini dijelaskan oleh sekretaris BPD, sebagai berikut :
“Gagasan atau usulan dapat datang dari pihak anggota BPD itu sendiri maupun dari Kepala Desa karena semuanya sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan gagasan atau usulan dalam pembentukan Peraturan Desa “
Hal senada dengan penjelasan di atas disampaikan oleh Kepala Desa:
“Dalam proses pembentukan Peraturan Desa di desa kami melalui tiga tahapan. Yang pertama usulan dari saya selaku Kepala Desa atau bias dari BPD. Saya mengajukan usulan ini atas dasar bahwa untuk bias berjalannya Pemerintahan Desa perlu mengusulkan rancangan Peraturan Desa seperti Anggaran Belanja Desa. Saya mengajukan rancangan saya kepada BPD, kemudian BPD akan membahas dan mengevaluasi tentang kekurangannya, kami Pemerintah Desa bersama BPD akan mengadakan rapat pembahasan kemudian baru melakukan penetapan bersama rancangan itu untuk dijadikan Peraturan Desa”. (Wawancara tanggal 22 maret 2010).
“Sebuah ide atau gagasan pembuatan Peraturan Desa harus dibahas dahulu melalui sidang pleno guna menetapkan apakah usulan tersebut disetujui menjadi Rancangan Peraturan Desa atau tidak” (Wawancara dengan Ketua BPD, tanggal (Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Dalam tahap ini, inisiatif atau gagasan pembentukan Peraturan Desa lebih banyak berasal dari Kepala Desa dibandingkan dari pihak BPD. BPD sebagai wakil-wakil dari masyarakat desa kurang aktif dalam menyerap dan menampung aspirasi masyarakat. Peranan masing-masing anggota BPD dituntut untuk lebih aktif menyuarakan aspirasi masyarakat desa, karena anggota BPD adalah wakil-wakil masyarakat agar nantinya kebijakan yang dihasilkan bisa bersifat arif dan bijaksana bagi semua pihak dan tidak menimbulkan keresahan atau beban bagi masyarakat yang bisa mengganggu stabilitas Pemerintahan Desa.
b. Tahap sosio-politis merupakan tahap pematangan dan pentajaman gagasan yang muncul dalam masyarakat desa tersebut.
Setelah Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) diterima oleh Pemerintah Desa, kemudian BPD mengadakan rapat gabungan yang membahas Raperdes Desa dan dapat dihadiri oleh lembaga kemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan pihak terkait. Rapat ini sah apabila dihadiri minimal 2/3 jumlah anggota BPD dan kepala desa. Rapat ini tidak sah apabila tidak memenuhi quorum dari jumlah anggota BPD, maka ketua BPD dapat menentukan rapat selanjutnya yaitu maksimal tiga hari setelah rapat pertama. Cara pengambilan keputusan dalam rapat dengan jalan musyawarah mufakat, tetapi tidak menutup kemungkinan diadakan voting. Kesepakatan pengambilan keputusan ini tercapai minimal disetujui 50% + 1 jumlah anggota BPD yang hadir. Persetujuan pengesahan ini dituangkan dalam Berita Acara rapat BPD. Berita acara ini ditandatangani oleh kepala desa dan ketua BPD.
Dari hasil wawancara, anggota BPD, didapat keterangan sebagai berikut :
“Dalam rapat pembahasan Ketua BPD memberikan penjelasan tentang latar belakang dan tujuan dibuatnya Peraturan Desa.
Rancangan Peraturan Desa yang diajukan bermula dari satu pendapat atau satu pandangan dari pihak Kepala Desa. Setelah itu dibahas bersama dengan anggota BPD, Perangkat Desa dan tokoh masyarakat sehingga menghasilkan kesepakatan bersama”.(Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
“Peraturan Desa yang diajukan selalu mengalami perubahan yang bertujuan untuk menyempurnakan isi dan materi Peraturan Desa, sehingga Peraturan Desa yang dihasilkan dapat memenuhi aspirasi masyarakat dan menyangkut kepentingan umum. Pengambilan keputusan tentang Peraturan Desa biasanya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat tapi tidak menutup kemungkinan diadakan voting” tambah Dono sebagai anggota BPD. (Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam tahapan ini diadakan rapat pembahasan yang bertujuan untuk menyempurnakan isi dan materi Peraturan Desa. Pengambilan keputusan tentang Peraturan Desa dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dicapai kesepakatan, maka diadakan voting.
c. Tahap yuridis merupakan tahap terakhir dari tahap-tahap pembuatan Peraturan Desa, yaitu tahap dimana dilakukan penyusunan bahan kedalam Peraturan Perundang-undangan untuk kemudian diundangkan.
Rancangan Peraturan Desa yang telah dibahas ditetapkan menjadi peraturan desa dan ditandatangani oleh kepala desa, serta dengan dilampiri daftar hadir peserta rapat.
Berikut keterangan dari Ketua BPD sehubungan dengan proses pembuatan Peraturan Desa melalui tahap yuridis:
“Setelah Rancangan Peraturan Desa tersebut mendapat persetujuan dari semua pihak untuk dijadikan Peraturan Desa maka langkah selanjutnya adalah Kepala Desa menetapkan Rancangan Peraturan Desa menjadi sebuah Peraturan Desa yang dibuat oleh Sekretaris Desa. Peraturan Desa berlaku sejak ada ketetapan dari Kepala Desa” (Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Hal yang sama munucul dari pendapat Kepala Desa:
“Setelah Pemerintah Desa menerima kembali rancangan Peraturan Desa yang dibahas oleh BPD maka langkah selanjutnya Kepala Desa akan menetapkan Rancangan Peraturan Desa tersebut menjadi Peraturan Desa” (Wawancara tanggal 21 Maret 2010).
Keterangan tambahan juga di dapat dari Sekretaris BPD sebagai berikut :
“Setelah Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa, maka Peraturan Desa tersebut sudah dapat berlaku di masyarakat dan agar warga tahu kalau ada peraturan yang mengikat di Desa tabongo timmur , maka perlu adanya sosialisasi Peraturan Desa yaitu lewat rapat-rapat RT atau pada saat pertemuan, warga mengundang salah satu anggota BPD yang ada di wilayahnya atau Kepala Bidang untuk memberikan penjelasan tentang Peraturan Desa tersebut” (Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Keterangan tambahan juga diberikan oleh anggota BPD, sebagai berikut :
“Dalam pembuatan dan pembentukan Peraturan Desa, telah melalui tahapan-tahapan yang benar dan telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan” (Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa setelah Pemerintah Desa menerima kembali rancangan Peraturan Desa yang dibahas oleh BPD maka langkah selanjutnya Kepala Desa akan menetapkan Rancangan Peraturan Desa tersebut menjadi Peraturan Desa. Agar warga tahu kalau ada peraturan yang mengikat di Desa tabongo timur ini, diadakan sosialisasi Peraturan Desa melalui rapat-rapat RT atau pada saat pertemuan, warga mengundang salah satu anggota BPD yang ada di wilayahnya atau Kepala Bidang untuk memberikan penjelasan tentang Peraturan Desa tersebut.
Dari hasil wawancara tersebut dapat diperoleh data bahwa proses pembuatan Peraturan Desa telah melalui tahapan-tahapan yang benar dan telah sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yaitu melalui 3 (tiga) tahap yatu tahap inisiasi, tahap sosio-politis, dan tahap yuridis.
Dalam penyusunan Peraturan Desa hendaknya memperhatikan kerangka pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pembentukan Peraturan Desa mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dari dokumen kumpulan Peraturan Desa Tabongo diketahui bahwa kerangka Peraturan Desa terdiri dari :
Judul : judul Peraturan Desa memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun, pengundangan, atau penetapan dan nama Peraturan Desa.
Pembukaan Peraturan Desa terdiri dari :
Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Jabatan Pembentuk Peraturan Desa
Konsiderans
Dasar hukum
Diktum
Batang tubuh terdiri dari :
a) Ketentuan umum
b) Materi pokok yang diatur
Penutup.
Dari penelitian diperoleh gambaran bahwa kerangka Peraturan Desa di Desa tabongo timur telah memenuhi syarat dan telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
BPD dalam melaksanakan fungsi legislasi yaitu dalam menetapkan Peraturan Desa, selama ini telah membentuk Peraturan Desa yang dibahas dengan Kepala Desa diantaranya Peraturan Desa No.4 tahun 2004 tentang APBDES, Peraturan Desa No.4 tahun 2005 tentang APBDes, Peraturan Desa No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan pemberhentian Perangkat Desa, Peraturan Desa No.4 tahun 2006 tentang APBDes, Peraturan Desa No. 8 tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan Desa, Peraturan Desa No. 3 Tahun 2006 tentang Lelang Tanah Bengkok Perangkat Desa yang Kosong Tahun 2006/2008, Peraturan Desa No.1 Tahun 2007 tentang Panitia Pemilihan Kepala Desa, Peraturan Desa No. 3 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Dari hasil penelitian juga diperoleh data bahwa di Desa Tabongo Timur telah ada aturan yang mengatur kehidupan masyarakat Desa Tabongo Timur , akan tetapi peraturan-peraturan tersebut belum dibingkai kedalam bentuk Peraturan Desa. Peraturan yang belum dibuat dalam Peraturan Desa di Desa Tabongo Timur, antara lain:
a. Aturan kebiasaan tentang hibah untuk jalan umum
Pembentukan aturan tentang hibah untuk jalan umum juga tidak lepas dari masalah konflik sosial yang terjadi di Desa tabongo timur. Banyak kecil yang menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat mengenai hibah untuk jalan umum. Hal ini tidak lepas dari kesadaran setiap warga masyarakat yang berbeda-beda. Sehingga sebagai bentuk langkah antisipatif dari pemerintahan desa, maka dibuatlah aturan yang belum berbentuk Peraturan Desa tersebut bersama-sama dengan Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat. Isi aturan tersebut adalah:
1) Setiap warga yang akan membuat jalan umum dengan lebar 1 (satu) meter atau selebar sepeda motor, dan atau mengurangi tanah milik warga lain, harus melaporkan terlebih dahulu kepada RT (Rukun Tangga) setempat.
2) Laporan tersebut kemudian diteruskan oleh Pemerintah Desa guna dibuatkan surat keterangan hitam diatas putih ber-materai yang ditanda tangani oleh para pihak yang terkait.
Dengan adanya Peraturan Desa tersebut, konflik antar warga yang dahulu sering terjadi prosentasenya menurun tajam dan suasana kondusif lebih dapat dirasakan.
Berikut hasil wawancara dengan Jumadi, Ketua RW XII, sehubungan dengan peraturan tidak tertulis tentang hibah untuk jalan umum.
”Sebelum adanya peraturan tentang hibah untuk jalan umum, di desa kami sering terjadi konflik antar warga yang berkepentingan. Warga yang mempunyai tanah enggan memberikan sedikit tanahnya untuk jalan umum, sedangkan warga yang lain menuntut agar jalan umum menjadi sedikit lebar. Tapi dengan adanya peraturan ini, konflik antar warga desa jadi berkurang. Warga desa secara suka rela memberikan sedikit tanahnya untuk digunakan sebagai jalan umum”.(Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
b.Aturan kebiasaan tentang Pologoro
Pologoro adalah bentuk komisi yang diberikan para pihak yang terlibat dalam jual beli tanah di wilayah Desa Tabongo Timur yang diberikan kepada Pemerintah Desa Tabongo Timur. Besaran komisi pologoro yang diwajibkan kepada para pihak berbeda-beda. Untuk para pihak yang merupakan warga Tabongo Timur, besaran pologoro yang di wajibkan adalah 3% (tiga persen) dari nominal transaksi atau harga tanah. Untuk para pihak yang berasal dari luar Tabongo Timur, besaran pologoro yang diwajibkan adalan 5% (lima persen) dari nominal harga tanah yang telah disepakati oleh para pihak dalam transaksi jual beli tanah tersebut. Selain pemenuhan dari segi pelaksanaan fungsi anggaran, dengan adanya aturan pologoro yang hidup di
masyarakakat Tabongo Timur membawa dampak positif. Hal ini dikarenakan sumber pendapatan Tabongo Timur menjadi bertambah.
c. Aturan kebiasaan tentang Hiburan
Peraturan yang khusus mengatur tentang hiburan ini muncul karena setiap penyelenggaraan hiburan masyarakat banyak terjadi kericuhan antar warga, khususnya acara dangdut yang diselenggarakan warga di malam hari. Sehingga guna mengantisipasi tidak terulangnya kericuhan tersebut maka BPD bersama Pemerintah Tabongo Timur serta unsur yang terkait membuat aturan desa yang belum berbentuk Peraturan Desa tersebut tentang hiburan yang substansi inti dari isi tersebut adalah hiburan masyarakat harus dilaksanakan pada siang hari.
Penyelenggaraan hiburan masyarakat pada siang hari ini ternyata berdampak positif, hal ini terbukti dengan menurunya tingkat keributan antar warga.
Fungsi BPD belum dapat berjalan secara maksimal, hal ini ditunjukan dengan kurang komprehensipnya BPD Tabongo Timur dalam membingkai peraturan-peraturan desa yang masih bersifat konvensional atau kebiasaan kedalam bentuk peraturan tidak tertulis. Aturan yang hidup dalam masyarakat Desa Tabongo Timur antara lain, aturan tentang hibah untuk jalan umum, aturan tentang pologoro, aturan tentang hiburan semuanya belum berbentuk Peraturan Desa.
Kendala dalam Pelaksanaan Fungsi BPD Desa tabongo timur Kecamatan Tabongo.
Data hasil wawancara dengan Kepala Desa Tabongo Timur, tentang kendala pelaksanaan fungsi oleh BPD selama ini dijelaskan sebagai berikut:
“BPD dalam pelaksanaan fungsinya di Desa Tabongo Timur tidak ada kendala apapun. Semua yang saya rencanakan mendapat persetujuan dari BPD karena semuanya masuk akal. Kegiatan desa yang saya laksanakan semua masuk akal sehingga BPD juga mengesahkan dan menerima, kalau yang saya lakukan adalah kegiatan yang tidak masuk akal tentu bisa ditolak, tetapi karena semua bisa diterima oleh akal jadi BPD tidak menolak” (Wawancara tanggal 23 maret 2010).
Berdasarkan penjelasan Kepala Desa Tabongo Timur tersebut nampaknya lebih menekankan pada pengesahan program-program kegiatan oleh BPD dan dalam hal ini dipandang sebagai indikasi tidak ada kendala bagi BPD dalam melaksanakan fungsinya. Akan tetapi belum dapat dilihat sejauh mana fungsi BPD dapat dilaksanakan. Apabila fungsi dalam kenyataan belum dapat terlaksana secara maksimal, berarti ada kendala. Dari data di atas tentang pelaksanaan fungsi oleh BPD apabila dicermati terdapat aturan kebiasaan desa yang sudah berjalan cukup lama tetapi belum diwujudkan dalam bentuk peraturan tertulis, hal ini mengindikasikan adanya kendala.
Kendala pelaksanaan fungsi oleh BPD di Desa tabongo dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Kendala masih rendahnya sumber daya manusia di bidang hukum dari anggota BPD. Kurangnya anggota BPD yang berpendidikan tinggi dan kurang berpengalaman dalam bidang legislasi dikarenakan banyak dari mereka yang hanya lulusan SMP bahkan ada yang lulusan SD. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 13 anggota BPD 5 (lima) orang diantaranya berpendidikan SMA, 5 (lima) orang berpendidikan SMP dan 3 (tiga) orang berpendidikan SD.
b. Fasilitas yang kurang memadai.
“Gedung BPD nampak kurang perawatan. Lingkungan disekitarnya banyak ditumbuhi rumput dan dinding gedung terlihat agak rusak karena tidak dirawat dengan baik. Kegiatan BPD dilihat dari prasarana yang berupa gedung nampaknya kurang begitu maju”. (Wawancara dengan Ketua BPD, Tanggal 22 Maret 2010).
Sehubungan dengan hal tersebut, berikut disampaikan oleh Purnomo, Ketua RT 3, : “Dilihat dari sarana yang berupa gedung sebagai tempat kegiatan BPD berlangsung nampaknya kurang begitu maju seperti yang diharapkan oleh masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terutama para Ketua RT terhadap BPD masih rendah. Kondisi gedung BPD yang rusak sudah tidak terawatt menunjukkan kinerja BPD kurang giat dan kurang maju sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sebagaimana kegiatan Pemerintahan Desa yang didukung sarana prasarana yang lebih baik dengan mobilitas kegiatan yang lebih padat, sehingga masyarakat dalam hal ini para
Ketua RT lebih percaya pada Pemerintahan Desa”.(Wawancara tanggal 22 maret 2010).
Melalui pengamatan sebagaimana data di atas bahwa gedung BPD nampak tidak dirawat dan tidak dimanfaatkan dengan baik, hal ini mengkondisikan adanya kendala alokasi dana yang tidak mencukupi untuk pemeliharaan sarana prasarana dan untuk memfasilitasi BPD dalam melakukan kegiatan.
Sungguhpun demikian berdasarkan data diatas, BPD dengan fasilitas seadanya telah dapat melaksanakan fungsi legislasinya dalam penyusunan dan penetapan Peraturan Desa seperti misal
c. Dana operasional tidak mencukupi.
Dana kesejahteraan BPD sangat tidak mendukung untuk melakukan kegiatan fungsi legislasinya secara maksimal. Pernyataan Kepala Desa tentang honor BPD setiap tahun hanya Rp. 300.000,- per orang. Hal ini jelas tidak menunjang energi intelektual dalam melakukan kegiatan membuat rancangan Peraturan Desa kemudian membahas dan merumuskan kembali sampai pada pengesahan dan memantau pelaksanaan.
Ketua BPD Desa Tabongo Timur dalam pernyataannya juga mengakui.
“Masih belum maksimalnya kegiatan BPD mengingat kebutuhan hidup yang menjadi tanggung jawab sebagai Kepala Keluarga tidak dapat diharapkan dari hasil kegiatan BPD. Oleh karena itu terpaksa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan meluangkan waktunya untuk kegiatan BPD sementara anggaran BPD tidak mencukupi untuk mengangkat tenaga pelaksana harian yang memiliki kompetensi memadai dalam penyusunan berbagai Peraturan Desa yang dibutuhkan”(Wawancara 21 Maret 2010).
d. Kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah khususnya dalam bidang legislasi.
Pengakuan Dono, salah satu anggota BPD menyatakan sebagai berikut:
“Saya sejak dilantik menjadi anggota BPD sampai sekarang belum pernah mendapat pembinaan, pendidikan dan pelatihan tentang penyusunan Peraturan Desa. Begitu dilantik terus ditinggalkan begitu saja, tidak ada pembinaan sebagai tindak lanjut tugas dan kewenangan yang harus dilakukan BPD”(Wawancara tanggal 21 Maret 2010).
Berdasarkan data di atas jelas bahwa faktor pembinaan pendidikan dan latihan masih sangat kurang bahkan belum pernah dilakukan sehingga hal ini dapat dipandang sebagai kendala.
Dengan demikian kendala-kendala untuk melaksanakan fungsi legislasi oleh BPD Tabongo Timur meliputi kendala masih rendahnya sumber daya manusia di bidang hukum, masih sangat minimnya fasilitas untuk kegiatan BPD yang kurang memadai, dana operasional yang tidak mencukupi, dan kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah khususnya dalam bidang legislasi.
4. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BPD untuk mengatasi kendala-kendala Pelaksanaan fungsinya oleh BPD
a. Kendala masih rendahnya sumber daya manusia di bidang hukum dari anggota BPD belum ada pemecahan yang memadai. Namun demikian langkah-langkah untuk meningkatkan pengetahuan telah dilakukan melalui pertemuan-pertemuan antara perangkat desa, anggota BPD dan masyarakat. “Diskusi rutin atau pertemuan antara BPD dan Kepala Desa dengan RT, RW, dan tokoh masyarakat dilaksanakan dua kali dalam seminggu. Rapat koordinasi ini dilakukan agar BPD dan Kepala Desa dapat bertukar pikiran dalam memecahkan masalah-masalah pemerintahan desa”(Wawancara dengan Dono, anggota BPD, tanggal 21 Maret 2010).
Selain itu juga dilakukan dengan cara para anggota BPD dan Kepala Desa serta perangkatnya diberikan dasar pengetahuan tentang legal drafting. Hal ini dikemukakan oleh Ketua BPD, sebagai berikut :
“Kami mengundang tutor ataupun pejabat kecamatan untuk memberikan suatu penyuluhan tentang penyusunan Peraturan Desa. Kami sering mengalami kesulitan-kesulitan pemahaman tentang penyusunan Peraturan Desa. Dengan mengundang tutor atau pejabat kecamatan kami harapkan pengetahuan BPD tentang penyusunan Peraturan Desa menjadi lebih banyak”.(Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Dalam penyusunan produk hukum dalam hal ini Peraturan Desa sudah barang tentu terdapat norma-norma atau ketentuan yang harus dijadikan sebagai pedoman, namun demikian untuk dapat memahami suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dengan baik, tepat dan benar, seringkali BPD mengalami kesulitan-kesulitan pemahaman, untuk itu mereka perlu mendapatkan dasar pengetahuan tentang legal drafting.
b. Kendala masih minimnya fasilitas yang kurang memadai telah ditempuh dengan perampingan Perangkat Desa. “Langkah perampingan dapat dipandang sebagai langkah yang mengarah pada efisiensi. Dengan adanya perampingan Perangkat Desa, kami dapat menghimpun dan menghemat sumber daya untuk dialokasikan pada bidang-bidang lain diantaranya bidang legislasi oleh BPD”. (Wawancara dengan, Kepala Desa tanggal 21 Maret 2010).
“Dengan adanya perampingan Perangkat Desa ini, dana untuk sarana dan prasarana lebih besar. Sekarang ini sedang dilakukan pembangunan gedung untuk BPD yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja anggota BPD”. (Wawancara dengan Ngadiru, anggota BPD tanggal 21 Maret 2010).
Jika langkah ini dapat berjalan secara efektif, pada gilirannya BPD akan mendapatkan peningkatan sumber daya sehingga kinerja dalam pelaksanaan fungsi legislasi menjadi meningkat. Dengan peningkatan ini masyarakat pun akan meningkatkan kepercayaannya kepada BPD.
c. Kendala dana operasional tidak mencukupi ditempuh dengan langkah yang sama dalam mengatasi kendala fasilitas yang kurang memadai yakni ditempuh dengan perampingan Perangkat Desa. Permasalahan kesejahteraan anggota BPD jelas belum dapat dipenuhi dari Pemerintahan Desa sebagaimana anggota DPRD, sedangkan perangkat desa selain Kepala Desa sebagian besar bengkoknya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, yang dimaksud bengkok disini adalah tanah bengkok yaitu tanah milik desa atau bondo deso seluas tertentu yang diberikan desa kepada Kepala Desa perangkat desa seperti Sekretaris Desa dan Kepala Urusan. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya inisiatif BPD untuk tidak mengisi kekosongan perangkat desa sebanyak lima orang. Dengan tetap mengkosongkan lima perangkat desa, maka bengkok mereka dapat menambah kesejahteraan perangkat yang ada dan sebagian menambah sumber dana Pemerintahan Desa.
Berikut keterangan dari Legiman, Ketua RW I :
“BPD berinisiatif membuat Peraturan Desa mengurangi jumlah perangkat desa dari dua belas plus Kepala Desa menjadi sepuluh plus Kepala Desa. Cara yang ditempuh ialah dengan tetap mengosongkan perangkat yang purna tugas. Bengkok mereka masuk asset desa”. (Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Langkah perampingan dapat dipandang sebagai yang efisien tentunya akan dapat menghimpun dan menghemat sumber dana untuk dialokasikan pada bidang-bidang lain diantaranya bidang legislasi oleh BPD. Jika langkah ini dapat berjalan secara efektif, pada gilirannya BPD akan mendapatkan peningkatan sumber daya sehingga kinerja dalam pelaksanaan fungsi legislasi menjadi meningkat. Dengan peningkatan ini masyarakat pun akan meningkatkan kepercayaannya kepada BPD.
d. Kendala masih kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah khususnya dalam bidang legislasi.
Kendala belum adanya pembinaan secara intensif dari pejabat Pemerintah Daerah dalam penyusunan Peraturan Desa selama ini belum ada langkah-langkah untuk mengatasinya. Menurut Kepala Desa, “Dalam menyusun Peraturan Desa salah satu cara yang ditempuh adalah melakukan pertemuan-pertemuan untuk bermusyawarah, bertukar pikiran tentang bagaimana penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang baik”.(Wawancara tanggal 21 Maret 2010).
Hal yang sama dinyatakan oleh Ketua BPD, sebagai berikut:
“Pembinaan, pendidikan dan pelatihan para anggota BPD dalam menyusun Peraturan Desa ini seharusnya dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah. Namun tidak adanya pembinaan, pendidikan dan pelatihan tersebut tidak menjadikan BPD berhenti membuat Peraturan Desa. BPD menempuh langkah selalu mengadakan musyawarah dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam pembentukan Peraturan Desa”.(Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Jumadi, Ketua RW XII, menambahkan:
“Melalui musyawarah ternyata permasalahan dapat terselesaikan dan dapat diterima penyelesaian ini oleh semua pihak sehingga semuanya menjadi beres. Hal ini juga mengandung makna seperti hasil pembinaan, karena hasil pembinaan dalam penyusunan Peraturan Desa tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan kondisi kehidupan warga desa yang lebih teratur, tertib aman dan damai”.(Wawancara tanggal 22 Maret 2010).
Sejalan dengan pemaparan di atas, penyelenggaraan Pemerintahan Desa telah menggunakan fungsi legislasi BPD. Dengan adanya fungsi legislasi BPD berarti pula Pemerintahan Desa dapat dikatakan sudah baik karena mengakui keberadaan BPD. Pelaksanaan fungsi legislasi oleh BPD meskipun dihadapkan dengan berbagai kendala, namun tetap berjalan cukup baik dengan langkah-langkah yang ditempuh sesuai dengan kemampuan desa. Hal ini akan menjadi lebih baik apabila ada fasilitator yang melakukan pendidikan dan pelatihan dalam penyusunan Peraturan Desa, sehingga BPD bersama dengan Perangkat Desa dapat sejalan dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa. Kondisi ini dapat mendukung terwujudnya Pemerintahan Desa dalam mendapatkan pengakuan yang baik dihadapan masyarakat dimana keberadaan BPD benar-benar sebagai mitra Pemerintah Desa dengan penyelenggaraan fungsi legislasinya secara efektif.
B. PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Fungsi BPD
a. Peraturan Desa Rutin Peraturan Desa rutin merupakan Peraturan Desa yang dibuat secara rutin dari tahun ke tahun, yaitu Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Dengan adanya pembahasan RAPBDes oleh BPD yang disusun oleh Kepala Desa diikuti masyarakat, berarti produk hukum yang berupa kebijakan anggaran belanja desa bersifat responsif. Kebijakan Pemerintah Desa yang bersifat responsif, yakni kebijakan yang mendapat tanggapan dan masukan yang baik dari Pemerintah Desa, BPD dan masyarakat desa yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terjamin yaitu terpenuhinya atau tercukupinya kebutuhan masyarakat. Misalnya tercukupinya kebutuhan pangan bagi warga yang tidak mampu, terpenuhinya pembangunan saluran irigasi bagi warga desa yang mempunyai sawah atau lahan perkebunan sebagai mata pencaharian mereka. Peraturan Desa tentang APBDes yang telah disusun dan ditetapkan oleh BPD bersama Kepala Desa diharapkan dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b. Peraturan Desa Insidental Peraturan Desa Insidental merupakan Peraturan Desa yang dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu, misalnya Peraturan Desa tentang Lelang Tanah Bengkok Perangkat Desa yang Kosong, Peraturan Desa tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Dalam melaksanakan legislasi dasar yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini juga telah dilakukan oleh BPD dan Pemerintah Desa serta masyarakat Desa Jatiroto Kecamatan Kayen Kabupaten Pati. Selanjutnya kaitannya dengan pelaksanaan fungsi legislasi oleh BPD di Desa Tabongo Timur dapat dibahas dengan pendapat Irawan Soejito (1981:13) bahwa dalam hal merancang Undang-undang bukanlah sesuatu yang mudah bagi negara yang relatif masih muda maupun negara-negara yang sudah cukup tua usianya. Sejalan dengan pendapat ini pelaksanaan legislasi dalam arti pembuatan Peraturan Perundang-undangan meskipun sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dalam prakteknya membutuhkan pengetahuan yang memadai yang didukung dengan kecerdaasan, kecermatan dan ketrampilan. Padahal data hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi anggota BPD dalam penyusunan Peraturan Desa belum pernah diberikan sementara sumber daya manusia anggota BPD belum ada yang memiliki
kompetensi di bidang hukum secara memadai. Namun demikian Peraturan Desa dalam negara hukum tetap berjalan apa adanya.
Peraturan Desa yang dibentuk menurut Undang-undang ini harus berdasarkan asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, lembaga pembentuk yang tepat, materi muatan sesuai dengan jenisnya, dapat dilaksanakan, daya guna dan hasil guna, kejelasan dan keterbukaan. Selain asas pembentukan materi muatan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 6 juga dinyatakan harus mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan, ketertiban, kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Asas-asas ini sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada telah terakomodir dalam Peraturan Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo.
Pelaksanaan legislasi dalam arti pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dapat mewadai semua asas-asas baik pembentukan maupun materi yang dimuatnya memang bukan hal yang mudah sebagaimana dinyatakan oleh Irawan Soejito di atas. Faktor sumber daya manusia sangat menentukan kualitas Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk. Namun demikian tidak boleh ada penyelenggaraan Pemerintahan Desa tanpa berdasarkan hukum dalam hal ini Peraturan Desa dengan alasan belum adanya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang hukum yang memadai.
Selain asas-asas pelaksanaan fungsi legislasi juga harus memperhatikan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
b. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah.
Adapun Peraturan Daerah meliputi : Propinsi, Kabupaten atau Kota, dan Desa. Peraturan Desa inilah yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bersama Kepala Desa. BPD dalam hal ini kapasitasnya sebagai lembaga unsur penyelenggara Pemerintahan Desa seperti dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pasal 1 ayat (8).
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan melalui tahap persiapan, pembuatan rancangan, pembahasan dan pengesahan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dilakukan bersama-sama oleh Dewan dan eksekutif. Sejalan dengan hal ini maka untuk pelaksanaan legislasi oleh BPD menempuh
tahapan-tahapan yang sama yakni persiapan, pembuatan rancangan, pembahasan dan pengesahan yang dilakukan bersama-sama antara BPD dengan Kepala Desa.
Peraturan Desa merupakan produk pelaksanaan legislasi oleh BPD Desa Tabongo Timur telah sesuai dengan hierarki Perundang-undangan dan dalam pembuatannya juga melalui tahapan-tahapan sebagaimana di atas. Tahapan persiapan untuk Peraturan Desa dipersiapkan oleh BPD beserta rancangan-rancangannya dan selanjutnya dibahas untuk ditetapkan bersama-sama dengan Kepala Desa.
Berdasarkan pembahasan diatas pelaksanaan fungsi legislasi oleh BPD Desa Tabongo Timur telah terlaksana dan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan tahapan-tahapan yang benar. Namun fungsi legislasi BPD belum dapat berjalan secara maksimal, hal ini ditunjukkan dengan kurang komprehensipnya BPD Tabongo Timur dalam membingkai peraturan-peraturan desa yang masih bersifat konvensional atau kebiasaan kedalam bentuk peraturan tertulis. Aturan yang hidup dalam masyarakat Desa Tabongo Timur antara lain, aturan tentang hibah untuk jalan umum, aturan tentang pologoro, aturan tentang hiburan semuanya belum berbentuk Peraturan Desa.
Secara teoritis, tahap yang ditempuh dalam pelaksaan fungsi legislasi meliputi tahap inisiasi, tahap sosio politis dan tahap yuridis. Tahapan-tahapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo bahwa dalam tahap inisiasi merupakan
tahap munculnya gagasan dalam masyarakat. Selanjutnya tahap sosio politis merupakan tahap pematangan dan pentajaman gagasan yang muncul dalammasyarakat tersebut. Tahap yang terakhir disebut tahap yuridis dimana dilakukan penyusunan bahan ke dalam rumusan Peraturan Perundang-undangan untuk kemudian diundangkan.
Dalam melaksanakan tahapan-tahapan tersebut, tidak lepas dari dukungan sumber daya manusia, sumber daya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan serta fasilitas dari pemerintahan yang lebih tinggi dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah. dengan demikian apabila kondisi sumber daya tersebut kurang memadai, dapat dipastikan akan terjadi hambatan-hambatan yang dalam hal ini disebut sebagai kendala.
Berdasarkan adanya tahapan-tahapan diatas sebelum memasuki penyusunan, rancangan, pembahasan dan pengesahan perlu dilakukan kajian-kajian berbagai gagasan yang muncul di masyarakat untuk dipertajam sehingga memungkinkan dan siap untuk disusun menjadi bahan perundang-undangan. Untuk melakukan kaijan tentu membutuhkan sekali berbagai sumber daya dan fasilitas yang dapat melancarkan hasil kajian peraturan yang hendak dibuat.
Secara teoritis, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pembuatan Peraturan Perundang-undangan belum bisa dilakukan tanpa ada struktur pembuatan hukum sebagai wadahnya. Struktur pembuatan hukum didasarkan
pada pembagian kekuasaan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Struktur ini tidak berdiri sendiri, menurut Satjipto Rahardjo lebih merupakan bagian dari penataan ketatanegaraan yang lebih luas. Selanjutnya dijelaskan dengan adanya pemisahan aktifitas ketatanegaraan menjadi tiga tersebut, maka pembuatan hukum akan berjalan melaui proses yang eksklusif.
Peranan BPD dalam bidang Perundang-undangan, menurut Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 4 Tahun 2001 tentang BPD, mencakup tiga hal yaitu :
a. Mengadakan rancangan perubahan atas Rancangan Peraturan Desa, dalam hal ini dilakukan melalui revisi RAPBDes.
b. Mengadakan perubahan dan atau pencabutan Peraturan Desa.
Selama ini BPD belum pernah melakukan pencabutan atas Peraturan Desa yang sudah berlaku, karena Peraturan Desa yang dianggap telah cukup memadai dan berdasarkan pada landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.
c. Mengajukan Peraturan Desa, meliputi mengajukan Rancangan Peraturan Desa dan prosedur pembuatan Peraturan Desa.
Peraturan Desa merupakan produk hukum desa artinya bahwa Peraturan Desa merupakan naskah hukum, dibuat, dibentuk dan diterbitkan oleh Pemerintahan Desa (Pemerintah Desa dan BPD). Proses
pembuatan Peraturan Desa yang dilakukan oleh Pemerintahan Desa melalui 3 (tiga) tahapan yaitu :
1) Tahap inisiasi.
Pada tahap inisiasi ide atau gagasan dalam pembuatan Peraturan Desa dapat datang dari dua belah pihak baik dari Pemerintah Desa maupun dari BPD. Apabila usulan tersebut datangnya dari BPD, maka rancangan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa, begitu juga sebaliknya apabila usulan tersebut datangnya dari Kepala Desa maka rancangan Peraturan Desa diserahkan kepada BPD. Artinya sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan Peraturan Desa. BPD mengadakan rapat yang dihadiri oleh ketua-ketua bidang (bidang kemasyarakatan atau pemerintahan dan pembangunan). Untuk membahas pendapat tersebut apabila usulan tersebut disepakati perlu adanya Peraturan Desa, maka hasil rapat tersebut dijadikan hasil pra-Rancangan Peraturan Desa. Usulan Peraturan Desa dapat dari masukan anggota masyarakat yang secara langsung atau lewat BPD kemudian dari BPD baru dibahas semacam kepanitiaan kecil, kalau disetujui baru rapat secara lengkap untuk membahas pantas tidaknya Peraturan Desa, setelah itu dibuat Rancangan Peraturan Desa. Sebuah idea tau gagasan pembuatan Peraturan Desa harus dibahas terlebih
dahulu melalui siding pleno guna menetapkan apakah usulan tersebut disetujui menjadi sebuah Rancangan Peraturan Desa atau tidak.
Setelah mendapat persetujuan dari rapat BPD bahwa dari usulan pembuatan Peraturan Desa menjadi Rancangan Peraturan Desa, maka Sekretaris BPD membuat Rancangan Peraturan Desa untuk diserahkan kepada Kepala Desa dalam bentuk tulisan guna mendapat persetujuan untuk menjadi Peraturan Desa.
Setelah Kepala Desa menerima Rancangan Peraturan Desa Kepala desa mengadakan rapat bersama dengan perangkatnya guna membahas Rancangan yang disampaikan oleh BPD. Hasil keputusan rapat tersebut akan dibahas dalam rapat gabungan yang dihadiri oleh BPD, Kepala Desa dan perangkatnya sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan perangkat Desa sesuai dalam pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa terdiri dari Sekretaris Desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan.
Pada tahap ini, BPD dan Kepala Desa mengkaji berbagai kepentingan yang ada dimasyarakat karena pembentukan Peraturan Desa merupakan pengitegrasian kepentingan-kepentingan social dimasyarakat ke dalam hukum tertulis.
2) Tahap Sosio-Politis. Rancangan Peraturan Desa yang telah diterima oleh Pemerintah Desa, diadakan pembahasan dalam rapat gabungan antara BPD, Kepala Desa serta perangkat Desa. Peranan perangkat Desa tersebut dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya nanti Peraturan Desa dapat diterima.
Dalam rapat pembahasan ketua BPD memberikan penjelasan mengenai latar belakang dan tujuan dibuatnya Peraturan Desa. Dalam rapat tersebut diadakan tanya jawab Kepala Desa diberi Rancangan Peraturan Desa sebelum diadakan rapat pembahasan. Pada waktu rapat pembahasan, permasalahan yang ada dalam Rancangan Peraturan Desa dibahas satu persatu, dibacakan oleh Ketua BPD, dan yang menetapkan Peraturan Desa adalah Kepala Desa.
Rancangan Peraturan Desa yang diajukan bermula dari satu pendapat atau satu pandangan dari pihak BPD, setelah dibahas bertemu dengan Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya sehinnga menghasilkan kesepakatan bersama, maka Peraturan Desa yang diajukan selalu mengalami perubahan yang bertujuan untuk menyempurnakan isi dan materi Peraturan Desa, sehingga Peraturan Desa yang dihasilkan dapat memenuhi aspirasi masyarakat dan menyangkut kepentingan umum. Setelah diadakan pembahasan yang
mendalam maka dapat diambil sebuah keputusan dapat diterima atau tidaknya rancangan tersebut menjadi sebuah Peraturan Desa. Pengambilan keputusan tentang Peraturan Desa biasanya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Namun tidak menutup kemungkinan diadakan voting.
3) Tahap Yuridis.
Setelah rancangan tersebut mendapat persetujuan dari semua pihak untuk dijadikan Peraturan Desa maka langkah selanjutnya adalah Kepala Desa bersama BPD menetapkan Rancangan Peraturan Desa tersebut menjadi sebuah Peraturan Desa sesuai Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Desa berlaku sejak ada ketetapan dari Kepala Desa. Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umun dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-Undangan setidak-tidaknya 5 (lima) asas dibawah ini perlu diketahui oleh perancang dan pelaksana peraturan yaitu:
a. Asas lex superiori derogat lex atheriori (peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan yang lebih tinggi, lebih tinggi pula kedudukannya);
b. Asas lex superiori derogat lex inferiori (peraturan hukum yang lebih tinggi membatalkan peraturan hukum yang lebih rendah);
c. Asas lex posteriori derogat lex priori (peraturan hukum yang baru mencabut peraturan hukum yang lama);
d. Asas lex spesialis derogat lex generalis (peraturan hukum yang khusus mengesampingkan peraturan hukum yang umum);
e. Asas egaliator (non dikriminatif dalam perumusan norma).
Produk-produk hukum yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat secara wajar dan spontan. Mengenai hal ini ada tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui pengakuan masyarakat tentang hukum yang dibuat, yaitu :
d. Peraturan Perundang-undangan, disosialisasikan mulai saat perancangan dan sosialisasi ini berlangsung terus menerus sepanjang proses perancangan sampai dengan awal pelaksanaannya.
e. Kesadaran hukum, kesadaran sosial, dan adat istiadat di dalam masyarakat sudah dijadikan jiwa dalam peraturan yang dibuat.
Perilaku sosial dan adat istiadat dimaksud harus pro pada pembentukan masyarakat daerah yang bersangkutan kea rah masyarakat Indonesia yang modern, agamis dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula keadaannya di Daerah Papua, Bali, dan Daerah lain yang spesifik, kesadaran religi dan adat istiadat masyarakatnya harus menjadi nafas dari norma yang disusun dalam peraturan daerahnya. Bahkan kekhususan otonomi daerah di Papua dan Bali dapat memungkinkan Hukum Kanakonik (Hukum Gereja) dan Hukum Weda (Hukum Hindu) menjadi sumber hukum pula.
f. Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat harus sebanyak-banyaknya mengatur keinginan sebanyak-banyaknya penduduk dan mengakomodasi sebanyak-banyaknya keinginan semua golongan masyarakat. Tolok ukur di atas dapat memberikan jaminan bahwa Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat merupakan cikal bakal Peraturan Perundang-undnagan yang diterima oleh masyarakat (acceptable), populis dan efektif. Populis, karena mengakomodir sebanyak-banyaknya keinginan penduduk di daerah. Efektif, karena peraturan yang dibuat itu operasional dan jangkauan peraturannya mencakup sebanyak-banyaknya kepentingan masyarakat dan senantiasa
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga setiap kebutuhan masyarakat pada setiap era, mampu diwadahinya. Inilah Peraturan Perundang-undangan yang baik.
Nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kesusilaan, terakumulasi dalam kaidah moral yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum positif. Lili Rasjidi dalam hal ini menyatakan bahwa hukum positif ini harus bersesuaian dengan norma-norma yang lebih tinggi. Pembuat Peraturan Peraturan Peraturan Perundang-undangan wajib mengikutinya sebagai pedoman pada pekerjaan membuat Undang-Undang. Misalnya, pembuat Undang-Undang tidak boleh mengumumkan Undang-Undang sebagai norma hukum.
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan fungsinya
Dalam pelaksanaan fungsi BPD secara intern dan ekstern terdapat beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain:
a. Kendala Intern (kendala dari dalam)
Kendala dalam pelaksanaan fungsi BPD di Desa Tabongo secara intern adalah SDM (sumber Daya Manusia) yang kurang mumpuni di bidang hukum dari anggota BPD. Permasalahan ini timbul karena warga Desa Tabongo yang notabene-nya berpendidikan tinggi banyak yang tidak bersedia untuk menjadi anggota BPD. Salah satu contoh dampak dari rendahya SDM anggota BPD Desa Tabongo dalam melaksanakan
fungsinya adalah dari sisi legislasi. BPD Desa Tabongo belum dapat membingkai semua aturan yang sudah menjadi kebiasaan di Desa Tabongo dalam suatu wadah yang berbentuk Peraturan Desa tertulis. Hal ini menjadi permasalahan karena syarat sebuah peraturan atau undang-undang adalah berbentuk tertulis dan dibuat melalui tahapan prosedural.
Menurut Ketua BPD Desa Tabongo Timur, pada dasarnya BPD Desa Tabongo Timur selalu melakukan koordinasi untuk melakukan pembahasan. Koordinasi yang dilakukan antara BPD, Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat Desa Tabongo Timur contohnya ketika akan membahas rancangan peraturan desa mengenai pembangunan gedung PKK dan serba guna dan penghargaan kepada mantan kepala desa, tetapi rancangan peraturan tersebut hanya berbentuk sebuah kesepakatan tanpa ada realisasi untuk menuangkannya dalam bentuk Peraturan Desa tertulis. Selain itu ada beberapa aturan kebiasaan seperti hibah untuk jalan umum, pologoro dan hiburan yang belum dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa secara tertulis. Peraturan Desa yang dapat ditemukan dalam pengambilan data pada saat penelitian meliputi Peraturan Desa No.4 tahun 2004 tentang APBDES, Peraturan Desa No.4 tahun 2005 tentang APBDes, Peraturan Desa No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, Peraturan Desa No.4 tahun 2006 tentang APBDes, Peraturan Desa No. 8 tahun 2006 tentang Sumber Pendapatan Desa, Peraturan Desa No. 3 Tahun 2006 tentang Lelang Tanah Bengkok Perangkat Desa yang Kosong Tahun 2006/2008, Peraturan Desa No.1 Tahun 2007 tentang Panitia Pemilihan Kepala Desa, Peraturan Desa No. 3 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Dengan realita ini dapat diperoleh kesimpulan kendala dari dalam BPD Desa Tabongo Timur adalah SDM yang kurang memadai di bidang hukum.
b. Kendala Ekstern (kendala dari luar)
Kendala yang dihadapi BPD Desa Tabongo Timur secara ekstern atau kendala dari luar yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan fungsi BPD adalah :
1. Fasilitas yang kurang memadai
Sarana dan prasarana BPD Desa Tabongo Timur yang belum terpenuhi seperti fasilitas ruang kerja tersendiri untuk BPD. Gedung BPD nampak tidak dirawat dan tidak dimanfaatkan dengan baik, hal ini mengkondisikan adanya kendala alokasi dana yang tidak mencukupi untuk pemeliharaan sarana prasarana dan untuk memfasilitasi BPD dalam melakukan kegiatan.
2. Dana operasional tidak mencukupi.
Dana operasional yang diterima BPD Desa Tabongo Timur tidak mencukupi, sementara mereka dituntut aktif memperjuangkan
kepentingan masyarakat dan menjalankan berbagai tugas dan wewenang dalam hubungan tata kerja dengan pemerintah desa. Akibatnya produktifitas, dan kreatifitas anggota BPD menjadi tidak maksimal karena mereka tentu lebih mengutamakan kepentingan ekonomi keluarga (bekerja) daripada memikirkan tugas-tugas BPD yang merupakan kegiatan sosial kemasyarakatan.
3. Kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah khususnya dalam bidang legislasi.
Pembinaan pendidikan dan latihan dari Pemerintah Daerah kepada anggota BPD masih sangat kurang bahkan belum pernah dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan data hasil penelitian yakni begitu anggota BPD dilantik terus ditinggalkan begitu saja, tidak ada pembinaan sebagai tindak lanjut tugas dan kewenangan yang harus dilakukan BPD dalam pembuatan Peraturan Desa.
3. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BPD untuk mengatasi kendala-kendala Pelaksanaan fungsinya oleh BPD.
Dalam melaksanakan fungsi legislasi BPD Desa Tabongo Timur ini terdapat beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat sebagai berikut :
a. Faktor pendukung
1) Lembaga BPD Desa Tabongo Timur
(a) BPD di Desa Tabongo Timur mempunyai fungsi yang nampak pada Pemerintahan Desa Tabongo Timur yaitu dengan adanya Pemerintah Desa menetapkan segala bentuk Peraturan Desa selalu meminta persetujuan dari BPD, baik dari Ketua BPD ataupun dari anggota BPD, baik itu mengenai masalah tata tertib Desa Tabongo Timur, APBDes ataupun masalah-masalah yang berkaitan dengan Pemerintahan Desa Tabongo Timur.
(b) Terlaksananya fungsi legislasi yang dilakukan mulai dari tahap inisiasi, sosio politis dan yuridis sampai dengan pelaksanaan hukum yaitu melakukan perampingan perangkat desa.
(c) Adanya kerjasama antara BPD dengan Pemerintah Desa dalam rangka memajukan Desa Tabongo Timur dan mentaati peraturan tata tertib yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Desa Tabongo Timur.
(d) Adanya dukungan dari BPD terhadap Pemerintahan yang ada sekarang ini di Desa Tabongo Timur.
(e) BPD telah dapat melaksanakan fungsi legislasinya dalam penyusunan dan penetapan Peraturan Desa meskipun dengan fasilitas seadanya.
Pemerintah Desa Tabongo Timur
(a) Setelah adanya BPD, Pemerintahan Desa jadi mengetahui apa yang menjadi keputusan dari Pemerintahan Desa Tabongo Timur itu sendiri.
(b) Penyelenggaraan Pemerintahan Desa benar-benar telah sesuai dengan Peraturan Desa sehingga dapat dipertanggung jawabkan dan dapat berjalan dengan baik.
3) Masyarakat Desa Tabongo Timur
(a) Masyarakat lebih terbuka dalam melaksanakan kegiatan yang ada hubungannya dengan pelaksanaan fungsi legislasi BPD.
(b) Masyarakat mendukung segala kegiatan BPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi BPD.
(c) Dalam pembahasan dan penetapan Peraturan Desa, masyarakat ikut terlibat.
b. Faktor penghambat
1) Lembaga BPD
(a) Sumber daya manusia yang masih rendah yaitu kurangnya jumlah anggota BPD Desa Tabongo Timur yang berpengalaman sebagai legislasi desa.
(b) Kurangnya anggota BPD yang berpendidikan tinggi.
(c) Kurangnya perawatan terhadap fasilitas BPD seperti misalnya gedung BPD sebagai tempat berlangsungnya segala kegiatan BPD dalam pelaksanaan fungsi legislasinya.
(d) Kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah khususnya di bidang legislasi.
(e) Dana kesejahteraan anggota BPD yang sangat tidak mendukung untuk melaksanakan kegiatan fungsi legislasinya secara maksimal.
2) Pemerintah Desa Tabongo Timur
(a) Minimnya pengetahuan Pemerintah Desa Tabongo Timur terhadap pembuatan Peraturan Desa.
(b) Anggapan bahwa dengan adanya anggota BPD hanya menambah pekerjaan dari perangkat desa, dengan adanya Peraturan Desa berate menambah-nambahi pekerjaan perangkat.
3) Masyarakat Desa Tabongo Timur
(a) Adanya kesalah pahaman dan kekurang pahaman masyarakat Desa Tabongo Timur tentang tugas dan fungsi legislasi BPD.
(b) Kurangnya kerjasama yang baik antara BPD dengan warga Desa Tabongo Timur.
(c) Kurangnya pengetahuan tentang hukum.
(d) Rendahnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat Desa Tabongo Timur
Berdasarkan kendala-kendala di atas telah ditempuh langkah-langkah sebagaimana paparan data hasil penelitian diatas. Guna pembahasan lebih lanjut langkah-langkah dalam mengatasi kendala seperti dipaparkan diatas dapat disajikan ulang sebagai berikut :
a. Rendahnya sumber daya manusia di bidang hukum dari anggota BPD belum ada pemecahan yang memadai. Namun demikian langkah-langkah untuk meningkatkan pengetahuan telah dilakukan melalui pertemuan-pertemuan antara perangkat desa, anggota BPD dan masyarakat, selain itu juga dilakukan dengan cara para anggota BPD dan Kepala Desa serta perangkatnya diberikan dasar pengetahuan tentang legal drafting melalui tutor ataupun pejabat kecamatan yang diundang langsung oleh Kepala Desa. Dalam penyusunan produk hukum dalam hal ini Peraturan Desa sudah barang tentu terdapat norma-norma atau ketentuan yang harus dijadikan sebagai pedoman, namun demikian untuk dapat memahami suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dengan baik, tepat dan benar, seringkali BPD mengalami kesulitan-kesulitan pemahaman, untuk itu mereka perlu mendapatkan dasar pengetahuan tentang legal drafting.
b. Minimnya fasilitas yang kurang memadai telah ditempuh dengan perampingan Perangkat Desa. Langkah perampingan dapat dipandang sebagai langkah yang mengarah pada efisiensi. Akibat dari efisiensi tentunya akan dapat menghimpun dan menghemat sumber daya untuk
dialokasikan pada bidang-bidang lain diantaranya bidang legislasi oleh BPD. Jika langkah ini dapat berjalan secara efektif, pada gilirannya BPD akan mendapatkan peningkatan sumber daya sehingga kinerja dalam pelaksanaan fungsi legislasi menjadi meningkat. Dengan peningkatan ini masyarakat pun akan meningkatkan kepercayaannya kepada BPD.
c. Dana operasional tidak mencukupi ditempuh dengan langkah yang sama dalam mengatasi kendala fasilitas yang kurang memadai yakni ditempuh dengan perampingan Perangkat Desa.
d. Belum efektifnya dan belum intensifnya pembianaan, pendidikan dan pelatihan para anggota BPD dalam menyusun Peraturan Desa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah, BPD menempuh langkah selalu mengadakan musyawarah dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam pembentukan Peraturan Desa. Melalui musyawarah ternyata permasalahan dapat terselesaikan dan dapat diterima penyelesaian ini oleh semua pihak sehingga semuanya menjadi beres. Hal ini juga mengandung makna seperti hasil pembinaan, karena hasil pembinaan dalam penyusunan Peraturan Desa tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan kondisi kehidupan warga desa yang lebih teratur, tertib aman dan damai. Berdasarkan kenyataan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah yang dilakukan BPD dalam hal pembentukan Peraturan Desa sudah cukup baik. Ukuran kebaikannya berdasakan pada kondisi kemampuan lembaga BPD.
Berdasarkan pembahasan di atas, guna kelancaran fungsi legislasi BPD diperlukan adanya tenaga yang memfasilitasi atau sebagai fasilitator di bidang pelaksanaan fungsi legislasi BPD. Fasilitator ini akan membantu baik Pemerintah Desa maupun BPD dalam menjalankan tugas masing-masing khususnya pelaksanaan fungsi legislasi.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh BPD dan Pemerintah Desa dalam mengatasi kendala pelaksanaan fungsi legislasi selama ini meskipun sudah baik tetapi belum menyentuh perlunya fasilitator. Bagaimanapun juga persoalan Peraturan Desa adalah persoalan hukum dan persoalan hukum ini mau tidak mau membutuhkan teknisi yang terampil, berkemampuan, memadai dan memiliki motivasi kerja yang tinggi.
Untuk lebih jelasnya langkah-langkah untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksaan fungsi legislasi dapat dilihat pada bagan berikut ini :
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian tentang fungsi BPD dalam legislasi Peraturan Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo maka dapat diambil simpulan :
1. Pelaksanaan fungsi legislasi BPD di Desa Tabongo Timur Kecamatan Tabongo.
Proses pembuatan Peraturan Desa yang dilakukan oleh BPD dan Kepala Desa melalui 3 (tiga) tahapan yaitu:
a. Tahap Inisiasi
Pada tahap ini inisiatif atau gagasan pembentukan Peraturan Desa lebih banyak berasal dari Kepala Desa dibandingkan dari pihak BPD. BPD sebagai wakil-wakil dari masyarakat desa kurang aktif dalam menyerap dan menampung aspirasi masyarakat. Di dalam tahapan ini peranan masing-masing anggota BPD dituntut untuk lebih aktif menyuarakan aspirasi masyarakat desa, karena anggota BPD adalah wakil-wakil masyarakat agar nantinya kebijakan yang dihasilkan bisa bersifat arif dan bijaksana bagi semua pihak dan tidak menimbulkan keresahan atau beban bagi masyarakat yang bisa mengganggu stabilitas Pemerintahan Desa.
b. Tahap sosio-politis
Pada tahap ini diadakan rapat pembahasan yang bertujuan untuk menyempurnakan isi dan materi Peraturan Desa. Pengambilan keputusan tentang Peraturan Desa dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dicapai kesepakatan, maka diadakan voting.
c. Tahap Yuridis
Kepala Desa bersama BPD menetapkan Rancangan Peraturan Desa menjadi Peraturan Desa. Agar warga tahu kalau ada peraturan yang mengikat di Desa Jatiroto ini, diadakan sosialisasi Peraturan Desa melalui rapat-rapat RT atau pada saat pertemuan, warga mengundang salah satu anggota BPD yang ada di wilayahnya atau Kepala Bidang untuk memberikan penjelasan tentang Peraturan Desa tersebut.
Dari hasil penelitian juga diperoleh data bahwa fungsi legislasi BPD Jatiroto belum dapat berjalan secara maksimal, hal ini ditunjukan dengan kurang komprehensipnya BPD Jatiroto dalam membingkai peraturan-peraturan desa yang masih bersifat konvensional atau kebiasaan kedalam bentuk peraturan tidak tertulis. Aturan yang hidup dalam masyarakat Desa Jatiroto antara lain aturan tentang hibah untuk jalan umum, aturan tentang pologoro, aturan tentang hiburan semuanya belum berbentuk Peraturan Desa.
2. Kendala-kendala yang dihadapi oleh BPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi di Desa Jatiroto Kecamatan Kayen Kabupaten Pati adalah :
a. Kendala Intern (kendala dari dalam)
Kendala pelaksanaan fungsi legislasi BPD secara intern adalah rendahnya sumber daya manusia. Rendahnya sumber daya manusia di bidang hukum dari anggota BPD dikarenakan banyak dari mereka yang hanya lulusan SMP bahkan ada yang lulusan SD. Dari 13 anggota BPD Desa Jatiroto, 5 (lima) orang berpendidikan SMA, 5 (lima) orang berpendidikan SMP dan 3 (tiga) orang berpendidikan SD. Praktis kemampuan pelaksanaan fungsi legislasi tersebut tidak dapat berjalan efektif.
b. Kendala Ekstern (kendala dari luar)
Kendala yang dihadapi BPD Desa Jatiroto secara ekstern atau kendala dari luar yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan fungsi legislasi oleh BPD meliputi :
1) Fasilitas yang kurang memadai seperti belum terpenuhinya sarana dan prasarana ruang kerja tersendiri untuk BPD.
2) Dana operasional tidak mencukupi sementara BPD dituntut aktif memperjuangkan kepentingan masyarakat dan menjalankan berbagai tugas dan wewenang dalam hubungan tata kerja dengan pemerintah desa.
3) Kurangnya bimbingan teknis dari Pemerintah Daerah khususnya dalam bidang legislasi.
3. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala pelaksanaan fungsi legislasi BPD di Desa Jatiroto Kecamatan Kayen Kabupaten Pati sebagai berikut :
a. Kendala intern
Kendala intern yaitu masih rendahnya sumber daya manusia di bidang hukum dari anggota BPD belum ada pemecahan yang memadai. Namun demikian langkah-langkah untuk meningkatkan pengetahuan telah dilakukan melalui pertemuan-pertemuan antara perangkat desa, anggota BPD dan masyarakat, selain itu juga dilakukan dengan cara para anggota BPD dan Kepala Desa serta perangkatnya diberikan dasar pengetahuan tentang legal drafting melalui tutor ataupun pejabat kecamatan yang diundang langsung oleh Kepala Desa.
b. Kendala ekstern
1) Minimnya fasilitas yang kurang memadai telah ditempuh dengan perampingan Perangkat Desa. Langkah perampingan dapat dipandang sebagai langkah yang mengarah pada efisiensi
2) Dana operasional tidak mencukupi ditempuh dengan langkah yang sama dalam mengatasi kendala fasilitas yang kurang memadai yakni ditempuh dengan perampingan Perangkat Desa.
3) Belum intensifnya pembianaan, pendidikan dan pelatihan para anggota BPD dalam menyusun Peraturan Desa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat Pemerintah Daerah, BPD menempuh langkah selalu mengadakan musyawarah dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam pembentukan Peraturan Desa.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang Fungsi BPD dalam legislasi Peraturan Desa Jatiroto Kecamatan Kayen Kabupaten Pati dapat disampaikan saran sebagai berikut :
1. Pelaksanaan fungsi legislasi BPD di Desa Jatiroto Kecamatan Kayen Kabupaten Pati.
a. BPD sebagai wakil-wakil dari masyarakat desa harus lebih aktif dalam menyerap dan menampung aspirasi masyarakat.
b. Pada rapat pembahasan hendaknya tidak ada kelompok yang dimarginkan atau dianggap lemah serta tidak ada kelompok yang merasa lebih kuat atau lebih pandai.
2. Kendala-kendala yang dihadapi oleh BPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi.
a. Kendala Intern
1) BPD bersama Kepala Desa perlu mengajukan usulan pada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan diklat penyusunan Peraturan Desa.
2) Agar pelaksanaan fungsi legislasi BPD dapat berjalan lancar maka perlu adanya fasilitator atau semacam staf ahli BPD di bidang legislasi.
b. Kendala Ekstern
1) Pemerintah Desa perlu mengalokasikan dana untuk sarana prasarana dan kesejahteraan anggota BPD sesuai dengan kemampuan desa guna meningkatkan motivasi kerja BPD.
2) Masyarakat harus aktif mengontrol kinerja BPD agar dalam menjalankan fungsinya tetap berpijak pada kepentingan masyarakat.
3) Dalam memilih anggota BPD pada periode selanjutnya, hendaknya tidak hanya memilih berdasarkan pengenalan atau kedekatan tapi lebih didasari pertimbangan rasional terhadap kualitas calon anggota BPD yang akan dipilih.
3. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala pelaksanaan fungsi legislasi BPD di Desa Jatiroto Kecamatan Kayen Kabupaten Pati.
a. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BPD untuk mengatasi kendala-kendala pelaksanaan fungsi legislasi telah dilakukan oleh BPD yakni dengan musyawarah antara Pemerintah Desa, anggota BPD serta masyarakat. Namun mengingat sumber daya manusia yang belum memadai dalam bidang hukum, maka agar pelaksanaan fungsi legislasi
BPD dalam pembuatan Peraturan Desa lebih lancar perlu adanya fasilitator atau semacam staf ahli di bidang legislasi dari Pemerintah Daerah.
b. Perlunya sebuah wadah atau forum yang khusus mengawasi kinerja BPD dan Kepala Desa mengingat BPD dan Kepala Desa adalah unsur pemerintahan paling bawah yang mendasari untuk penyelenggaraan pemerintahan yang baik sehingga pelayanan pada masyarakat dapat ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pengembangan Desa Aspiratif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Adisubrata, Winarna Surya. 2003. Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu.
Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Hadi, Setia Tunggal. 2001. Peraturan Pelaksanaan UU Otonomi Daerah. Jakarta: Harvarindo.
Koswara, E., 1999. "Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat". Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Tentang Otonomi Daerah di UNIBRAW Malang, 4 Oktober 1999.
Modeong, Supardan. 2004. Teknik Perundang-Undangan di Indonesia. Jakarta PT Perca.
Moleong, Lexy j. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Rahman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IKIP Semarang Press.
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Rasyid, Ryaas, 1997. "Perkembangan Pemikiran Tentang Masyarakat Kewargaan". Dalam Jurnal Ilmu Politik No. 17. hal. 3-11. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Saparin, Sumber. 1977. Tata Pemerintahan dan Administrasi Desa. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sedarmayanti. 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam rangka Otonomi Daaerah. Bandung: Mandar Maju.
Setda Kab. Pati, 2002. Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Pati tentang Pemerintahan Desa. Pati.
Soemitro, Ronny Hanitijo.1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suharsimi, Ari Kunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Sulastomo. 2001. Demokrasi atau Democracy. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Syarifin, Pipin. dan Jubaedah, Dedah. 2006. Pemerintahan Daerah di Indonesia. : Bandung: Pustaka Setia.
Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wasistiono, Sadu dan Tahir, M. Irwan. 2006. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: Fokus Media.
Widjaja. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo.
S. Prakoso Bhairawa Putera, (opini) Pelurusan Paradigma ”PemberdayaanMasyarakat”.http://bhairawaputera.multiply.com/journal/item/36. (10 feb. 2008).
Nanasudiana,2007.Menuju Pemberdayaan Masyarakat. http://nsudiana.Word Press.com/2007/12/22. (10 feb. 2008).
Carry, Tony. 2006.disertasi lengkap.http://www.baubau.co.id.(10 feb. 2008)
Djohan, Djohermansyah. 2005.”Fenomena etnosentrisme dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah”. Dalam Haris, syamsuddin (Ed.), Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI anggota IKAPI. Hal. 291).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tentang Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 4 Tahun 2001 tentang BPD.
Peraturan Pemerintah Kabupaten Pati Nomor 7 Tahun 2001 tentang Peraturan Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa
0 komentar:
Posting Komentar