Kondisi mahasiswa saat ini, sungguh memprihatinkan. Apalagi jika kita melihat kembali pengharapan masyarakat atas diri mereka. Mahasiswa seolah terasing dari masyarakat dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Pola pergaulan dan gaya hidup yang dibangun juga tidak mencerminkan keteladanan. Lebih dari itu, mahasiswa kehilangan ruh-nya sebagai intelektual sejati.
Keterasingan mahasiswa dari masyarakat terjadi karena mereka dituntut untuk menguasai ilmu yang diberikan di kampus. Sebagian mahasiswa, oleh keluarganya dituntut untuk lulus cepat dengan nilai tinggi, segera bekerja dan berpenghasilan besar. Sementara kurikulum perguruan tinggi saat ini juga semakin mengarah pada kebutuhan dunia industri, lapangan kerja dimana mereka akan terserap. Mahasiswa tidak lagi diajarkan dan diberi kesempatan oleh pihak kampus untuk dekat, belajar dari dan bersama masyarakat.
Mahasiswa, yang sebagian besar jauh dari pantauan keluarga, hidup dalam dunia dan komunitasnya sendiri. Mereka tidak perlu memikirkan kesulitan hidup, karena uang kost, jatah makan dan uang saku disuplai secara rutin oleh orang tua dalam jumlah yang tidak sedikit. Ini kemudian memunculkan rasa nyaman dan ketidak-mandirian mahasiswa. Mereka kemudian terbuai dalam gaya hidup hedonis, serba instan dan kurang memahami makna kerja keras dan perjuangan.
Dunia perguruan tinggi yang semakin diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, menjadikan mahasiswa hanya mempelajari ilmu terkait bidang studinya saja, selain itu tidak. Di satu sisi, mereka sangat menguasai bidang studi yang dipelajari, sementara disisi lain mereka tidak memahami hakekat belajar yang sesungguhnya karena dididik secara parsial. Mereka menuntut ilmu kemudian semata-mata diorientasikan pada dunia kerja, tidak lebih. Akhirnya mereka dididik untuk menjadi pekerja, mesin industrialiasi. Padahal intelektual sejati adalah mereka yang memahami realitas masyarakat sekelilingnya, kemudian bersama masyarakat mengubah kondisi itu menjadi lebih baik. Inilah intelektual organik.
Mahasiswa, menurut Rama Pratama yaitu kaum yang ingin menjadi kekuatan penyeimbang (balancing power), adalah sekelompok muda yang pernah mendapatkan kepercayaan dari rakyat melebihi kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya sendiri. Dielukkan, diagungkan, dicatat dalam sejarah setiap geriknya. Setidaknya inilah yang sempat terjadi akhir tahun 90an. Ketika kedasyatan kekuatan pergerakan mahasiswa dapat mengalahkan rezim tirani orde baru (dengan dukungan banyak pihak tentunya).
Dan di dekade baru ini kemanakah dukungan rakyat itu? Lunturkan kepercayaan meraka? Tak taulah, menurut pengamatan saya pribadi, masayrakat kini seakan muali tak menggubris aksi mahasiswa, setali dua uang dengan “petinggi petinggi” kita. Secara sederhana terlihat ketika kita melakukan sebuah aksi, yang bahkan sebuah aksi damai, sebagian rakyat bukannya bertanya “apa yang terjadi ini?” tapi berpendapat “ngapain sih ni mahasiswa, bukannya belajar malah bikin jalan macet!” aduhai, tak taulah mereka kalau nasib mereka yang kita perjaungkan.
Masyarakat sepertinya kini mulai sepaham dengan pendapat seorang budayawan Ehma Ainun Najim, “jangan berharap aksi mahasiswa bisa mengubah keadaan”. Sebuah ungkapan yang menurut saya cukup untuk menggelitik akal dan nurani ke-“aktivisa”-an kita.
Mahasiswa merupakan makhluk dambaan semua orang, orang tua, remaja puteri, maupun putera dan anak-anak dengan beragam motivasi “menginginkan”-nya. Orang tua menginginkan anaknya atau “calon anaknya” (mantu-red) menjadi atau berasal dari kalangan mahasiswa. Remaja puteri maupun putera berkeinginan pada saatnya nanti bisa berkeinginan menjadi mahasiswa/i atau paling tidak orang terdekatnya berasal dari kalangan mahasiswa. Anak-anak bercita-cita kelak apabila sudah besar nanti bisa menjadi seorang mahasiswa. Mengapa demikian?
Hal tersebut dikarenakan di republik ini, mahasiswa merupakan golongan yang dikategorikan elit. Faktanya, secara statistik hanya 11% dari seluruh penduduk Indonesia ini yang mampu melakukan mobilitas vertical untuk dapat masuk ke dalam golongan ini. Sebagai akibat dari biaya pendidikan yang mahal dan tidak meratanya kesempatan untuk mengenyam fasilitas pendidikan sampai jenjang yang paling tinggi (padahal hal tersebut merupakan hak konstitusional seluruh warga negara indonesia, sebagai mana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27)
Karena termasuk ke dalam golongan elite tersebut, mahasiswa berkesempatan untuk menikmati berbagai perlakuan istimewa (privilage) baik yang diberikan masyarakat maupun pemerintah. Faktanya dalam struktur sosial di masyarakat, mahasiswa ditempatkan dalam puncak piramida struktur sosial, sehingga kesempatan untuk melakukan mobilitas vertical lebih terbuka lebar. Hal ini terbukti setiap ada pemilihan figur pimpinan dilingkungan masyarakat, mahasiswa atau orang yang pernah menyandang status mahasiswa selalu didahulukan. Pemerintah setali tiga uang dengan masyarakat, banyak fasilitas dan kesempatan khusus yang hanya diberikan pemerintah kepada mahasiswa, antara lain berupa subsidi pendidikan yang mencapai nominal antara 6-7 juta per-mahasiswa.
Konsekuensi adanya privilage yang dinikmati mahasiswa, membuat golongan masyarakat lain harus mengorbankan sebagian haknya. Salah satu faktanya adalah subsidi yang diberikan pemerintah merupakan hasil dari pungutan pajak yang dilakukan pemerintah dari semua warga negara tanpa terkecuali. Sehingga semua masyarakat, dengan latar belakang pemulung, tukang asong, tukang ojek, bahkan seorang pengemispun berkontribusi untuk menjadikan kita mahasiswa. Mengapa demikian? Karena semua mereka itu bayar pajak atau paling tidak ketika membeli barang, bahkan hanya sebatang rokokpun mereka berkontribusi untuk membayar pajak.
Terus, setelah kita mengetahui seperti itu, masalahnya apa? Sebetulnya Tidak ada masalah! Tetapi yang harus kita sadari bahwa kita mempunyai kewajiban moral, sosial dan transedental untuk membayar semua pengorbanan masyarakat tersebut. Karena ketika kita menjadi mahasiswa, beribu-ribu teman kita harus berkorban mengubur mimpi menjadi mahasiswa – karena berbagai alasan dan berjuta-juta masyarakat harus mengorbankan sebagian haknya untuk mendapatkan subsidi pemerintah. Jadi, ternyata kita menjadi mahasiswa itu bukan hanya karena orang tua kita kaya, mampu dan berkeinginan, betul? Karena biaya kita untuk menjadi mahasiswa sangat besar dan tidak hanya bisa ditanggung sendiri melainkan juga harus disubsidi oleh pemerintah yang sumbernya berasal dari pajak masyarakat.
Setelah sadar, apa yang harus kita lakukan? Langkah pertama kita adalah harus menghayati makna seorang mahasiswa, kemudian mengetahui fungsi dan menjalankan fungsi tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam setiap aspek kehidupan yang bersentuhan dengan setiap kepentingan masyarakat. Memaknai menjadi seorang mahasiswa termasuk proses yang gampang-gampang susah.
Jadi apa makna hakiki menjadi mahasiswa? sebelum menyelami makna tersebut, alangkah baiknya kita menyelami sebuah ungkapan yang disitir dari seorang SPIDERMAN, ia mengatakan ”Sebuah potensi (kekuatan) yang besar melahirkan tanggung jawab yang besar”. Apa maknanya dari ungkapan tersebut dan apa hubungannya dengan mahasiswa? Makna bahwa ketika Tuhan menganugerahkan sebuah potensi kepada manusia, maka manusia tersebut wajib hukumnya untuk memanfaatkan dan menggunakan potensinya tersebut sebesar-besarnya untuk kemanfaatan dan kemaslahatan seluruh umat manusia. Hal ini dalam terminologi Islam dihayati dan dipahami sebagai konteks bersyukur terhadap nikmat Allah Swt. Dan apabila disambungkan dengan konteks mahasiswa, kita harus mengetahui dan memahami bahwa konteks perlakuan istimewa yang diberikan kepada kita sebagai akibat masyarakat dan pemerintah menganggap kita memiliki potensi yang besar.
Pertanyaan selanjutnya, potensi besar apa yang dimiliki oleh kita selaku mahasiswa. Menurut primbon yang kita sendiri tidak tahu siapa pengarangnya menyebutkan bahwa mahasiswa merupakan kaum cendikiawan yang memiliki potensi intelektual yang tinggi, memiliki mobilitas yang massif yang memiliki integritas dan idealisme yang treruji. Intlektual tinggi mengisyaratkan bahwa mahasiswa adalah orang dengan tingkat IQ yang diatas rata-rata normal, karena menurut penelitian bahwa hanya orang yang dengan IQ di atas rata-rata normal yang mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang S1 atau S2. Asumsinya tidak akan ada orang yang menjadi mahasiswa dengan IQ jongkok, kecuali masuk menjadi mahasiswa-nya memakai cara-cara UUD (Ujung-ujungnya Duit) dan NKK (nelpon Konco Kanan-kiri).
Hal tersebut diatas menjadikan seorang Mahasiswa harus mempunyai daya analisis, daya argumentasi dan daya rasional yang tinggi. Sehingga jangan sampai ada kejadian mahasiswa tapi otaknya TK. Mobilitas yang tinggi mensyaratkan mahasiswa harus dinamis dan kreatif, jangan mengaku mahasiswa apabila kerjanya hanya 3 M (mejeng, Makan, dan meroko) apalagi 6 M ( ditambah dengan menipu ”cewek dan orang tua”, madat/mabok dan main”judi”), karena mahasiswa dengan tipe tersebut hanya akan berakhir di M yang lainnya lagi, yaitu Makam. Sedangkan integritas dan idealisme mensyaratkan seorang mahasiswa harus memiliki ketaatan yang kuat terhadap aturan, norma dan etika dalam setiap perkataan, tindakan dan prilaku, selain itu seorang mahasiswa harus mampu melihat, memahami dan memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat disekelilingnya.
Terus apabila sudah mengetahui semua hal tersebut diatas, apa yang harus kita lakukan? Bahwa ketika kita kita sadar diberikan Tuhan anugerah potensi yang besar, ketika kita sadar sesadar-sadarnya bahwa hak istimewa yang diterima oleh kita merupakan pengorbanan dari masyarakat, tidak ada kata lain selain kita harus dianggap sebagai hutang budi yang pada akhirnya harus dibayar. Dibayar dengan apa? Dengan melaksanakan fungsi dan peran mahasiswa sebagai agent of change sekaligus sebagai agent of social control, dengan kata lain, yakni dengan melakukan kewajiban dan penunaian fungsi kita sebagai mahasiswa dalam konteks sosial. Karena apabila kita tidak melakukan itu berarti kita telah melakukan pengkhianatan dan termasuk ke dalam umat yang tidak bersyukur kepada Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar