BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai salah satu Pusat penyebaran berbagai tumbuhan tropis di dunia dan diperkirakan diseluruh kepulauan Nusantara terdapat lebih dari 30.000 spesies tumbuhan tinggi dari lebih 250.000 spesis yang terdapat di dunia. Penelitian terhadap kandungan kimia tumbuhan tinggi menghasilkan penemuan – penemuan baru. Tumbuhan memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup mahluk di atas bumi. Di samping itu tumbuhan sesungguhnya merupakan potensi kimia dari sebagian besar sumber daya hayati yang ada di atas bumi, yang setiap saat dapat memproduksikan senyawa kimia secara teratur dan seimbang baik berupa produk metabolit primer dan metabolit sekunder. Senyawa kimia tersebut berfungsi untuk mendukung kelangsungan hidup tumbuhan itu sendiri baik itu untuk pertumbuhan maupun sebagai alat interaktif terhadap ekosisitem (Cunha, 1998 dalam Sukandar, 2000).
Sebanyak 250.000 spesies tumbuhan tinggi, yang terdapat dipermukaan bumi ini lebih dari 50 % diantaranya berada dihutan tropis dan hanya 0,4 % saja yang telah diselidiki kandungan kimianya, sedangkan lebih dari 25 % resep obat-obatan yang digunakan saat ini mengandung bahan kimia bioaktif yang berasal dari tumbuhan tinggi (Farnsworth, 1990 dalam Ahmad, 1995)
Menurut Ferlinahayati (1999) salah satu famili tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber bahan kimia bioaktif dan jumlahnya relatif besar adalah Moraceae yang terdiri dari 60 genus dan 1400 spesies. Genus utama dari famili ini adalah Artocarpus.
Spesies tumbuhan Artocarpus yang telah diselidiki kandungan kimianya seperti : A. heterophylla, A. communis, A. rigida, A. lanceifolius, A. champeden dan A. teysmani.
Salah satu spesies Artocarpus yang banyak ditemukan di Indonesia yakni A. heterophylla, Lmk atau sering disebut nangka buah. Nangka buah banyak tumbuh dan berproduksi didaerah tropis. Dibeberapa daerah di tanah air khususnya di daerah Gorontalo, A. heterophylla, Lmk (nangka buah) banyak ditemukan dan tumbuhan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari – hari.
Hampir semua bagian dari tumbuhan A. heterophylla, Lmk (nangka buah) dapat dimanfaatkan buahnya dikonsumsi sebagai bahan makanan yang mengandung gizi cukup banyak, akarnya digunakan sebagai obat diare, serat batangnya digunakan sebagai bahan bangunan rumah tangga (Rukmana, 1998).
Penelitian terdahulu, terhadap famili yang sama yakni bahwa pada kulit akar dan kayu akar Artocarpus champeden dalam ekstrak metanol fraksi etil asetat telah ditemukan dua senyawa baru flavonoid yakni masing-masing senyawa Artoindonesianin A dan Artoindonesianin B. Penemuan ini menindikasikan bahwa pada genus yang sama berpotensi sebagai sumber flavonoid. Dengan demikian potensi untuk menemukan senyawa flavonoid pada tumbuhan Artocarpus heterophylla, Lmk (nangka buah) yang tumbuh di daerah Gorontalo sangat besar.
Menurut Nakanishi (1974), tumbuhan dengan famili yang sama cenderung mempunyai kemiripan senyawa yang dikandungnya atau secara umum mengandung konstituen karakteristik lain yang secara struktur terkait. Penyebaran flavonoid dalam tumbuhan ini ialah adanya kecenderungan yang kuat bahwa tumbuhan yang secara taksonomi berkaitan akan menghasilkan flavonoid yang jenisnya serupa (Markham, 1988).
Senyawa flavonoid termasuk jenis metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuhan dengan memperlihatkan keanekaragaman struktur yang tinggi, baik sebagai kerangka karbon maupun gugus fungsi yang sekaligus memberikan sifat bioaktivitas yang beraneka ragam (Sukandar, 2000). Flavonoid adalah satu kelompok senyawa fenol alam, merupakan pigmen tumbuhan, terdapat dalam semua bagian tumbuhan tinggi Genus Artocarpus kaya akan senyawa fenol terutama golongan flavonoid (Achmad, 1986).
Penelitian ini akan mengkaji lebih lanjut senyawa flavonoid yang terkandung didalam kulit batang nangka buah. (Artocarpus heterophylla, Lmk). yang tumbuh di daerah Gorontalo.
Berdasarkan uraian di atas, maka judul penelitian ini adalah : “ Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Metanol Fraksi Etil Asetat Kulit Batang Nangka Buah (Artocarpus heterophylla, Lmk) ”
1.2 Rumusan Masalah
Dalam upaya menggali potensi A. heterophylla, Lmk dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: “Apakah senyawa flavonoid dari ekstrak metanol fraksi etil asetat dari kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk), dapat diisolasi dan dikarakterisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa flavonoid dari ekstrak metanol fraksi etil asetat kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk).
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1.4.1 Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang senyawa flavonoid yang terkandung dalam kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk).
1.4.2 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa dan penulis terutama dalam bidang kimia bahan alam.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Nangka Buah (Artocarpus heterophylla, Lmk.)
Tumbuhan Artocarpus lazim dikenal masyarakat umum sebagai tumbuhan nangka-nangkaan, seperti nangka (A. heterophylla), cempedak (A. integer) dan sukun (A. communis)
Pada dasarnya tanaman nangka buah ((Artocarpus heterophylla, Lmk) adalah tanaman yang berumur panjang. Tanaman nangka buah ini sangat mudah dikembangkan, cepat tumbuh dan berproduksi di daerah beriklim tropis dan subtropis dalam bentuk pepohonan, dan sebanyak 27 spesies tumbuhan Artocarpus yang berguna telah ditemukan dikawasan tropis Indonesia (Sukandar,2000).
Tumbuhan Artocarpus heterophylla, Lmk dikenal dengan nama nangka buah. Dalam Rukmana (1998) Nama tumbuhan nangka buah diberbagai daerah amat beragam, antara lain panah (Aceh) pinasa, sibodak, naka (Batak), baduh atau enaduh (Dayak), binaso, lamara, atau lamasa (Lampung), naa (Nias), kuloh (Timor), langge (Gorontalo)
2.1.1Taksonomi Tumbuhan
Menurut Tjitrosupomo (1994) bahwa berdasarkan morfologinya tanaman nangka buah kedudukannya dalam taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantarum
Divisio : Gymnospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Moraceales
Family : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus heterophylla, Lmk
Family Moraceae diperkirakan ada 60 genus dan 1400 spesies, baik yang tumbuh di daerah tropika maupun di daerah sub tropika. Menurut Rukmana (1998) dari suku beringin-beringinan (family Moraceae) mempunyai kerabat dekat, diantaranya cempedak (A. champeden), keluwih (A. altilis), sukun (A. communis), teureup (A. elastica) tampang atau tiwu landak (A. glaucus, BL), kerteuw (A. pomiformis) peusar atau tempunik (A. rigidus) dan nangka buah (A. heterophylla, Lmk). Di antara marga Artocarpus tersebut, tanaman nangka buah dan cempedak sudah umum dibudidayakan. Marga lain umumnya tumbuh liar di habitat alami, kecuali keluwih yang mulai banyak ditanam di kebun atau tegalan .
2.1.2Morfologi Tumbuhan
Menurut Rukmana (1998), tumbuhan A. heterophylla, Lmk mempunyai ciri-ciri (karakteristik) dalam beberapa bagian yakni pada akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Tumbuhan A. heterophylla, Lmk mempunyai struktur perakaran tunggang berbentuk bulat panjang, menembus tanah cukup dalam. Akar cabang dan buluh akarnya tumbuh kesegala arah. Batang tumbuhan nangka buah ini berbentuk bulat panjang, berkayu keras dan tumbuhnya lurus dengan diameter (garis tengah) antara 30 cm-100 cm tergantung pada umur tumbuhan. Kulit batang umumnya agak tebal dan berwarna keabu-abuan. Daun biasanya berbentuk bulat telur dan panjang. Permukaan atas daunnya berwarna hijau tua dan permukaan bawah daun berwarna hijau muda. Menurut Van stenis (1987) daun biasanya tidak berlekuk, hanya daun pada pohon muda dan tunas air yang mempunyai lekuk besar, helaian memanjang atau bulat telur berbalik, dengan pangkal menyempit sedikit demi sedikit, tepi rata, serupa kulit, dari atas mengkilat hijau tua.
Gambar 1. Artocarpus heterophylla, Lmk (Sumber : Rukmana, 1997)
Selanjutnya menurut Rukmana (1998), nangka buah mengandung madu dan beraroma harum. Buah dari nangka buah ini berbentuk panjang atau lonjong, buahnya beraroma harum yang berasal dari kandungan senyawa etil-butirat, berair dan rasanya manis. Bijinya berbentuk bulat sampai lonjong, berukuran kecil, dan berkeping dua.
Faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap tumbuhan A. heterophylla, Lmk adalah temperatur, curah hujan dan kelembaban udara. Daerah pusat penyebaran tanaman ini umumnya daerah-daerah yang bertipe iklim E (kering)
2.1.3Khasiat dan Kegunaan
Sejak dulu tumbuhan A. heterophylla, Lmk (nangka buah) banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Getah dari nangka buah ini dapat digunakan sebagai lem, kayu akar, setelah dijemur dan diremas, airnya dapat diminum untuk menghentikan murus darah. Buahnya dapat dikonsumsi, banyak mengandung vitamin C dan sering dibuat sayuran serta hampir semua kayu batang dari tumbuhan A. heterophylla, Lmk (nangka buah) dapat dibuat sebagai bahan bangunan dan pembuatan mebel (Erwin, 2001)
Selain itu menurut Heyne (1987) bahwa hampir semua bagian tumbuahan A. heterophylla, Lmk (nangka buah) dapat digunakan bagi masyarakat luas untuk keperluan hidup, seperti bahan pangan, bahan bangunan dan industri, serat pakaian, bahan perekat dan obat tradisional.
2.1.4Komposisi Kimia
Cope dan Perkin (1895) dalam Agustini (1999) telah melaporkan bahwa di dalam batang nangka buah (A. heterophylla) mengandung senyawa-senyawa flavonoid morin (1) dan sianomaklurin (2).
(1)
(1) (2)
Sukandar (2000) telah melaporkan pula bahwa dalam tumbuhan nangka buah (A.heterophylla) mengandung 72 senyawa turunan flavonoid terisoprenilasi, diantaranya heterofilin (3) dan sikloheterofilin (4).
(3) (4)
Kemudian chung (1995) dalam Afrida (1999) telah melaporkan pula bahwa dalam kayu akar nangka buah (A. heterophylla) mengandung senyawa turunan flavonoid artonin A (5) dan Artonin B (6).
(5) (6)
2.2Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pastilah ditemukan pula pada setiap telaah ekstrak tumbuhan. Dalam tumbuhan, flavonoid terdapat dalam berbagai struktur. Semuanya mengandung 25 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6 – C3 – C6 yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tak dapat membentuk cincin ketiga.
Gambar 2. Sistem Penomoran Pada Cincin A, B dan C
Modifikasi flavonoid lebih lanjut, dapat mungkin terjadi pada berbagai tahap dan menghasilkan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi gugus hidroksil atau inti flavonoid, isoprenilasi gugus hidroksil atau inti flavonoid, metilenasi gugus orto-dihidroksil, dimerisasi (pembentukan biflavonoid), pembentukan bisulfat, dan yang terpenting adalah glikosilasi gugus hidroksil (pembentukan flavonoid O-glikosida) atau inti flavonoid (pembentukan flavonoid C-glikosida) (Markham, 1988).
Markham (1988) menyatakan bahwa flavonoid pertama yang dihasilkan pada alur biosintesis flavonoid ialah khalkon, dan semua turunan flavon diturunkan darinya melalui berbagai alur. Semua golongan flavonoid saling berkaitan, karena berasal dari alur biosintesis yang sama. Cincin A terbentuk karena kondensasi ekor-kepala dari tiga unit asam asetat-malonat atau berasal dari jalur poliketida. Cincin B serta satuan tiga atom karbon dari rantai propan yang merupakan kerangka dasar C6 – C3 berasal dari jalur asam sikimat (Manitto, 1981).
Berdasarkan kerangka dasarnya, maka dikenal beberapa jenis flavonoid diantaranya : khalkon, auron, flavanon, isoflavon, flavon, dihidroflavonol, flavonol, antosianin, katekin (flavan 3 – ol), flavan 3,4 – diol, dan proantosianin seperti tampak pada gambar:
Gambar 3. Beberapa Struktur Dari Senyawa Turunan Flavonoid
2.2.1Isolasi Flavonoid
Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi, yakni dengan cara maserasi atau sokletasi menggunakan pelarut yang dapat melarutkan flavonoid. Flavonoid pada umumnya larut dalam pelarut polar, kecuali flavonoid bebas seperti isoflavon, flavon, flavanon, dan flavonol termetoksilasi lebih mudah larut dalam pelarut semi polar. Oleh karena itu pada proses ekstraksinya, untuk tujuan skrining maupun isolasi, umumnya menggunakan pelarut methanol atau etanol. Hal ini disebabkan karena pelarut ini bersifat melarutkan senyawa–senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar. Ekstrak methanol atau etanol yang kental, selanjutnya dipisahkan kandungan senyawanya dengan tekhnik fraksinasi, yang biasanya berdasarkan kenaikan polaritas pelarut (Monache, 1996).
Dalam penelitian ini senyawa flavonoid diisolasi dengan tekhnik maserasi, mempergunakan poelarut methanol teknis. Ekstraksi methanol kental kemudian dilarutkan dalam air. Ekstrak methanol–air kemudian difraksinasi dengan n-heksan dan etil asetat. Masing–masing fraksi yang diperoleh diuapkan, kemudian diuji flavonoid. Untuk mendeteksi adanya flavonoid dalam tiap fraksi, dilakukan dengan melarutkan sejumlah kecil ekstrak kental setiap fraksi kedalam etanol. Selanjutnya ditambahkan pereaksi flavonoid seperti : natrium hidroksida, asam sulfat pekat, bubuk magnesium–asam klorida pekat, atau natrium amalgam–asam klorida pekat. Uji positif flavonoid ditandai dengan berbagai perubahan warna yang khas setiap jenis flavonoid (Geissman, 1962).
2.2.2Karakterisasi Flavonoid
Karakterisasi senyawa flavonoid lazim dilakukan dengan pengukuran-pengukuran spektrofotometri. Dari segi struktur, senyawa-senyawa flavonoid dapat dideteksi berdasarkan warnanya di bawah sinar tampak atau sinar ultra lembayung. Flavonoid mempunyai sistem karbonil yang berkonyugasi dengan cincin aromatik, sehingga senyawa-senyawa ini menyerap sinar panjang gelombang tertentu di daerah ultra violet (Achmad, 1986).
2.3 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses atau metode pemisahan dua atau lebih komponen dengan menambahkan suatu pelarut yang hanya dapat melarutkan salah satu komponennya saja.
Dalam prosedur ekstraksi, larutan berair biasanya dikocok dengan pelarut organik yang tak dapat larut dalam sebuah corong pemisah. Zat – zat yang dapt larut akan terdistribusi diantara lapisan air dan lapisan organik sesuai dengan (perbedaan) kelarutannya.
Pada ekstraksi senyawa – senyawa organik dari larutan berair, selain air atau eter, biasanya digunakan pula etil asetat, benzena, kloroform dan sebagainya.
Ekstraksi lebih efisien bila dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut yang lebih kecil dari pada bila jumlah pelarutnya banyak tapi ekstraknya hanya sekali (Markham, 1988).
2.3.1Jenis-Jenis Ekstraksi
Metode ekstraksi terdiri atas dua jenis yakni ekstraksi panas dan ekstraksi dingin. Ekstraksi panas menggunakan cara refluks dan destilasi uap sedangkan ekstraksi secara dingin menggunakan cara maserasi, perkolasi dan soxhletasi.
2.3.1.1 Ekstraksi Secara Panas
1.Ekstraksi Secara Refluks.
Ekstraksi secara refluks adalah cara berkesinambungan dimana cairan penyari secara kontinyu menyari zat aktif dalam sampel.
2.Ekstraksi Secara Destilasi Uap
Ekstraksi secara destilasi uap adalah cara yang digunakan untuk menyaring saampel yang mangandung minyak yang mudah menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal.
2.3.1.2 Ekstraksi Secara Dingin
1.Ekstraksi Secara Maserasi
Ekstraksi secara maserasi merupakan cara penyarian yang paling sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk sampel dalam cairan penyari.
2.Ekstraksi Secara Perkolasi
Ekstraksi secara perkolasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk sampel yang telah dibasahi.
3.Ekstraksi Secara Soxhletasi
Ekstraksi secara soxhletasi merupakan cara penyarian sampel secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan turun menyari sampel di dalam klonson dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa siphon.
2.4 Metode Kromatografi Kolom dan Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi adalah suatu metode analitik untuk pemurnian dan pemisahan senyawa-senyawa organik dan anorganik. Kromatografi bermanfaat sebagai cara untuk menguraikan suatu campuran. Dalam kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase yakni fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa zat cair atau padat, sedangkaan fase gerak dapat berupa gas atau cairan (Khopkar, 1990).
Kromatografi secara garis besar dapat dibedakan menjadi kromatografi kolom dan kromatografi planar. Kromatografi kolom terdiri atas kromatografi gas dan kromatografi cair, sedangkan kromatografi planar terdiri atas kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas (Anwar, 1994).
2.4.1Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan dan pemurnian senyawa dalam skala preparative. Kromatografi kolom dapat dilakukan pada tekanan atmosfer atau dengan tekanan lebih besar dengan menggunakan bantuan tekanan luar (Khopkar, 1990).
Kromatografi kolom prinsipnya mudah memilih ukuran, kemasan (packing), dan isi kolom sesuai jenis serta jumlah cuplikan yang akan dipisahkan. Kolom yang digunakan dan kromatografi ini dapat berupa gelas, plastik atau nilom. Ukuran kolom yang lazim digunakan mempunyai diameter 2 cm dan panjang 45 cm. Untuk memilih kemasan (Packing) yang akan digunakan dalam kolom biasanya menggunakan selulosa, silika gel, alumina, arang (charcoal) (Anwar, 1994).
Adapun cara kerja dari kromatografi kolom yakni langkah pertama mengemas kolom (packing) dilakukan dengan hati-hati agar dihasilkan kolom kemas yang serba sama. Selanjutnya kemasan kolom dijadikan bubur dalam gelas piala memakai pelarut yang sama, lalu dituangkan hati-hati ke dalam kolom. Kemasan dibiarkan turun dan pelarut yang berlebihan dikeluarkan melalui keran. Selanjutnya langkah kedua menempatkan larutan cuplikan pada (bagian atas) kolom sehingga terbentuk pita yang siap untuk dielusi lebih lanjut. Cuplikan harus dilarutkan dalam pelarut yang volumenya sedikit. Pelarut yang dipakai harus sama dengan pelarut untuk mengelusi (Markham, 1988).
2.4.2Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah suatu metode pemisahan yang menggunakan plat atau lempeng kaca yang sudah dilapiskan adsorben yang bertindak sebagai fasa diam. Fase bergerak ke atas sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Metode ini sederhana, cepat dalam pemisahan dan sensitif (Khopkar, 1990).
Pada prinsipnya KLT dilakukan berdasarkan pada penggunaan fasa diam untuk menghasilkan pemisahan yang lebih baik. Fasa diam yang biasa digunakan dalam KLT adalah serbuk silika gel, alumina, tanah diatome dan selulosa (Harborne, 1987).
Adapun cara kerja dari KLT yakni larutan cuplikan sekitar 1% diteteskan dengan pipet mikro pada jarak 1-2 cm dari batas plat. Setelah eluen atau pelarut dari noda cuplikan menguap, plat siap untuk dikembangkan dengan fasa gerak (eluen) yang sesuai hingga jarak eluen dari batas plat mencapai 10-15 cm. Mengeringkan sisa eluen dalam plat dengan didiamkan pada suhu kamar. Noda pada plat dapat diamati langsung dengan menggunakan lampu UV atau dengan menggunakan pereaksi semprot penampak warna. Setelah noda dikembangkan dan divisualisasikan, identitas noda dinyatakan dengan harga Rf (retardation factor) (Anwar, 1994).
Tujuan mendapatkan identitas noda dengan harga Rf untuk mencari pelarut untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, menyigi arah atau perkembangan reaksi seperti hidrolisis atau metilasi, identifikasi flavonoid secara ko-kromatografi dan isolasi flavonoid murni skala kecil (Markham, 1988).
2.5 Metode Spektroskopi
Spektroskopi merupakan suatu metode untuk penentuan rumus struktur dari suatu senyawa. Menurut Anwar (1994) bahwa spektroskopi bila dibandingkan dengan metode kimia konvensional (metode basah), spektroskopi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya :
1.Jumlah zat yang diperlukan untuk analisis relatif kecil dan zat tersebut sering kali dapat diperoleh kembali.
2.Waktu pengerjaannya relatif cepat
Dasar metode spektroskopi adalah molekul pada suatu energi level tertentu, misalnya E1, disinari dengan sinar tertentu. Sinar ini akan melewati molekul itu dan seterusnya melewati suatu detektor. Selama molekul itu tidak menyerap sinar itu maka sinar yang terdeteksi akan sama intensitasnya dengan sinar yang berasal dari sumber. Pada frekuensi yang memungkinkan terjadinya pemindahan energi level molekul misalnya dari E1 ke E2, maka sinar akan diserap oleh frekuensi yang memungkinkan terjadinya pemindahan energi level molekul misalnya dari E1 ke E2, maka sinar akan diserap oleh molekul dan tidak akan tampak dalam detektor (Siregar, 1988). Hal ini dapat dilihat pada gambar :
Gambar 4. Sinar Dapat Melewati Sampel Terkecuali Apabila Energinya Sama Besarnya Dengan Selisih Energi Dari Dua Tingkat Energi Molekul (Sumber: Siregar,1988).
2.5.1Spektrofotometri Ultra Lembayung (UV)
Spektrofotometri UV adalah suatu alat yang menggambarkan antara panjang gelombang atau frekuensi lawan intensitas serapan (absorbansi). Spektrosfotometri UV ini menghasilkan radiasi (cahaya) dengan panjang gelombang 200 – 400 nm (Anwar, 1994). Pada umumnya spektrofotometri UV umumnya hanya menunjukkan jumlah peak (puncak ) yang kecil jumlahnya. Puncak-puncak dilaporkan sebagai panjang gelombang.
Spektrofotometri ini biasanya juga digunakan untuk mendeteksi konjugasi. Molekul-molekul yang tidak mempunyai ikatan rangkap atau hanya mempunyai satu ikatan tidak menyerap sinar 200-800 nm. Lain halnya dengan senyawa-senyawa yang mempunyai sistem konyugasi yang dapat menyerap sinar pada daerah ini, semakin panjang sistem konyugasinya maka makin besar panjang gelombang absorpsi (Siregar, 1988).
Untuk menganalisis struktur dari senyawa-senyawa dari metabolit sekunder seperti senyawa flavonoid, spektroskopi UV merupakan cara yang terbaik untuk mengkarakterisasi jenis-jenis senyawa flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas yang terdapat pada inti flavonoid dapat ditentukan juga dengan menambahkan pereaksi geser (Markham, 1988).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium kimia Universitas Negeri Gorontalo, dan di Laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Manado selama 6 bulan.
3.2 Alat dan Bahan yang Digunakan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat – alat gelas yang lazim dipakai dalam percobaan kimia organik, serta alat pendukung lainnya diataranya seperangkat alat kromatografi kolom, alat maserator, evaporator, botol vial, neraca analitik, dan lampu UV.
3.2.2 Bahan Tumbuhan
Bahan tumbuhan yang digunakan dalan penelitian ini adalah bagian kulit batang dari tumbuhan Artocarpus heterophylla Lmk (nangka buah) yang diperoleh dari Kelurahan Liluwo Kec. Kota Utara Kota Gorontalo. Bahan dikumpulkan pada Bulan Januari 2004. Hasil indetifikasi / determinasi tumbuhan dilaboratorium herbarium biologi ITB nomor 247/KO1.7.9/PP.2.5/2003 diketahui sebagai tumbuhan yang mempunyai nama Artocarpus heterophylla, Lmk (nangka buah).
3.2.3 Bahan Kimia
Bahan – bahan kimia yang digunakan adalah :
aBerbagai jenis pelarut organik yang umum digunakan untuk penelitian kimia, dengan kualitas p.a (Murni dari E. Merck dan teknis diantaranya : metanol, n-heksan, kloroform, etil asetat dan asam sulfat.
bBerbagai reaksi untuk uji fitokimia yakni pereaksi dragendroff, pereaksi mayer, reaksi wargner.
cPlat KLT Silikagel GF 254 dari E merck yang siap pakai, silikagel G 60 (70-230 mes) dari emercl yang siap pakai untuk kromatografi kolom.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini menurut langkas-langkah sebagai berikut :
aPendekatan fitokimia meliputi pengumpulan bahan tumbuhan dan identifikasi contoh tumbuhan dilabratorium, herbarium, biologi ITB.
bPenelusuran literatur yaitu untuk mengetahui apakah spesies tumbuhan ini sudah pernah dilaporkan kandungan kimiannya
cIsolasi kandungan kimia berdasarkan metode yang umum untuk isolasi senyawa bahan alam dari tumbuhan yang meliputi tahap estraksi, fraksinasi, dan pemurnian
dKaraterisasi senyawa isolat dilakukan secara ultra violet (UV )
3.3.1 Data – data yang harus diperoleh
1) Data – data pimer dari :
a. Uji pendahuluan ( pendekatan fitokimia ) dan isolasi senyawa bahan alam dari kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk)
b. Uji kemurnian isolat dengan KLT, titik leleh dan uji kimia
c. Karakterisasi senyawa isolat secara sfektrofotemeter ultra violet (UV)
2) Data – data sekunder dari :
Mempelajari hasil penelitian terdahulu mengenai senyawa flavonoid yang sudah pernah ditemukan pada genus yang sama sebagai data penunjang, pelengkap dan pembanding.
3.3.2 Pengolahan bahan tumbuhan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk). Pertama – tama batang nangka buah ini dikupas kulitnya dan dipotong kecil-kecil, dikeringkan dengan cara diangin anginkan diudara terbuka yang terlindung dari sinar matahari setelah kering lalu di blender hingga halus.
3.4 Ekstraksi dan fraksinasi
Sampel berupa serbuk halus dari kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk) sebanyak 500 gram di ekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol teknis selama 3 kali 24 jam, setiap 1 kali 24 jam sampel disaring dan dimaserasi kembali dengan metanol yang baru, ekstrak disatukan kemudian dikisatkan dengan pengisat gasing paku pada suhu 40 0 c sampai diperoleh ekstrak metanol kental. Ekstrak metanol kental. Yang diperoleh kemudian di fraksinasi dengan n-heksan : air, hingga diperoleh dua lapisan yakni lapisan n- heksan dan lapisan air. Lapisan air dipartisi dengan etil asetat sampai terbentuk dua lapisan yakni lapisan air dan lapisan etil asetat. Kedua lapisan tersebut dipekatkan hingga diperoleh fraksi etil asetat kental, fraksi dilakukan uji fitokimia (Subarnas, 1987).
3.5 Pemisahan dan Pemurnian
Fraksi etil asetat pada pemisahan dan pemurnian yang diperoleh dari hasil partisi diuji fitokimia dan sebagian dianalisa dengan menggunakan kromatografi lapis tipis sampai diperoleh pemisahan yang baik untuk memilih eluen yang akan digunakan dalam kromatografi kolom. Setelah diperoleh eluen yang sesuai, fraksi etil asetat sebanyak 1 gram dipisahkan dengan kromatografi kolom (panjang 35 cm diameter 3,75) dengan fasa diam silika G 60 dan dielusi berturut – turut dengan fasa gerak kloroform : metanol (9 : 1), (8 :2), (7 : 3), (6 : 4), (5 : 5), (4 :6), (3 :7), (2 : 8), (1 : 9) dan metanol secara bergradien.Semua fraksi hasil pemisahan lromatografi kolom selanjutnya silakukan analisa dengan kromatografi lapis tipis untuk melihat pola noda yang digabungkan. Hasil kromatografi kolom yang memiliki faktor retensi (Rf) sama dikumpulkan dan diuapkan. Selanjutnya residu yang diperoleh dimurnikan lagi dengan teknik rekristalisasi dan dikarakterisasi dengan sprktrofotometer Ultra Lembayung (UV) (Subarnas,1987).
3.6 Uji Fitokimia
Uji fito kimia yang dilakukan untuk mengetahui adanya flavonoid dalam tumbuhan dengan cara sebagai berikut : pada ekstrak kental metanol dari kulit batang Artocarpus heterophylla, Lmk dibagi dalam 4 tabung reaksi. Tabung pertama sebagai kontrol, tabung ke dua, ketiga dan keempat berturut – turut ditambahkan natrium hdroksida, asam sulfat pekat, bubuk magnesium – asam klorida pekat. Pereaksi ini dapat memberikan warna – warna khas bila menunjukan positif flavonoid ( Geissman, 1962 dalam Bialangi, 2002)
3.7 Uji Kemurnian
Fraksi – fraksi etil asetat hasil kromatografi kolom di uji kemurniannya dengan kromagtorafi lapis tipis dengan menggunakan berbagai eluen. Jika isolat murni maka tetap menunjukan pola noda tunggal (Widyawantoro, 2002)
3.8 Karaterisasi Isolat
Isolat murni yang diperoleh, dikaraterisasi dengan melakukan pengukuran untuk mendapatkan spektrum dengan spektrofotometer ultra violet (UV) (Harborner, 1987).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Ekstrak dan Fraksinasi
Isolasi flavonoid umumnya dilakukan dengan metode ekstraksi yakni dengan cara maserasi menggunakan pelarut yang dapat melarutkan flavonoid. Flavonoid umumnya larut dalam pelarut polar. Oleh karena itu pada tahap Ekstraksi, serbuk halus dari kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk) sebanyak 500 gram diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol. Hal ini disebabkan karena pelarut metanol bersifat melarutkan senyawa-senyawa mulai dari yang kurang polar sampai dengan polar (Monache, 1996).Ekstraksi dilakukan selama 3x 24 jam. Setiap 24 jam ekstrak disaring kemudian dipekatkan dengan menggunakan evaporator sampai diperoleh ekstrak kental metanol sebanyak 17,6 gram. Ekstrak kental metanol diuji fitokimia, memberikan hasil positif untuk senyawa flavonoid.
Tabel 4.1. Hasil Uji Flavonoid Dan Perolehan Berat Dari Ekstrak Metanol
Ekstrak
Pereaksi Uji Flavonoid dan
Perubahan warna
Berat (gr)
Hasil Uji Flavonoid
NaOH
H2SO4 pekat
Mg-HCl pekat
Metanol
Hijau menjadi merah bata
Hijau menjadi kuning
Hijau menjadi coklat
17,6
Positif
Setelah diperoleh ekstrak kental metanol kemudian dilakukan tahap fraksinasi. Tahap ini dimaksudkan untuk memisahkan senyawa yang larut dalam pelarut non polar dan senyawa yang larut dalam pelarut polar. Untuk ekstrak kental ini difraksinasi dengan n-heksan : air, hingga diperoleh dua lapisan yakni lapisan n-heksan dan lapisan air. Lapisan air dipartisi dengan etil asetat sampai terbentuk dua lapisan yakni lapisan air dan lapisan etil asetat. Kemudian kedua lapisan tersebut dipekatkan hingga diperoleh fraksi kental etil asetat sebanyak 2,9 gram, fraksi dilakukan uji fitokimia (Subarnas, 1987).
Fraksi kental etil asetat juga dianalisis dengan teknik kromatografi lapis tipis yang bertujuan untuk mendapatkan perbandingan eluen yang sesuai untuk dapat dipakai sebagai fasa gerak dalam kromatografi kolom. Profil kromatogram dapat dilihat pada gambar 7
Gambar 7. Profil Kromatogram Lapis Tipis Pada
Ekstrak Metanol Dan Fraksi Etil Asetat dengan Perbandingan Eluen Kloroform-Metanol (9:1)
Selain itu fraksi kental etil asetat diuji flavonoid dengan beberapa pereaksi flavonoid seperti NaOH, H2SO4 dan Mg-HCl yang menunjukkan perubahan warna khas untuk senyawa flavonoid.
Tabel 4.2. Hasil Uji Flavonoid Dan Perolehan Berat Dari Fraksi Etil Asetat.
Fraksi
Pereaksi Uji Flavonoid dan
Perubahan warna
Berat (gram)
Hasil Uji Flavonoid
NaOH
H2SO4 pekat
Mg-HCl pekat
Etil asetat
Hijau menjadi kuning muda
Hijau menjadi coklat
Hijau menjadi Hijau Muda
2,9
Positif
4.2Pemisahan dan Pemurnian
Pada tahap pemisahan dilakukan dengan teknik kromatografi kolom. Hasil pemisahan dari kromatografi kolom pada fraksi etil asetat menghasilkan 23 fraksi. Dari 23 fraksi dianalisis dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dengan menghitung faktor retensi (Rf). Fraksi yang memiliki faktor retensi (Rf) yang sama digabung, sehingga diperoleh lima kelompok fraksi, yang terdiri dari fraksi A, B, C, D dan E. Dari kelima kelompok fraksi dapat dilihat pada gambar 8
Gambar 8. Profil kromatogram lapis tipis hasil pemisahan kromatografi kolom (silika gel 60 GF 254, tebal 0,2 mm E.Merk) penampak noda yaitu asam sulfat 2N, fasa gerak kloroform-metanol (9:1)
Pemilihan pemurnian isolat difokuskan pada kelompok fraksi E, berdasarkan pertimbangan bahwa isolat tersebut relatif sudah murni bila dibandingkan dengan kelompok fraksi A, B, C dan D yang masih menampakkan lebih dari satu bercak noda (Gambar 8).
4.3Uji Flavonoid
Pada kelima kelompok fraksi isolat tersebut dilakukan uji flavonoid, hasilnya dipaparkan dalam tabel 3.
Tabel 4.3. Hasil Uji Flavonoid Dan Perolehan Berat Kelompok Fraksi
Kelompok Fraksi
Pereaksi Uji Flavonoid dan
Perubahan Warna
Berat
(mg)
Hasil Uji Flavonoid
NO
NaOH
H2SO4
Mg-HCl pekat
A
(3-13)
Hijau muda menjadi coklat
Hijau muda menjadi hijau tua
Hijau muda menjadi hijau kekuningan
18
Positif
B
(15-22)
Kuning menjadi kuning tua
Kuning menjadi coklat
Kuning menjadi kuning kehijauan
21
Positif
C
24-28)
Kuning menjadi kuning kecoklatan
Kuning menjadi kuning tua
Kuning menjadi kuning tua
37
Positif
D
(30-34)
Kuning menjadi coklat muda
Kuning menjadi kuning tua
Kuning menjadi kuning tua
6
Positif
E
(36-55)
Kuning menjadi kuning tua
Kuning menjadi kuning tua
Kuning menjadi kuning tua
2,0
Positif
Kelompok isolat (fraksi E) diperoleh senyawa berbentuk serbuk yang berwarna putih seberat 2,0 mg.
4.4Uji Kemurnian
Analisis kemurnian terhadap isolat dilakukan dengan cara kromatografi lapis tipis (KLT) silica gel 60 GF254 dua dimensi, penampak noda asam sulfat 2N dan fasa gerak kloroform - methanol (9:1), dan n-heksan : aseton (1:1), menampakkan bercak noda tunggal yang berwarna kuning.
Keterangan : 1. CHCL3 : MeOH (9:1)
2. N-heksan : Aseton (1:1)
Gambar 9. Profil Kromatogram Lapis Tipis (Silika Gel 60 Gf254) Secara Dua Dimensi Dengan Berbagai Variasi Eluen.
Nilai Rf isolat pada kromatogram lapis tipis dua dimensi ditunjukkan pada tabel 4.
Tabel 4.4. Nilai Rf Bercak Isolat Pada Berbagai Variasi Fasa Gerak
Fasa Gerak
Nilai Rf dari bercak
Kloroform-metanol (9:1)
0,7
n-heksan-aseton ( 1:1)
0,9
4.5Analisis dan Karakterisasi Isolat
4.5.1Spektrofotometri Ultra Lembayung
Flavonoid dapat menampakkan dua pita serapan didaerah ultra lembayung. Serapan-serapan ini dihasilkan karena senyawa flavonoid mengalami resonansi sebagai berikut :
Bentuk resonansi yang respon terhadap spektrometri ultralembayung adalah renonansi bentuk sinamoil yang memberikan serapan pada pita I dan resonansi bentuk benzoil yang memberikan serapan pada pita II. Adapun spektrum ultralembayung dari beberapa golongan senyawa flavonoid dipaparkan pada tabel 4.5 (Markham 1988).
Tabel 4.5 Beberapa Golongan Flavonoid
Golongan Flavonoid
Pita II (nm)
Pita I (nm)
Flavonol (3-OH tersubstitusi)
Flavonol (3-OH bebas)
Flavon
Isoflavon
Khalkon
Auron
Antosianin
Katekin
Flavan 3,4-diol
Proantosianidin
250-2800
250-280
250-280
245-275
230-270
230-270
270-280
280
280
280
330 – 360
350 – 385
310 – 350
310 – 330
310 – 330
340 – 390
330 – 360
380 – 430
465 – 560
330 – 360
330 - 360
Untuk menganalisis senyawa isolat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri ultra lembayung dengan memakai pelarut metanol. Hasil analisis spektrum ultralembayung isolat dalam pelarut metanol dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Spektrum Ultra Lembayung Isolat Dalam Pelarut Metanol (UV-1601 Shimadzu)
Spektrum ultra lembayung dari isolat dalam metanol, memperlihat hasil serapan pada daerah λmaks 336 nm (pita I) dan 275nm (pita II) yang lazimnya untuk serapan suatu senyawa flavon. Data ini mengindikasikan bahwa pada pita I menunjukkan serapan yang berhubungan dengan resonansi gugus sinamoil yang melibatkan cincin B dan pita II menunjukkan serapan yang berhubungan dengan resonansi gugus benzoil yang melibatkan cincin A dari flavon dan flavonol. Senyawa isolat menunjukkan fenomena di atas yaitu serapan pada λmaks 336 nm (pita I) dan 275 nm (pita II) yang memperkuat dugaan bahwa senyawa ini mempunyai kerangka flavon (Mabry, 1970).
Pada penambahan pereaksi geser NaOH merupakan perlakuan umum pada senyawa yang mengandung gugus fenolik yang bertujuan untuk mengetahui adanya gugus hidroksil bebas. Senyawa isolat memperlihatkan adanya pergeseran batokromik dari pita I sebesar λmaks 45 nm (Gambar 11). Data tersebut memberikan petunjuk adanya gugus hidroksil pada C-4`(Mabry, 1970).
Gambar 11. Spektrum Ultra Lembayung Isolat Dalam Pelarut Metanol + Pereaksi Geser NaOH (UV 601 A Shimadzu)
Selanjutnya pada penambahan pereaksi geser AlCl3 dan AlCl3+HCl dimaksudkan untuk menunjukkan adanya gugus hidroksil pada C-5 dan C-3, serta adanya gugus orto-dihidroksil. Adanya gugus ini ditunjukkan dengan adanya pergeseran batokromik pada pita-pita serapan. Untuk senyawa isolat telah memberikan hasil serapan pada daerah λmaks (MeOH + AlCl3) : 275 dan 336 nm (gambar 12). Adanya pergeseran batokromik yang ditunjukkan pada pita I sebesar 35 nm, data tersebut mengindikasikan adanya gugus hidroksil pada C-5. Hal ini disebabkan terbentuknya kelat antara logam Al dari AlCl3 dengan adanya gugus hidroksil pada C-5.
Gambar 12. Spektrum Ultra Lembayung Isolat Dalam Pelarut Metanol+AlCl3
Spektrum senyawa isolat pada penambahan HCl tidak memperlihatkan adanya pergeseran pada daerah serapan pita I dan pita II. Karena tidak adanya pergeseran hipsokromik pada serapan pita I dan pita II (Gambar 13). Hal ini menunjukkan tidak adanya kelat yang stabil dengan adanya penambahan HCl. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak adanya gugus orto-dihidroksi pada cincin B (Mabry, 1970).
Gambar 13. Spektrum Ultra Lembayung Isolat Dalam Pelarut Metanol+AlCl3+HCl
Sedangkan penambahan pereaksi geser NaOAc bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus hidroksil pada posisi C-7. Spektrum senyawa isolat telah memperlihatkan hasil serapan pada daerah λmaks (MeOH + NaOAc) nm : 366 dan 275 nm (Gambar 13). Data tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi pergeseran pada pita I tetapi terjadi pergeseran pada pita II sebesar 4 nm. Data tersebut memberikan petunjuk bahwa adanya gugus hidroksil pada posisi C-7 (Markham, 1988).
Gambar 14. Spektrum Ultra Lembayung Isolat Dalam Pelarut
Metanol + NaOAc
Tabulasi data panjang gelombang absorpsi dan pergeseran absorpsi spektrum ultra lembayung dari isolat, dipaparkan pada tabel 4.6.
Tabel 4.6. Tabulasi Data Panjang Gelombang Adsorpsi dan Pergeseran Absorpsi Spektrum Ultra Lembayung Isolat, Dalam Pelarut Metanol, Dengan Penambahan Pereaksi Geser NaOH, AlCl3, AlCl3 + HCl pekat dan NaOAc (UV-601 shimadzu)
Pereaksi
Panjang gelombang absorpsi λmaks (nm)
Pergeseran Absorpsi λmaks (nm)
Dugaan gugus fungsi
Pita I
Pita II
Pita I
Pita II
MeOH
336
275
-
-
-
MeOH + NaOH
381
275
45
-
C- 4’ OH
MeOH + AlCl3
366
275
30
-
O-diOH pd cincin B
MeOH + AlCl3 + HCl
366
275
-
-
-
MeOH + NaOAc
336
280
-
7
C-7 OH
Spektrum ultra lembayung dalam pelarut metanol dari senyawa isolat dengan memperlihatkan adanya serapan pada daerah λmaks 275, 336 nm, yang lazimnya untuk senyawa flavon.
Demikian pula data yang dilaporkan oleh Hiola (2004) mengenai panjang gelombang dan pergeseran absorpsi spektrum ultra lembayung isolat dengan penelitian terhadap tumbuhan yang sama tetapi menggunakan pelarut yang berbeda, seperti tertera pada tabel 4.7.
Tabel 4.7. Tabulasi Data Panjang Gelombang Adsorpsi Dan Pergeseran Absorpsi Spektrum Ultra Lembayung Isolat, Dalam Pelarut Metanol, Dengan Penambahan Pereaksi Geser NaOH, AlCl3, AlCl3 + HCl pekat dan NaOAc (UV-601 shimadzu)
Pereaksi
Panjang gelombang absorpsi λmaks (nm)
Pergeseran Absorpsi λmaks (nm)
Dugaan gugus fungsi
Pita I
Pita II
Pita I
Pita II
MeOH
310
255
-
-
-
MeOH + NaOH
357
270
47
15
C- 4’ OH
MeOH + AlCl3
343
250
33
5
C-5 OH
MeOH + AlCl3 + HCl
343
250
-
-
-
MeOH + NaOAc
310
261
-
6
C-7 OH
Sebagai referensi pembanding yang dilaporkan oleh Rao (1970), mengenai pola spektrum ultra lembayung dari senyawa cycloheterophyllin dari batang A.heterophylla, Lmk dengan memperlihatkan adanya serapan pada λmaks 267, 402 nm. Selain itu hasil spektrum ultra lembayung yang dilaporkan oleh Mabry (1970) untuk senyawa flavonoid jenis flavon yakni: 5-hidroksiflavon dan 4’-metoksiflavon.dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8. Perbandingan Data Spektrum Ultra Lembayung Dari Senyawa Isolat, Dengan Senyawa Cycloheterophyllin (1) dari Rao et al., (1970), dan Senyawa 5-hidroksiflavon (2) serta 4’-metoksiflavon (3) dari Mabry (1970).
Pereaksi
Panjang gelombang adsorbsi λmaks (nm)
Senyawa isolat
Cyclohete rophyllin
5-hidroksi flavon
4’-methoxy flavon
Pita I
Pita II
Pita I
Pita II
Pita I
Pita II
Pita I
Pita II
MeOH
MeOH+NaOH
MeOH+AlCl3
MeOH+AlCl3+HCl
MeOH+NaOAc
310
365
345
345
310
237
236
240
240
241
402
-
-
-
-
274
-
-
-
-
333
380
394
393
335
268
272
290
291
270
317
316
317
319
318
253
254
253
253
257
Berdasarkan perbandingan data spektrum ultra lembayung senyawa-senyawa yang dikemukakan oleh Rao (1970) dan Mabry (1970) dengan data spektrum ultralembayung dari isolat diatas, dapat diindikasikan bahwa senyawa isolat hasil penelitian dan senyawa (1), (2) dan (3), diduga sebagai senyawa yang mempunyai kerangka flavonoid jenis flavon, yang mengikat gugus OH pada cincin C-4’,C-5 dan C-7.
Hasil uji fitokimia, spektrum ultraviolet, serta perbandingan literatur , maka disarankan senyawa yang diperoleh adalah senyawa flavonoid turunan flavon .
Gambar 15. Struktur Senyawa Flavonoid Turunan Flavon
Gambar struktur senyawa flavonoid turunan flavon diatas merupakan dugaan sementara pada penelitian ini. Untuk memperoleh kemurnian isolat yang lebih baik, maka perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan spektrofotometri infra merah (IR) dan spektrofotometri resonansi magnetik Proton.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk) dari ekstrak metanol fraksi etil asetat dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1.Hasil kromatografi kolom dari fraksi etil asetat menghasilkan isolat yang berwarna kuning kehijauan sebanyak ± 2,0 mg.
2.Uji flavonoid terhadap isolat dengan menggunakan pereaksi H2SO4 pekat, larutan NaOH dan Mg-HCl pekat menampakkan warna positif flavonoid.
3.Karakterisasi senyawa isolat dengan spektrofotometri ultra lembayung, menunjukkan serapan pada daerah panjang gelombang λmaks 336 dan 275 pada pita I dan pita II yang mengindikasikan bahwa isolat adalah golongan senyawa flavonoid jenis flavon.
5.2Saran
1.Dengan diketahui bahwa dari kulit batang nangka buah (Artocarpus heterophylla, Lmk) dari ekstrak metanol fraksi etil asetat mengandung senyawa flavonoid, disarankan agar kemurnian isolat ditingkatkan dengan menggunakan metode pemisahan yang lebih baik sehingga kemurnian senyawa dapat ditetapkan dengan pasti, dan dilanjutkan dengan karakterisasi isolat dengan menggunakan spektrofotometri infra merah (IR) dan spektrofotmetri resonansi magnet proton, sehingga struktur senyawa dapat ditetapkan dengan pasti.
2.Peluang untuk menemukan senyawa lain dari kelompok fraksi A s/d D dari hasil kromatografi kolom masih terbuka, karena pemisahan senyawa-senyawa pada kelompok fraksi tersebut belum dikerjakan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Dewi Meliati, 1999, Kudraflavon C Dan Empat Senyawa Dari Kulit Akar Artocarpus glauca blume (Moraceae). Tesis Tidak diterbitkan, Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Achmad, Syamsul Arifin, 1986, Kimia Organik Bahan Alam, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Universitas Terbuka
Afrida, 1999, Ilmu Kimia Senyawa Fenol Terisoprenilasi Dua Spesies Tumbuhan Artocarpus Hutan Tropis Indonesia. Tesis Tidak diterbitkan, Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Anwar, Chairil, 1994, Pengantar Praktikum Kimia Organik, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Bialangi, Nurhayati, 2002, Isolasi Penentuan Struktur Flavonoid dari Daun Ocimum Sanctum, Linn. Asal Gorontalo, Tesis. Bandung, Program Pasca Sarjana UNPAD.
Dede, Sukandar, 2000, Flavonoid Terpenilasi Dari Kayu Batang Tumbuhan Artocarpus champeden spreng, Tesis Tidak diterbitkan Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Ersam, Taslim, 1998, Dua Senyawa Flavon Terisoprenilasi Dari Artocarpus bracteata hook, Majalah IPTEK ,Jurnal Ilmu Pengetahuan Alam Dan Teknologi, Lembaga Penelitian Institut Teknologi Sepuluh November.
Hanapi, 1995, Isolasi Beberapa Senyawa Metabolit Sekunder Dari Kayu Batang Artocarpus champeden, Jurnal penelitian, Bandung, Lembaga Penelitian Intitut Teknologi Bandung
Harborne, J.B, 1987, Metode Fitokimia 2, Padwinata.k.Soediro, Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Ibrahim, Rully, 2003, Isolasi Kurkumin Dari Temulawak (Curcuma Xanthorrina), Skripsi tidak diterbitkan, Gorontalo, IKIP Negeri Gorontalo.
Khopkhar, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Jakarta, Universitas Indonesia.
Markham, K.R, 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, a.b. padmawinata.K, Bandung, Institut Teknologi Bandung.
Nurachman, Zeily, 2002, Artoindosianin Untuk Tumor, www.google.com.
Siregar, 1988, Dasar-Dasar Kimia Organik, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Rukmana, Rahmat, 1998, Budi Daya Nangka, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Rao, A.V.Rama 1970, Colouring Matters Of The Wood Of Artocarpus heterophyllus, Kumpulan Literatur, Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam Institut Teknologi Bandung.
Siregar, 1988, Dasar-Dasar Kimia Organik, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Subarnas, A.Sidik, A. Muhtadi dan S.A. Sumiwi, 1997, Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Aktif Analgetik Dari Akar Pakis Tangkur(Polodium feii mrtt), Laporan Penelitian, Direktorat Pembinaan Penelitian Dan Pengabdian Pada masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Widyawantoro, A, 2002, Glikosida Sianogenik Dari Umbi Ketela Karet, Tesis Tidak diterbitkan, Bandung, Universitas Padjajaran.
CURRICULUM VITAE
Selviana Musa, Dilahirkan di Tilamuta Kabupaten Boalemo, 10 Oktober 1981. Anak pertama dari tiga bersaudara buah hati pasangan suami isteri “Thamrin Musa dan Hadjara Manopo”. Memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Cendrawasih
Menyelesaikan pendidikan dasar hingga ke sekolah lanjutan pertama di SDN Hungayonaa (tahun 1988-1993) dan SLTP Negeri 1 Tilamuta (tahun 1994-1996). Selanjutnya meneruskan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Tilamuta (tahun 1996-1999). Setamat dari SMU Negeri 1 Tilamuta masuk ke Perguruan Tinggi Negeri di Gorontalo yakni STIKP Gorontalo.
Penulis masuk melalui jalur Program Penjaringan Siswa Berprestasi (PPSB) tepatnya pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA STKIP Gorontalo tahun 1999. Dengan berbagai usaha lembaga dan pengembangan status keguruan maka STKIP Gorontalo beralih status menjadi IKIP Negeri Gorontalo pada tahun 2001 beralih tatus lagi menjadi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) pada tahun 2004. Akhirnya penulis menyelesaikan studi di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri Gorontalo.
Banyak pengalaman yang penulis lalui, diawal menyandang status sebagai mahasiswa, diantaranya Peserta Orientasi Kehidupan Kampus (OKK) diintegrasikan dengan penerimaan mahasiswa baru di Desa Popalo Kecamatan Kwandang pada tahun 1999. Selama duduk di bangku perkuliahan penulis juga telah mengikuti beberapa kegiatan, diantaranya : Peserta Basic Training Studi Dasar Islam (SDI) Komisariat MIPA tahun 1999, Pengurus HIMKA tahun 2000-2001, , Panitia Pelaksana Lokakarya Pembahasan Penerapan Kurikulum Kimia di SLTP dan Lomba Cerdas Tangkas Ketrampilan Kimia Tingkat SMU Se-Provinsi Gorontalo tahun 2002, , Panitia Seminar Nasional dan Demo Pesona Kimia Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Pendidikan MIPA IKIP Negeri Gorontalo tahun 2003, Panitia Olimpiade Kimia Se-provinsi Gorontalo oleh HIMKA IKIP Negeri Gorontalo tahun 2004,
Penulis juga mengikuti Program Pengenalan Lapangan (PPL) II di SMU Negeri 3 Gorontalo tahun 2002, dan menjadi peserta Kuliah Kerja Sibermas (KKS) di Desa Pentadio Barat Kecamatan Telaga Biru Kabupaten Gorontalo oleh Universitas Negeri Gorontalo (UNG) tahun 2004.
0 komentar:
Posting Komentar