Jumat, 04 Juni 2010

MAHASISWA IDEAL

Dalam mencapai suatu tujuan , diri kita seringkali menginginkan hasil yang perfect /sempurna. Tapi seiring berjalannya waktu, tujuan yang perfect / sempurna yang kita impi-impikan / inginkan meleset dari alur yang telah kita buat. Malahan ada juga tujuannya tidak ada yang terlaksana. Fenomena tersebut seringkali muncul dalam lika-liku perjalanan hidup kita.
Ngomong-ngomong tentang tujuan / goal, ada sebuah wacana ringan mengenai tujuan seorang lulusan SMA / SMK untuk melanjutkan studinya di jenjang perkuliahan. Mesti di benak mereka, salah satu tujuan mereka kuliah adalah menjadi sosok mahasiswa yang ideal. Menjadi seorang mahasiswa ideal itu tidaklah gampang, diperlukan pengorbanan untuk menjadi sosok mahasiswa ideal. Untuk mengetahui karakteristik dari berbagai macam tipe mahasiswa terutama mahasiwa ideal , maka penulis akan mencoba untuk memaparkannya dalam sebuah wacana ringan.

MAHASISWA AKADEMIS


Karakteristik yang pertama adalah mahasiswa yang bertipe akademis, dimana mahasiswa yang memiliki tipe ini, kehidupannya hanya berkutat tentang masalah akademik. Mereka lebih mengutamakan kehidupan kuliah. Kehidupannya mungkin hanya betumpu pada 3 tempat “ Kelas, Perpustakaan, dan Kost “. Di dalam sisi akademik IP ( Indeks Prestasi ) mereka mengagumkan dengan mendapatkan predikat comloude (nilai diatas 3,5).Tapi sayangnya di sisi nonAkademik misalnya hubungan interaksi dengan dunia luar biasanya mereka mendapatkan nilai jeblok. Kalau dibuat ke dalam sistem penilaian dia mendapat nilai E.

Membangun Kesadaran Kritis Mahasiswa dalam Iklim Akademis

a). Tipologi Kesadaran Mahasiswa Dan Konstruksi Pemikiran Islam
Untuk mengkaji pertualangan mahasiswa kita harus membuka cakrawala pengetahuan agar lebih komprehensif, karena mahasiswa bukanlah fenomena yang sederhana dan mudah kita pahami hanya dengan sebelah mata. Di tubuh mahasiswa terdapat pelapisan yang cukup heterogen. Dimana dalam tubuh mahasiswa terdapat pelapisan dalam membangun kesadaran berbangsa, berpolitik, dan beragama.
Ada tiga tipe kesadaran mahasiswa menurut paulo freire yaitu mahasiswa Tenggelam, Muncul, Terbuka. Yang penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, mahasiswa tertutup dengan kesadaran “tenggelam” mereka bergantung kepada masarakat sentral yang memanipulasi. Ia membiarkan kaum elit, meminjam istilah netzche “tuhan yang tampak” atau manusia superman dengan kehendak kuasanya memaksakan pola-pola budaya dan agama mereka mengeksploitasi massa. Tipe Mahasiswa seperti ini tidak pernah terangsang untuk berpartisipasi dalam kehidupan social politik, social keagamaan, sehingga melahirkan budaya bisu. kesadaran mahasiswa yang tenggelam melahirkan model pembacaan tekstual-formalistik. Model Pembacaan ini memusat kepada teks, menjadikan teks sebagai media representasi sang pengarang. Menjadikan sebuah kebenaran yang tidak bisa disentuh oleh realitas diluar teks, inilah yang dalam analisis wacana dinamakan “eksternalisasi teks” model ini melahirkan pemikiran keislaman yang bersifat introver-strukturalistik. Mahasiswa dengan kesadaran ini mengikuti arus pemikiran penguasa dalam menafsirkan teks keislaman, sehingga dengan sikap ketertutupannya terhadap dunia luar membuat mahasiswa itu sendiri terperangkap oleh “jaring-jaring kuasa” yang telah mereduksi pesan tuhan dengan kepentingan personal sipembuat teks. Model pembacaan ini menurut abide al jabiri adalah nalar bayani.
Kedua, mahasiswa retak kesadarannya mulai “muncul”, ia tidak lagi bisu, ia mulai berpikir dan menyadari ketergantungannya, namun mereka tidak bisa bersikap dan berbuat banyak sehingga masih tetap berada dibawah kendali “kuda-kuda kuasa”. Model kesadaran mahasiswa yang mulai muncul melahirkan model pembacaan tekstual pasif, dalam arti kata membaca sebuah teks keislaman dengan rasa curiga terhadap sipembuat teks. Mereka tahu bahwa dirinya sebenarnya dibelenggu oleh penafsir melalui pemikirannya yang tertuang dalam teks yang dibacanya. namun mereka tidak berani untuk melakukan pembacaan yang berbeda terhadap sebuah teks yang diragukan keotentikannya, karena mereka meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuasaan, keberanian dan kekuatan untuk melampaui teks yang menjadi sasaran empuk untuk ditafsirkan. Sehingga mereka tetap berada dalam belenggu penafsir. Tipe mahasiswa ini tidak mampu berbuat apa-apa, mereka hanya memendam keinginan itu sebagai bentuk kerja imajinasi yang bersifat utopis dan pada akhirnya untuk menyalurkan keinginannya mereka menggunakan jalan lain untuk mencari islam dengan kekuatan intuisi. Kekuatan ini dalam istilah abied al jabiri dinamakan nalar irfani yang sering digunakan oleh orang sufi.
Ketiga, mahasiswa terbuka dengan kesadaran kritis, mereka selalu bersikap kreatif dengan selalu curiga terhadap karya orang lain khususnya “manusia superman”. Ia selalu menolak sesuatu yang memaksa dirinya dan menghilangkan kesadarannya. Kesadaran mahasiswa kritis melahirkan pembacaan kritis kontekstual yang memusat kepada pembaca dalam menasirkan teks keislaman. Tipe mahasiswa ini meyakin bahwa dalam sebuah teks, ada kekuatan ideology pengarang yang bersembunyi dibalik teks. Untuk menghilangkan jejak pengarang, mereka keluar dari lingkaran kuasa sipembuat teks dan menafsirkan teks sesuai dengan konteks dimana teks itu ditafsirkan. Model ini oleh abide al jabiri dinamakan nalar burhani yang emusat kepada pembaca dan memperhatikan realitas, karena teks merupakan cermin retak dari realitas atau istilah hanafi “realitas mendahului pemikiran”.
Ketiga tipe tersebut akan mempengaruhi model pemikiran mahasiswa dalam membaca teks keislaman yang berwarna warni.
b). Metode Berfikir Kritis
Berpikir kritis adalah upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk mempertanyakan kembali apapun yang dalam kehidupan  manusia telah dianggap mapan dan tak berubah. Bisa jadi berupa adat istiadat, etika, pemahaman agama, pengetahuan dll.
Karena itu berpikir kritis meniscayakan perlunya seperangkat metode atau pendekatan. Tanpa metode dan pendekatan berpikir kritis akan menjadi suatu aktifitas yang tanpa arah, dan tidak menghasilkan suatu pandangan atau pemahaman baru yang mencerahkan.dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemahaman orang terhadap sesuatu bergantung pada metode atau pendekatan apa yang ia gunakan. Sebutlah misalnya kasus pluralitas pemahaman agama. Mengapa dalam tradisi keilmuan islam banyak lahir tafsir al quran? Jawabnya adalah karena tidak ada satupun tafsir al quran yang dapat di klaim sebagai suatu pemahamn al quran yang final, maka tak heran, jika dalam khazanah keilmuan al quran banyak lahir tafsir-tafsir seperti tafsir fiqh,tafsir sufi,tafsir adabi ijtima’i dll.
Selanjutnya dalam bidang kajian fiqh, meskipun sumbernya sama-sama al quran dan al hadist, tapi ikhtilaf pemahaman tidak dapat dihindari,sehingga tidak mengejutkan jika dalam pemikiran hukum islam lahir beragam madzhab, yang mengakibatkan perbedaan paraktek-praktek ritual keagamaan.
Dalam bidang teologi, kita mengenal adanya teologi asy’ariyah dan teologi mu’tazilah. Adanya dua aliran teologi ini, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan metode atau pendekatan yang digunakan dalam berteologi.
Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa dalam tradisi keilmuan islam berpikir kritis adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, bukan sesuatu yang ditakuti. Tapi yang menjadi persoalan muncul sebuah anggap bahwa apa yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu sesuatu yang final karena itu harus di ikuti tanpa sikap kritis. Parahnya lagi ada anggapan bahwa kemampuan intelektualitas ulama’ terdahulu tidak dapat dilampaui oleh intelektual islam masa sekarang sehingga pemahaman ulang terhadap doktrin keagamaan adalah tidak boleh  dilakukan untuk tidak mengatakan haram.
Di satu sisi, akibat perbedaan pemahaman itu, kerap kali lahir suatu klaim kebenaran, yang tidak jarang melahirkan anarkhi dan kekerasan. Suatu kelompok tertentu menklaim bahwa pemahaman keagamaannya saja yang paling benar, sedangkan pemahaman keagamaan lainnya salah. Karena itu yang berhak masuk surga adalah kelompoknya saja,sedangkan kelompok lainnya tidak.
Manusia hidup tidak terlepas dengan realitas yang terkadang secara tidak sadar manusia terperangkap oleh sistem realitas itu sendiri. Pola pikir manusia secara otomatis dibentuk oleh lingkungan realitas yang terjadi. Mahasiswa yang dipercaya sebagai agen perubahan setidaknya memahami akan obyek yang ada dalam realitas. Untuk mengadakan sebuah perubahan diperlukan nalar kritis untuk membangun konsep baru yang lebih relevan dalam menghadapi sebuah realitas. Berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pembacaan teks maupun konteks yang tidak pernah hilang dari sisi manusia.
Hal yang sangat disayangkan ketika mahasiswa hanya terrkonstruk oleh system yang ada tanpa melakukan analisa secara sistematis untuk mengkritisi sebuah realitas yang belum tentu membawa proses manusia pada pengenalan diri dan diluar diri. Berpikir kritis merupakan langkah awal bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan baru tanpa ada kontaminasi dari runtutan sejarah system yang terjadi sebelumnya. Misalnya manusia yang terbelenggu dengan pemerintahan orde baru yang mengharamkan adanya kebebasan berpendapat, memaksa manusia untuk menjadi manusia yang patuh terhadap system pemerintahan tanpa memikirkan apakah system tersebut membawa dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Indonesia.
http://ukpkstain.multiply.com/journal/item/20

0 komentar:

Posting Komentar