Sabtu, 22 Mei 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Kurikulum tahun 2004 tentang kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum tah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Kurikulum tahun 2004 tentang kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang diperbaharui dengan Kurikulum tahun 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah berlaku selama 3 tahun dan semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang dibuat oleh guru dan dari cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan cara lama, yaitu dominan menggunakan metode ceramah. Dalam hal ini keaktifan dalam belajar masih terfokus pada guru. Cara berpikir lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, sehingga cara mengajar lama masih tetap dipertahankan. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain, jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan penghidupannya sebagai insan mandiri (Suherman; 2008).

Kualitas pendidikan, khususnya pendidikan kimia, tentunya tidak terlepas dari kualitas tenaga pendidik dan kualitas anak didik itu sendiri. Dalam proses pembelajaran kimia, kemampuan siswa dalam mengikuti dan menerima materi kimia perlu diperhatikan sungguh-sungguh, mengingat materi kimia tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan kata lain, konsep kimia tersusun secara sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai konsep yang paling kompleks, memerlukan kemampuan penalaran yang tinggi bagi guru dan siswa.
Berdasarkan hasil observasi peneliti dan wawancara dengan guru kimia di MA Al-Khairat Gorontalo diperoleh informasi, bahwa hasil belajar siswa kelas XI IPA pada mata pelajaran kimia materi Larutan Penyangga dalam 2 tahun terakhir, yaitu pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008 berturut-turut adalah sebesar 53,8% dan 33,3% ketuntasan belajar. Dan hasil belajar siswa untuk Hidrolisis Garam pada tahun pelajaran yang sama adalah sebesar 57,2% dan 52,1%. Sedangkan standar ketuntasan belajar yang ditetapkan adalah 65 % dengan nilai rata - rata 6,5.
Pada tahun ajaran 2008/2009 untuk materi Larutan Penyangga sub bab komposisi larutan penyangga nilai rata-rata ketuntasan siswa mencapai 59%, sedangkan untuk Hidrolisis Garam pada sub bab jenis garam dan reaksi hidrolisis nilai ketuntasan siswa mencapai 61,2%. Data tersebut diperoleh berdasarkan data yang diberikan oleh guru mata pelajaran kimia sebagai evaluasi awal pada materi larutan penyangga dan hidrolisis garam.
Salah satu penyebab rendahnya perolehan hasil belajar siswa pada materi larutan penyangga adalah penggunaan metode mengajar yang belum sesuai dan tidak menarik ataupun membosankan siswa, sehingga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Hal ini dikarenakan materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam sering diajarkan dengan menggunakan metode ceramah, sehingga keaktifan siswa kurang dilibatkan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dalam mengajarkan materi larutan penyangga antara lain dengan menggunakan salah satu metode mengajar yang dapat meningkatkan aktifitas siswa sehingga diharapkan hasil belajar siswa juga akan meningkat.
Proses belajar mengajar harus dimulai dalam suasana yang menyenangkan dan tidak monoton berpusat pada guru karena pada dasarnya kimia merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan merubah pola pikir kognitif, sikap perilaku dan mengembangkan daya analisis siswa dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, dalam proses belajar mengajar siswa harus lebih berperan aktif dan memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan dan siswa akan lebih termotivasi dalam belajar. Motivasi tersebut jelas akan dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Tipe berkirim salam dan soal memberi siswa kesempatan untuk melatih pengetahuan dan ketampilan mereka. Siswa membuat pertanyaan sendiri sehingga akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman-temannya sekelas (Abdullah; 2006).
Dengan melihat kenyataan di atas, maka perlu diambil suatu tindakan untuk meningkatkan aktivitas siswa yang nantinya akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dalam pembelajaran materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam.
Berdasarkan latar belakang diatas maka formulasi judul yang diambil pada penelitian ini adalah “Meningkatkan Aktivitas Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Berkirim Salam dan Soal Pada Materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam”.


1.2.Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Kegiatan belajar yang dilakukan belum memberikan kesempatan kepada siswa terlibat secara aktif.
2.Kegiatan pembelajaran umumnya hanya berorientasi pada guru
3.Hasil belajar siswa khususnya pada materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam masih rendah

1.3.Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Apakah keaktifan belajar siswa pada materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam akan meningkat dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal?

1.4.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1.Untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa pada materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam.
2.Untuk mengetahui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

1.5.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a.Bagi siswa
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA MA Al-Khairat Gorontalo terhadap materi larutan penyangga dan hidrolisis garam.
Membantu memudahkan pemahaman siswa kelas XI IPA MA Al-Khairat Gorontalo terhadap pelajaran kimia khususnya materi Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam.
b.Bagi guru
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa.












BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1. Pengertian Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar juga merupakan salah satu interaksi komunikasi aktif antara siswa dan guru dalam kegiatan pendidikan dan dalam kegiatan proses belajar yang dilakukan oleh guru. Kedua kegiatan ini tidak berlangsung sendiri-sendiri melainkan bersama-sama dan pada waktu yang sama, sehingga terjadi adanya interaksi komunikasi aktif antara guru dan siswa (Arifin; 2003).
Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman. Untuk dapat belajar, maka perubahan itu harus relatif menetap. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik psikis maupun fisik, seperti perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah atau berfikir keterampilan, kecakapan, kebiasaan atau sikap. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunaryo (1989) bahwa belajar adalah suatu kegiatan, dimana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yaitu tingkah laku yang positif artinya untuk mencapai kesempurnaan hidupnya.
Menurut Inger (1980) dalam Asnaldi (2008), belajar adalah perubahan-perubahan perilaku yang potensial yang tercermin sebagai akibat dari latihan dan pengalaman masa lalu terhadap situasi tugas tertentu. Belajar menurut pendapat para ahli lain adalah perubahan tingkat laku atau perubahan kecakapan yang mampu bertahan dalam waktu tertentu dan bukan berasal dari proses pertumbuhan.
Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks, tidak sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa. Banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan, terutama bila di inginkan hasil belajar yang lebih baik dari siswa. Dari pengertian mengajar tersebut, tersirat bahwa peranan guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai seorang pemimpin dan fasilitator belajar yang paling menentukan.
Menurut Nasution (1982), guru adalah tumpuan harapan yang akan menentukan kualitas proses belajar yang dialami oleh siswa. Guru merupakan sutradara dan aktor sedangkan metode, alat, evaluasi dan perlengkapan pendidikan lainnya merupakan kesatuan sistem yang berintegrasi secara dinamis bagi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas mengajar bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran semata kepada siswa, akan tetapi merupakan suatu proses pembelajaran siswa. Dengan demikian, proses belajar mengajar merupakan dua konsep yang berbeda, bila dipadukan akan terjadi interaksi, hubungan timbal balik antara guru dan siswa dalam suasana yang kondusif untuk mencapai tujuan tertentu. Dikatakan demikian karena belajar sebagai suatu proses, biasanya ditujukkan kepada siswa sedangkan mengajar sebagai suatu proses ditujukkan kepada guru sebagai pendidik yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan perkembangan mental dan kepribadian siswa.
Mengajar merupakan proses aktif guru untuk membimbing siswa dalam memahami dan mempelajari konsep-konsep yang dikembangkan dalam proses belajar mengajar. Karena kegiatan mengajar merupakan hal yang wajib dikerjakan oleh setiap individu, maka guru hendaknya dapat membimbing siswanya dan memberikan dorongan kepada siswanya agar timbul motivasi belajar dalam diri siswa atau sebagai motivasi intrinsik (Arifin; 2003).
Dari teori belajar di atas dapat dikatakan bahwa dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan, tetapi juga bertanggung jawab atas keseluruhan perkembangan kepribadian siswa serta memberikan dorongan untuk belajar mengembangkan pemahaman dan penghayatan atau prinsip-prinsip di dalam pembelajaran kimia secara aktif dan dinamis dalam memahami kebutuhan mencapai tujuan pendidikan.

2.2 Aktivitas Belajar Siswa
Aktivitas belajar dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung, seperti: bekerjasama, mengerjakan tugas, menyumbangkan ide, menghargai pendapat, berinteraksi, menulis, mengembangkan hasil karya, bertanya, menjawab dan menanggapi. Dalam menjalani proses belajar mengajar, keaktifan peserta didik merupakan faktor utama dalam mencapai tujuan pendidikan. Menurut Supriyadi (2008) aktivitas belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan-pengetahuan, nilai-nilai sikap dan keterampilan pada siswa sebagai latihan yang dilaksanakan secara sengaja.
Menurut Mulyono (2001) dalam Septiadi (2008), bahwa aktivitas artinya “kegiatan / keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik, merupakan suatu aktifitas.
Dalam kegiatan pembelajaran aktivitas siswa memiliki manfaat yang sangat besar. Apabila siswa yang mengikuti proses belajar mengajar aktif, maka siswa tersebut akan memperoleh pengalaman langsung, dapat mengembangkan diri, memupuk kerjasama sekolah, masyarakat dan interpersonal, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, suasana belajar menjadi hidup/dinamis dan memperoleh prestasi yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dalam proses pengajaran berdampak sangat besar bagi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, peran serta guru sangat diperlukan dalam meningkatkan aktivitas siswa dalam setiap proses pembelajaran.

2.3 Hasil Belajar Siswa
Pada dasarnya belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui perubahan latihan atau pengalaman dan perubahan itu harus relatif menetap. Tingkah laku yang mengalami perubahan melalui belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, psikis maupun fisik serta perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah atau berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan atau sikap (Uno; 2005). Belajar merupakan kegiatan yang terjadi pada semua orang tanpa mengenal batas usia dan berlangsung seumur hidup. Belajar merupakan usaha yang dilakukan seseorang melalui interaksi dengan lingkungannya untuk merubah perilakunya.
Selanjutnya Uno (2004) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah sebagai perubahan kapabilitas (kemampuan tertentu) sebagai akibat dari belajar. Jadi, hasil belajar merupakan perubahan yang terjadi pada diri seseorang setelah melakukan proses belajar.
Suatu pembelajaran dikatakan berhasil apabila timbul perubahan tingkah laku positif pada peserta didik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999) bahwa hasil belajar sebuah kegiatan pembelajaran yang menghendaki tercapainya tujuan pengajaran, dimana hasil belajar ditandai dengan skala nilai. Dengan demikian, prestasi belajar siswa adalah hasil yang dicapai setelah melalui atau melaksanakan suatu proses pembelajaran sehingga hasil belajar siswa bergantung pada siswa tersebut dalam arti semakin banyak usaha belajar yang dilakukan oleh siswa maka semakin baik pula hasil belajarnya.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa setiap proses pembelajaran yang dihadapi oleh siswa dapat dilihat dari hasil yang mereka peroleh. Hasil belajar yang dicapai dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa dan ditandai dengan skala nilai yang baik.

2.4 Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar peserta didik, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif di antara peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap peserta didik mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada peserta didik dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif peserta didik lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua peserta didik dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar (Syaodih ; 2008).
Menurut Medsker dan Holdsworth (2001) dalam Fatirul (2008), bahwa pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompok-kelompok kecil siswa. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggota-anggotanya dapat bekerjasama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya dan pembelajaran satu sama lainnya. Masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab untuk mempelajari apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika kerjasama ini berlangsung, tim menciptakan atmosfir pencapaian, dan selanjutnya pembelajaran ditingkatkan.
Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan pembagian kelompok yang dilakukan dengan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif (Lie; 2004).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat membentuk keterampilan sosial siswa, tanggungjawab serta kemandirian siswa dalam kegiatan pembelajaran.

2.4.1Tipe Berkirim Salam dan Soal
Menurut Subandriyo (2006) tipe berkirim salam dan soal merupakan strategi yang bertujuan untuk mensiasati agar semua terlibat aktif guna memperoleh pengalaman belajar nyata yang menyenangkan. Selain itu, tipe berkirim salam dan soal memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk melatih pengetahuan dan keterampilan mereka.
Dalam tipe berkirim salam dan soal siswa diberi kesempatan untuk membuat pertanyaan terhadap materi yang akan dibahas pada hari itu. Dengan demikian, mereka lebih terdorong untuk belajar karena nantinya mereka akan bertukar soal dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh kelompok lain.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan tipe berkirim salam dan soal menurut Irmaika (2009) adalah sebagai berikut :
1.Guru menentukan topik yang akan dibahas.
2.Guru menyampaikan materi secara interaktif untuk memunculkan pertanyaan yang terfikirkan oleh siswa.
3.Guru membagi siswa dalam kelompok dan disetiap kelompok ditugaskan untuk menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke kelompok lain dan menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok.
4.Masing-masing kelompok mengirimkan utusan yang akan memberikan soal dan menyampaikan salam (sapaan dan sorak khas).
5.Setiap kelompok mengirimkan soal kiriman dari kelompok lain.
6.Setelah selesai, jawaban masing-masing kelompok dicocokkan dengan jawaban kelompok yang membuat soal.
7.Di akhir pelajaran, guru memberikan penegasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

2.5Larutan Penyangga dan Hidrolisis Garam
2.5.1Larutan Penyangga
2.5.1.1Pengertian Larutan Penyangga
Suatu larutan bila ditambah asam akan turun pHnya karena memperbesar konsentrasi H+. sebaliknya, bila ditambah basa akan menaikkan pH karena meningkatkan konsentrasi OH‑. Seterusnya, suatu larutan asam atau basabila ditambah air akan mengubah pH, karena konsentrasi asam atau basanya akan mengecil. Ada larutan yang bila ditambah sedikit asam, basa atau air tidak mengubah pH secara berarti. Larutan seperti itu disebut larutan buffer atau larutan penyangga (Syukri ; 1999).
Larutan penyangga dapat mempertahankan pHnya karena mengandung ion garam, kesetimbangan asam lemah dan kesetimbangan air, yang membentuk suatu sistem:
H2O NaNO3
 

Titim Supriatin
Astin P Lukum
Masrid Pikoli

Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK

Konsep-konsep dalam ilmu kimia umumnya bersifat abstrak, seperti konsep tentang atom, molekul, ion dan elektron. Ini menyebabkan konsep-konsep dalam ikatan kimia sulit dipahami dengan benar oleh siswa. Salah satu cara untuk mengetahui adanya kesalahan konsep tersebut adalah dengan memberikan tes identifikasi kemampuan dan kesalahan konsep yang diberikan kepada seluruh sampel yang akan diteliti, memeriksa hasil tes berdasarkan kunci jawaban yang telah dibuat, dan melakukan wawancara yang bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam sumber-sumber kesalahan yang dialami siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui tingkat pemahaman materi ikatan kimia siswa kelas II SMA N sekota Gorontalo tentang konsep pembentukan ikatan ionik, (2) pembentukan ikatan kovalen, (3) jenis-jenis ikatan.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah siswa kelas II SMA N sekota Gorontalo. Sampel diambil 50 persen dari populasi yaitu 479 orang siswa dengan menggunakan teknik sampling acak. Instrumen penelitian ini berupa tes uraian objektif sebanyak 18 soal dan pedoman wawancara yang digunakan untuk mengetahui konsistensi kesalahan siswa terhadap suatu konsep. dari hasil uji coba instrumen tes diperoleh validitas isi sebesar 96% dan koefisien reliabelitas 0,77
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa: (1) tingkat pemahaman siswa kelas II SMA 1, 2, dan 3 tentang pembentukan ikatan kovalen, ikatan ionik, dan jenis-jenis ikatan semuanya termasuk dalam kategori sangat rendah. (2) kesalahan konsep yang dialami siswa dalam mempelajari konsep-konsep dalam ikatan kimia adalah: (a) Pada pembentukan ikatan kovalen satu atom melepaskan elektron sedangkan atom yang lain menerima elektron; (b) Pada pembentukan ikatan kovalen antara atom-atom yang sama terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang berbeda; (c) Pada pembentukan ikatan kovalen antara atom-atom yang berbeda terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang sama; (d) Suatu atom yang lebih mudah melepaskan elektron dianggap memiliki keelektronegatifan yang lebih besar sedangkan atom yang lebih mudah menerima elektron dianggap memiliki keelektronegatifan yang lebih kecil; (e) Semakin banyak elektron yang dimiliki oleh suatu atom maka keelektronegatifan semakin besar; (f) pada pembentukan ikatan ionik terjadi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan; (g) ikatan kovalen terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron oleh ion positif dan ion negatif; (h) ikatan kovalen non polar merupakan ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan; (i) ikatan kovalen polar merupakan ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat pada dua atom yang berikatan; (j) ikatan ionik terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan ; (k) ikatan antara atom-atom yang terdapat dalan suatu ion merupakan ikatan ionik; (l) ikatan kovalen non polar terjadi antara atom-atom yang berbeda jenisnya.

Kata Kunci: Kesalahan Konsep, Ikatan kimia, ikatan ionik, ikatan kovalen

PENDAHULUAN
Pembangunan bidang pendidikan memiliki relevansi yang tinggi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Dalam hal ini pembangunan bidang pendidikan memiliki peranan strategis bagi keberhasilan upaya peningkatan sumber daya manusia dan sebaliknya. Dalam peranannya untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan bidang pendidikan menghadapi berbagai permasalahan yang mendesak untuk segera ditangani misalnya metode mengajar guru dan proses evaluasi hasil belajar siswa. Berbagai permasalahan yang menghadang pembangunan bidang pendidikan, pada akhirnya akan bermuara pada masalah rendahnya kualitas lulusan diberbagai jenjang pendidikan persekolahan.
Berdasarkan cakupan dan tujuan pengajaran kimia dapat diketahui bahwa dalam mempelajari ilmu kimia diperlukan kemampuan intelektual serta keterampilan yang memadai untuk memahami teori-teori, konsep-konsep, okum-hukum, prinsip-prinsip, fakta-fakta serta perhitungan-perhitungan yang terkait, yang sebagaian besar bersifat abstrak. Oleh karena itu pelajaran ilmu kimia merupakan suatu pelajaran yang cukup kompleks. Kondisi seperti ini mengakibatkan banyak siswa memandang bahwa konsep-konsep ilmu kimia sebagai suatu konsep yang sulit dipelajari. Masalah ini terjadi karena hampir sebagian besar materi-materi kimia seperti atom, molukul, ion dan ikatan kimia merupakan sesuatu yang tidak nampak, tidak bisa diamati dan dialami secara langsung oleh siswa, sehingga banyak diantara mereka yang mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Selanjutnya Nakhleh (1992:191) menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam memahami ilmu kimia kemungkinan besar disebabkan karena siswa tidak memiliki pemahaman yang tepat terhadap konsep-konsep dasar kimia.
Konsepsi siswa merupakan hasil interaksi mereka terhadap suatu konsep yang jika salah dalam interpretasi dapat menimbulkan miskonsepsi (Berg, 1991:10). Miskonsepsi yang cenderung terjadi dalam ilmu kimia dapat menyebabkan siswa kurang berhasil dalam menerapkan konsep tersebut pada situasi baru yang cocok yang pada gilirannya siswa dapat gagal dalam mempelajari konsep-konsep kimia. Kesalahan konsep secara konsisten menurut Ibnu (1989:21) akan mempengaruhi keefektifan proses belajar siswa yang bersangkutan, karena pemahaman yang salah sulit untuk dilupakan. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi kognitif yang menyatakan bahwa terjadinya miskonsepsi pada konsep awal akan menyebabkan efek yang sangat destruktif terhadap kemampuan proses akademik selanjutnya (Suparno, 1997).
Hasil-hasil penelitian tentang kesalahan konsep menunjukkan bahwa kesalahan konsep telah terjadi pada hampir semua pokok bahasan dalam bidang kimia. Sebagai contoh, Huddle (1996) meneliti kesalahan konsep tentang stoikiometri, kesetimbangan kimia (Hackling dan Garnett, 1985; Banerjee, 1991), termodinamika (Beal, 1994), elektrokimia (Huddle dan White, 2000), Ikatan kovalen dan gaya antarmolekul (Peterson dkk, 1986), Ikatan ionik (Taber, 1994) dan masih banyak peneliti lain yang meneliti kesalahan konsep di bidang ilmu kimia.
Dalam silabus kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) disebutkan bahwa selain dipelajari tentang jenis-jenis ikatan juga dipelajari tentang pembentukan ikatan pada suatu molekul. Penelitian tentang kesalahan siswa dalam memahami pembentukan ikatan pada suatu molekul telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Jasmin (2005) melaporkan bahwa pemahaman siswa tentang pembentukan ikatan ionik sebesar 71%, pembentukan ikatan kovalen polar 31%, pembentukan ikatan kovalen non polar 58%, pembentukan ikatan kovalen koordinasi 30%, sedangkan untuk jenis-jenis ikatan 43,4% siswa. Selanjutnya Pikoli (2003) melaporkan bahwa tingkat pemahaman mahasiswa tahun І, II, III, IV tentang pembentukan ikatan kovalen, pembentukan ikatan ionik serta jenis-jenis ikatan termasuk dalam kategori rendah.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, maka suatu hal yang sangat memprihatinkan jika kesalahan konsep itu terjadi pada siswa SMA yang ada di Gorontalo. Untuk itu, perlu diadakannya suatu penelitian yang mengkaji pemahaman siswa tentang konsep-konsep kimia khususnya materi ikatan kimia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan peristiwa-peristiwa sebagaimana adanya. Rancangan penelitian meliputi tahap-tahap sebagai berikut: (1) Penyusunan instrumen, (2) Uji coba instrumen dan revisi instrumen penelitian, (3) Penentuan populasi dan sampel penelitian, (4) pengumpulan data penelitian, (5) Analisis data penelitian.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Gorontalo, SMA Negeri 2 Gorontalo, dan SMA Negeri 3 Gorontalo tahun pelajaran 2007/2008 dengan jumlah total 479 siswa yang terdiri dari 12 kelas. Adapun distribusi siswa seperti tercantum dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Distribusi Populasi penelitian siswa kelas XI IPA SMA Negeri di Gorontalo
NAMA SEKOLAH
JUMLAH KELAS
JUMLAH SISWA
SMA NEGERI 1 GORONTALO
SMA NEGERI 2 GORONTALO
SMA NEGERI 3 GORONTALO
5
2
5
203
87
189
JUMLAH
12
479
Sampel
Sampel penelitian ini terdiri dari 6 kelas dengan jumlah 235 siswa. Sedangkan yang terpilih sebagai kelas uji coba tes adalah SMA N 4 Gorontalo. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik random sample (sampel acak).
Tabel 2 Distribusi Sampel Penelitian Siswa Kelas X1 IPA SMA Negeri di Gorontalo
NAMA SEKOLAH
JUMLAH KELAS
JUMLAH SISWA
SMA NEGERI 1 GORONTALO
SMA NEGERI 2 GORONTALO
SMA NEGERI 3 GORONTALO
2
2
2
67
87
71
JUMLAH
6
225

Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan tes yang berbentuk pilihan berganda dengan lima alternatif jawaban yang telah disediakan (pilihan jawaban 1, 2, 3 & 4) dan 1 pilihan jawaban (pilihan jawaban 5) disediakan untuk diisi oleh responden apabila responden mempunyai jawaban lain selain jawaban yang telah disediakan. Dengan demikian ada 5 alternatif jawaban yang akan dipilih oleh responden.
Untuk memperoleh data pada penelitian ini digunakan tes berbentuk uraian sebanyak 18 item. Tes ini mengacu kepada sebaran materi ikatan kimia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dalam penelitian ini, tes diberikan secara langsung. Teknik penskorannya ditentukan dengan memberi skor “1” untuk setiap jawaban benar dan skor “0” untuk setiap jawaban yang salah. Sebelum tes ini digunakan untuk menjaring data, terlebih dahulu dilakukan telaah terhadap indikator kualitas tes yaitu validitas isi dan reliabilitas tes.


1.Validitas Instrumen Tes
Sebelum tes digunakan terlebih dahulu dilakukan validasi. Validasi tes yang dilakukan adalah validasi isi yang ditetapkan berdasarkan penilaian dan pertimbangan dari tim penilai yang terdiri dari 3 orang yang dianggap ahli pada bidang studi kimia, untuk menentukan penilaian mengenai pemakaian bahasa dan materi konsep-konsep yang akan diukur. Ketiga penilai tersebut adalah satu dosen Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Gorontalo dan dua orang guru kimia SMA Negeri Gorontalo.
Untuk mencari konsistensi antar penilai atau keterandalannya dilakukan dengan cara menghitung rata-rata persentase pemberian skor oleh tim penilai. Instrumen tes secara keseluruhan dinyatakan valid jika harga persentase pemberian skor 2 diatas 75% (Gabel dan Samuel, 1987:695).
Hasil penilaian dari ketiga penilai tersebut dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 1, dan secara ringkasnya seperti dalam Tabel 3.3 berikut.
Tabel 3 Ringkasan Hasil Validasi Instrumen
No
Validator
Persentase Skor Penilaian


Nol
Satu
Dua
1
2
3
Penilai A
Penilai B
Penilai C
0
0
0
3
3
0
94
94
100
Rata-Rata
0
2
96

Keterangan:
Penilai A: Drs. Mardjan Paputungan, M.Si
Penilai B: Sri Wahyuni Daud, S.Pd
Penilai C : Lismiyanti Kaharu, S.Pd, M.Pd

Berdasarkan penilaian dari tim penilai, maka tingkat konsistensi pemberian skor 2 oleh ketiga penilai tersebut adalah 97%. Dengan demikian secara keseluruhan validitas tes dinyatakan tinggi dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini.Kepada setiap anggota tim penilai diminta untuk memberikan penilaian terhadap setiap butir soal yang dituangkan dalam lembar validasi. Setiap penilai diminta memberikan skor 2 untuk setiap butir soal yang susunan kalimatnya sudah komunikatif dan mengandung konsep yang akan diukur, skor 1 untuk setiap butir soal yang susunan kalimatnya sudah komunikatif tetapi belum mengandung konsep yang akan diukur atau sebaliknya, dan skor 0 untuk butir soal yang belum mencakup kedua hal tersebut. Disamping itu tim penilai juga diminta untuk memberi catatan perbaikan secara langsung apabila dirasa perlu.
2.Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas instrumen berhubungan dengan keterandalan dari instrumen tersebut. Suatu instrumen dapat dikatakan memiliki keterandalan, jika instrumen tersebut dapat memberikan hasil yang tetap apabila diulang. Untuk mengetahui ketetapan ini pada dasarnya dilihat kesejajaran hasil (nilai) tes. Untuk mengetahui hal ini, maka dapat digunakan beberapa cara diantaranya: (a) metode bentuk pararel (equivalen), (b) metode tes ulang (test-retest method), dan (c) metode belah dua (split-half method) (Arikunto, 1997:87).
Metode yang digunakan untuk mengetahui reliabilitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode belah dua (split-halp method) (Arikunto 1997:88). Dalam menggunakan metode ini tesnya hanya satu seri, tetapi diuji cobakan terhadap subyek yang berbeda.
Suatu instrumen dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data apabila instrumen tersebut sudah baik. Artinya instrumen yang dapat dipercaya adalah instrumen yang sudah reliabel dan menghasilkan data yang dapat dipercaya (Arikunto:154). Perolehan indeks reliabilitas digunakan rumus korelasi produk momen yang kemudian mencari reliabilitas untuk keseluruhan item dengan menggunakan rumus Spearmen Brown dengan rumus sebagai berikut:
r = (Arikunto, 2002:154)
Ket : r = reliabilitas instrumen
r ½ ½ = angka korelasi blahan pertama dan belahan kedua

Sebagian tolak ukur interpretasi reliabilitas adalah sebagai berikut
antara 0,81 – 10,0 = sangat tingi
antara 0,61 – 0,80 = tinggi
antara 0,41 – 0,60 = sedang
antara 0,21 – 0,40 = rendah
- antara 0,00 – 0,20 = sangat rendah (Arikunto, 1993:223)
Berdasarkan pada hasil perhitungan, untuk mengetahui reliabilitas tes dilakukan uji coba instrumen kepada 39 siswa kelas II SMA N 4 kelas XI IA2 Gorontalo pada tanggal 15 Apil 2008. Reliabilitas tes yang diperoleh adalah 0,77. Dengan demikian, instrumen ini termasuk pada kategori reliabilitas sangat tinggi. Perhitungan reliabilitas instrumen secara lengkap diberikan dalam lampiran 2.

Pengumpulan Data Penelitian
Secara umum tahap-tahap pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengidentifikasi kesalahan konsep siswa.
Adapun langkah-langkah dalam mengidentifikasi kesalahan konsep siswa yaitu:
a.Tes identifikasi kemampuan dan kesalahan konsep yang diberikan kepada seluruh sample yang akan diteliti. Pelaksanaan tes dimulai pada hari kamis 17 April hingga hari sabtu 19 April 2008.
b.Memeriksa hasil tes berdasarkan kunci jawaban yang telah dibuat. Menganalisis lebih lanjut jawaban-jawaban siswa untuk mengetahui tingkat kesalahan yang dialami siswa untuk setiap konsep yang diteliti.
c.Melakukan wawancara yang bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai sumber-sumber kesalahan yang dialami siswa. Hal-hal yang dikaji dalam wawancara ini adalah jenis-jenis kesalahan konsep. Adapun teknik yang digunakan dalam wawancara untuk mengukur konsepsi siswa adalah melalui jawaban siswa terhadap pertanyaan.
Analisis Data Penelitian
Analisis data yang dilakukan bertujuan untuk memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan dari sampel penelitian dengan menggunakan tes untuk penarikan kesimpulan. Data penelitian ini akan dianalisa secara deskriptif.
Teknik analisis data dilakukan untuk mencari tingkat pemahaman siswa terhadap materi ikatan kimia pada masing-masing aspek yang dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah skor seluruh siswa dengan skor maksimum siswa dikalikan 100%. Rumusnya adalah sebagai berikut:



Jika: P = 80 – 100% : tingkat pemahaman siswa pada soal tersebut sangat tinggi
P = 66 – 79% : tingkat pemahaman siswa pada soal tersebut tinggi
P = 56 – 65% : tingkat pemahaman siswa pada soal tersebut cukup
P = 31 – 55% : tingkat pemahaman siswa pada soal tersebut rendah
P = 0 – 30% : tingkat pemahaman siswa pada soal tersebut sangat rendah (Arikunto, 1997:242)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian diperoleh persentase siswa SMA 1, SMA 2, dan SMA 3 Gorontalo yang memberikan jawaban benar item-item tes berkaitan dengan pembentukan ikatan ionik, pembentukan ikatan kovalen dan jenis-jenis ikatan, diberikan dalam Tabel 1, dan 2.
Tabel 1 Persentase siswa yang Memberikan Jawaban Benar
Item Tes tentang Konsep Pembentukan Ikatan
No. Konsep
Pemahaman Tentang
No. Item

Persentase siswa
Persentase



SMA 1
SMA 2
SMA 3
Total
1
Pembentukan ikatan kovalen
2
3
4

25,13
20,37
71,73
39,08
38,37
47,43
46,77
44,19
40,79
35,27
42,10
39,39
34,76
34,36
53,53
40,89
2
Pembentukan ikatan kovalen dan ikatan ionik
7
59,89
26,68
9,91
32,16
3
Pembentukan ikatan ionik
5
6
34,03
17,51
25,77
6,9
30,89
18,89
56,39
12,66
34,52
32,44
20,35
26,39
Rata-rata total
41,58
29,92
27,94
33,15

Keterangan:
* Jumlah Siswa SMA 1 = 78 orang;
SMA 2 = 87 orang;
SMA 3 = 71 orang.
* Angka yang bercetak tebal merupakan harga
rata-rata.

Tabel 2 Persentase Siswa yang Memberikan Jawaban Benar
Item Tes tentang Konsep Jenis-Jenis Ikatan
No. Konsep
Pemahaman Tentang
No. Item
Persentase Siswa Tahun
Persen-tase
Total


1
2
3

4
Ikatan kovalen
1

86,43
66,99
73,05
75,49
5
Ikatan kovalen polar, ikatan kovalen nonpolar, dan ikatan ionik pada senyawa diatomik.
8
0
12,71
2,82
5,18
6
Ikatan ionik pada suatu garam
14
15
16
14,29
18,32
54,21
28,94
21,67
39,45
9,17
23,43
19,96
26,74
35,07
27,26
18,64
28,17
32,82
26,54
7
Ikatan kovalen nonpolar
9
67,19
22,91
71,62
53,91
8
Ikatan kovalen polar
10
42,37
7,98
11,30
20,55
9
Ikatan kovalen polar pada ion poliatomik
12
13

54,94
40,56
47,75
21,88
0
10,94
25,12 16,74
20,93

33,98
19,1
26,54
10
Ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana
11
34,66
11,36
33,77
26,60
11
Ikatan kovalen koordinasi
17
18
69,42
38,85
54,13
55,52
0
27,76
45,07
0
22,54
56,67
12,94
34,81
Rata-rata total
46,87
25,98
35,02
35,96




Pembahasan Hasil Penelitian
1. Tingkat Pemahaman Materi Ikatan Kimia Siswa SMA 1, 2 dan 3
Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa tentang materi ikatan kimia ada tiga aspek yang diteliti yaitu pembentukan ikatan ionik, pembentukan ikatan kovalen, dan jenis-jenis ikatan.
Pemahaman Tentang Pembentukan Ikatan
Ada tiga aspek yang diteliti untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa tentang pembentukan ikatan.
a. Pembentukan Ikatan Kovalen
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2 dan 3 yang menjawab benar pembentukan ikatan kovalen berturut-turut adalah 39,08, 44,19, dan 40,89%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1, SMA 2, dan SMA 3, tentang pembentukan ikatan kovalen termasuk dalam kategori rendah.
b. Pembentukan Ikatan Ionik
Data pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar pembentukan ikatan ionik berturut-turut adalah 25,77, 18,89, dan 34,52%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 dan SMA 2 tentang pembentukan ikatan ionik termasuk dalam kategori sangat rendah, sedangkan tingkat pemahaman siswa SMA 3 termasuk dalam kategori rendah.
c. Perbedaan Pembentukan Ikatan Kovalen dan Ionik
Data pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar perbedaan pembentukan ikatan kovalen dan ionik berturut-turut adalah 59,89, 26,68, dan 9,91%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 tentang perbedaan pembentukan ikatan kovalen dan ionik termasuk dalam kategori cukup, sedangkan siswa SMA 2 dan SMA 3 dalam kategori sangat rendah.
Pemahaman Tentang Jenis-Jenis Ikatan
Ada delapan aspek yang diteliti untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa tentang jenis-jenis ikatan.
a. Ikatan Kovalen
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3, yang menjawab benar ikatan kovalen berturut-turut adalah 86,43, 66,99, 73,05%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 tentang ikatan kovalen termasuk dalam kategori sangat tinggi, untuk SMA 3 dan SMA 2 termasuk dalam kategori tinggi.
b. Ikatan Kovalen Polar, Kovalen Non Polar, dan Ikatan Ionik
Hasil analisis menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 dalam memahami ikatan kovalen polar, kovalen non polar dan ikatan ionik pada senyawa diatomik sangat rendah. Siswa SMA 1, 2, dan 3 yang dapat memahami konsep tersebut berturut-turut adalah 0, 12,71, dan 2,82%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1, 2, dan 3 tentang ikatan kovalen polar, kovalen non polar dan ikatan ionik pada senyawa diatomik termasuk dalam kategori sangat rendah.
c. Ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana berturut-turut adalah 34,66, 11,36, dan 33,77%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 3 dan SMA 1 tentang ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana termasuk dalam kategori rendah, sedangkan untuk SMA 2 termasuk dalam kategori sangat rendah.
d. Ikatan kovalen nonpolar
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar ikatan kovalen nonpolar berturut-turut adalah 67,19, 22,91 dan 71,62%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 dan SMA 2 tentang ikatan kovalen nonpolar termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan siswa SMA 3 termasuk dalam kategori sangat sangat rendah.
e. Ikatan kovalen polar
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar ikatan kovalen polar berturut-turut adalah 42,37, 7,98, dan 11,30%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 tentang ikatan kovalen polar termasuk dalam kategori rendah, sedangkan siswa SMA 2 dan 3 termasuk dalam kategori sangat rendah.
f. Ikatan kovalen polar pada senyawa ion poliatomik
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar ikatan kovalen polar pada ion poliatomik berturut-turut adalah 47,75, 10,94, dan 20,93%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 tentang ikatan kovalen polar pada ion poliatomik termasuk dalam kategori rendah, sedangkan siswa SMA 2 dan 3 termasuk dalam kategori sangat rendah.
g. Ikatan ionik dan ikatan kovalen polar pada suatu garam
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar ikatan ionik dan ikatan kovalen polar pada suatu garam berturut-turut adalah 28,94 23,43, dan 27,26%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 SMA 2 dan SMA 3 tentang ikatan ionik dan ikatan kovalen polar pada suatu garam termasuk dalam kategori sangat rendah.
h. Ikatan kovalen koordinasi
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa siswa SMA 1, 2, dan 3 yang menjawab benar ikatan kovalen koordinasi berturut-turut adalah 54,13, 27,76, dan 22,54%. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1 tentang ikatan kovalen koordinasi termasuk dalam kategori rendah, siswa SMA 2 dan SMA 3 termasuk dalam kategori sangat rendah.
Berdasarkan data pada Tabel 2 diperoleh bahwa tingkat pemahaman siswa SMA 1, 2, dan 3 tentang jenis-jenis ikatan secara berturut-turut adalah 46,87, 25,98, dan 35,02 %. Jika memperhatikan persentase tingkat pemahaman siswa setiap sekolah terhadap konsep ini nampak tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Dengan demikian ada kecenderungan pembelajaran yang diperoleh siswa seiring dengan bertambahnya pengetahuan mereka tentang konsep-konsep kimia yang diberikan guru tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemahaman konsep jenis-jenis ikatan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena konsep jenis-jenis ikatan yang dipelajari oleh siswa di kelas 1 dibawa terus sampai ke kelas berikutnya dan mereka secara konsisten memegang konsep tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang telah dikemukakan dalam bab II. Berg (1991:12)


Kesalahan Konsep dalam Ikatan Kimia pada siswa SMA 1,2,3 Gorontalo
Kesalahan siswa dalam menjawab soal item tes merupakan indikator dari kesalahan siswa dalam memahami suatu konsep. Pada bagian ini akan dibahas kesalahan konsep tentang pembentukan ikatan ion, pembentukan ikatan kovalen dan jenis-jenis ikatan.
Pembentukan Ikatan
Secara umum kemampuan siswa dalam memahami pembentukan ikatan adalah kurang memadai. Hal ini terlihat dari persentase rata-rata siswa yang memberikan jawaban yang benar terhadap aspek ini hanya 33,15%. Untuk memberikan gambaran lebih mendalam mengenai pemahaman siswa tentang pembentukan ikatan, berikut ini disajikan pembahasan untuk setiap aspek yang diteliti.
a. Ikatan Kovalen
Berdasarkan data dalam Tabel 4.1 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang digunakan dalam pembentukan ikatan pada molekul F2 sebanyak 34,76% sedangkan pada molekul HF sebanyak 53,53%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang pembentukan ikatan pada molekul F2 dan HF adalah sebagai berikut:
P: Orbital atom manakah yang digunakan dalam pembentukan molekul F2?
J: 2p dari atom F dengan 2p dari atom F yang lain.
P: Apakah terjadi tumpang tindih pada orbital-orbital atom tersebut?
J: Ya
P: Mengapa?
J: Karena tingkat energi orbital tersebut sama
P: Orbital atom manakah yang digunakan dalam pembentukan molekul HF?
J: 1s dari atom H dengan 2p dari atom F
P: Apakah terjadi tumpang tindih pada orbital-orbital atom tersebut?
J: Ya
P: Mengapa?
J: Karena tingkat energi kedua orbital tersebut hampir sama
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan diberikan dalam Tabel 4.3

Tabel 3 Persentase jawaban Salah yang Diberikan Oleh siswa Berkaitan dengan Tumpang Tindih Orbital-Orbital dari Atom-Atom yang Digunakan dalam Pembentukan Ikatan
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
2
a. Pada pembentukan ikatan dalam molekul F2 terjadi pelepasan elektron oleh satu atom F membentuk ion F+ dan penerimaan elektron oleh atom F yang lain membentuk ion F-.

b. Pada pembentukan ikatan dalam molekul F2 terjadi tumpang tindih orbital 2s dari satu atom F dengan orbital 2p dari atom F yang lain

c. Pada pembentukan ikatan dalam molekul F2 terjadi tumpang tindih orbital 1s dari satu atom F dengan orbital 2p dari atom F yang lain

10,43



29,80


5
4
a. Pada pembentukan ikatan dalam molekul HF terjadi pelepasan elektron oleh atom H membentuk ion H + dan penerimaan elektron oleh atom F membentuk ion F- karena keelektronegatifan atom F > H

b. Pada pembentukan ikatan dalam molekul HF terjadi tumpang tindih orbital 1s dari atom H dengan orbital 1s dari atom F. Dua orbital tersebut memiliki tingkat energi yang sama

c. Pada pembentukan ikatan dalam molekul HF terjadi tumpang tindih orbital 1s dari atom H dengan orbital 2p dari atom F. Dua orbital tersebut memiliki tingkat energi yang berbeda jauh.

27,33


9,55



26,29

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a pada kedua item soal tersebut kemungkinan menganggap bahwa ikatan antara atom-atom dalam molekul F2 dan HF adalah ikatan ionik, sedangkan siswa yang menjawab b dan c dapat dianggap tidak memahami orbital atom yang digunakan dalam pembentukan ikatan dan perbedaan relatif tingkat energinya. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang pembentukan ikatan pada molekul F2 dan HF adalah sebagai berikut:
P: Orbital atom manakah yang digunakan dalam pembentukan molekul F2?
J: 2s dari atom F dengan 2p dari atom F yang lain.
P: Apakah terjadi tumpang tindih pada orbital-orbital atom tersebut?
J: Ya
P: Mengapa?
J: Karena ikatan pada molekul F2 adalah ikatan kovalen
P: Orbital atom manakah yang digunakan dalam pembentukan molekul HF?
J: 1s dari atom H dengan 2p dari atom F
P: Apakah terjadi tumpang tindih pada orbital-orbital atom tersebut?
J: Ya
P: Mengapa?
J: Karena molekul HF tersebut terjadi karena atom H melepaskan satu elektronya membentuk ion H + dan atom F menerima satu elektron membentuk F-. Interaksi antara muatan positif dari H+ dan negatif dari F- akan menghasilkan ikatan kovalen
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah:
Kesalahan konsep 1: Pada pembentukan ikatan kovalen satu atom melepaskan elektron sedangkan atom yang lain menerima elektron.
Kesalahan konsep 2: Pada pembentukan ikatan kovalen antara atom-atom yang sama terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang berbeda.
Kesalahan konsep 3: Pada pembentukan ikatan kovalen antara atom-atom yang berbeda terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang sama.
b. Ikatan Ionik
Berdasarkan data dalam Tabel 1 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi pembentukan ikatan ionik sebanyak 33,15%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang pembentukan ikatan ionik adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada NaF termasuk ikatan apa?
J: Ikatan ionik
P: Mengapa?
J: Karena atom-atom penyusun senyawa tersebut lebih mudah membentuk ion Na+ dan ion F-
P: Apakah ikatan pada NaF terjadi karena serah terima elektron atau karena tumpang tindih orbital-orbital.
J: Terjadi karena serah terima elektron antara ion Na+ dengan ion F-
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan pembentukan ikatan ionik diberikan dalam Tabel 4
Tabel 4 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh siswa
Berkaitan dengan Pembentukan Ikatan Ionik
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
6
a. Pada pembentukan ikatan dalam NaF terjadi pelepasan elektron oleh atom Na membentuk ion Na+ dan penerimaan elektron oleh atom F membentuk ion F- karena keelektronegatifan atom Na > F.

b. Pada pembentukan ikatan dalam NaF terjadi tumpang tindih orbital 3s dari atom Na dengan orbital 2p dari atom F. Dua orbital tersebut memiliki tingkat energi yang sangat berbeda

c. Pada pembentukan ikatan dalam NaF terjadi tumpang tindih orbital 3s dari atom Na dengan orbital 2p dari atom F. Dua orbital tersebut memiliki tingkat energi yang hampir sama
50,11



23,7




27,33


Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a kemungkinan tidak memahami kecenderungan perubahan keelektronegatifan unsur-unsur dari golongan 1 sampai dengan 18, siswa yang menjawab b dan c pada item tes tersebut dapat dianggap tidak dapat mengidentifikasi bahwa ikatan pada NaF adalah ikatan ionik. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang pembentukan ikatan ionik adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada NaF termasuk ikatan apa?
J: Ikatan ionik
P: Mengapa?
J: Karena atom-atom penyusun senyawa tersebut lebih mudah membentuk ion Na+ dan ion F-
P: Apakah ikatan pada NaF terjadi karena serah terima elektron atau karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan?
J: Terjadi karena serah terima elektron antara ion Na dan ion F-.
P: Antara atom Na dan atom F, manakah yang lebih elektronegatif?
J: Atom Na
P: Mengapa?
J: Karena atom Na memiliki elektron yang lebih banyak daripada atom F.
Contoh lain hasil wawancara:
P: Ikatan pada NaF termasuk ikatan apa?
J: Ikatan kovalen
P: Orbital atom manakah yang digunakan dalam pembentukan NaF?
J: 3s dari atom Na dengan 2p dari atom F
P: Apakah terjadi tumpang tindih pada orbital-orbital atom tersebut?
J: Ya
P: Apakah tingkat energi orbital-orbital tersebut sama atau berbeda?
J: Berbeda
P: Apakah orbital yang memiliki tingkat energi yang berbeda dapat mengalami tumpang tindih?
J: Ya.

Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah:
Kesalahan konsep 4: Suatu atom yang lebih mudah melepaskan elektron dianggap memiliki keelektronegatifan yang lebih besar sedangkan atom yang lebih mudah menerima elektron dianggap memiliki keelektronegatifan yang lebih kecil.
Kesalahan konsep 5: Semakin banyak elektron yang dimiliki oleh suatu atom maka keelektronegatifan semakin besar.
c. Perbedaan Pembentukan Ikatan Kovalen dan Ionik
Berdasarkan data dalam Tabel 1 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi perbedaan pembentukan ikatan kovalen dan ikatan ionik sebanyak 32,16%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang perbedaan pembentukan ikatan kovalen dan ikatan ionik adalah sebagai berikut :
P: Ikatan pada HF merupakan ikatan apa?
J: Kovalen
P: Apakah ikatan kovalen terjadi karena tumpang tindih orbital-orbital atom atau karena serah terima elektron?
J: Karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan.
P: Ikatan pada NaF merupakan ikatan apa?
J: Ionik
P: Apakah ikatan ionik terjadi karena tumpang tindih orbital-orbital atom atau karena serah terima elektron?
J: Karena serah terima elektron.
P: Mengapa?
J: Karena pembentukan ikatan ionik tidak terjadi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atomnya.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan perbedaan pembentukan ikatan kovalen dan ionik diberikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh siswa Berkaitan
dengan Perbedaan Pembentukan Ikatan kovalen dan Ionik
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
7
a. Untuk terjadinya ikatan pada suatu senyawa, maka keadaan orbital-orbital atom pada ikatan kovalen dan ikatan ionik terjadi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang akan berikatan

b. Untuk terjadinya ikatan pada suatu senyawa, maka keadaan orbital-orbital atom pada ikatan kovalen tidak terjadi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang akan berikatan sedangkan pada ikatan ionik terjadi tumpang tindih

c. Untuk terjadinya ikatan pada suatu senyawa, maka keadaan orbital-orbital atom pada ikatan kovalen dan ikatan ionik tidak terjadi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang akan berikatan.

38,22



21,15




12,51

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a, b, dan c pada item tes tersebut dapat dianggap tidak memahami bahwa pada pembentukan ikatan kovalen terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom sedangkan pada pembentukan ikatan ionik tidak terjadi tumpang tindih antara orbital-orbital atom. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang perbedaan pembentukan ikatan kovalen dan ikatan ionik adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada HF merupakan ikatan apa?
J: Kovalen
P: Apakah ikatan kovalen terjadi karena serah terima elektron atau karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan?
J: Terjadi karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan.
P: Ikatan pada NaF merupakan ikatan apa?
J: Ionik
P: Apakah ikatan ionik terjadi karena serah terima elektron atau karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan?
J: Terjadi karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan.
P: Apakah ikatan kovalen dan ikatan ionik sama-sama terjadi karena adanya tumpang tindih orbital?
J: Ya.
Contoh lain hasil wawancara:
P: Ikatan pada HF merupakan ikatan apa?
J: Kovalen
P: Apakah ikatan kovalen terjadi karena serah terima elektron atau karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan?
J: Terjadi karena serah terima elektron
P: Ikatan pada NaF merupakan ikatan apa?
J: Ionik
P: Apakah ikatan ionik terjadi karena serah terima elektron atau karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan?
J: Terjadi karena tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah:
Kesalahan konsep 6 : Pada pembentukan ikatan ionik terjadi tumpang tindih orbital-orbital dari atom-atom yang berikatan.
Jenis-Jenis Ikatan
Secara umum kemampuan Siswa dalam memahami jenis-jenis ikatan adalah kurang memadai. Hal ini terlihat dari persentase rata-rata siswa yang memberikan jawaban yang benar terhadap aspek ini hanya 35,96%. Untuk memberikan gambaran lebih mendalam mengenai pemahaman siswa tentang jenis-jenis ikatan, berikut ini disajikan pembahasan untuk setiap aspek yang diteliti.
a. Ikatan Kovalen
Berdasarkan data dalam Tabel 2 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan kovalen pada molekul F2 sebanyak 75,49% sedangkan berdasarkan data 1 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan kovalen pada molekul HF sebanyak 43,95%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan kovalen pada molekul F2 dan HF adalah sebagai berikut:
Perhatikanlah reaksi pembentukan molekul F2 berikut:
F(g) + F(g) F2(g)
P: Ikatan yang terbentuk pada molekul F2 tersebut merupakan ikatan apa?
J: Ikatan kovalen
P: Mengapa?
J: Karena masing-masing atom F kekurangan satu elektron untuk mencapai keadaan oktet sehingga setiap atom F akan menyumbangkan satu elektron untuk dipakai secara bersama.
P: Apakah fluor pada molekul F2 tersebut terdapat dalam bentuk atom-atom atau ion-ion?
J: Terdapat dalam bentuk atom-atom F.
Perhatikan lagi reaksi pembentukan molekul HF berikut:
H(g) + F(g) HF(g)
P: Ikatan yang terbentuk pada molekul HF tersebut merupakan ikatan apa?
J: Ikatan kovalen
P: Mengapa?
J: Karena masing-masing atom H dan atom F kekurangan satu elektron untuk mencapai keadaan stabil seperti konfigurasi elektron atom gas mulia sehingga setiap atom H dan atom F akan menyumbangkan satu elektron untuk dipakai secara bersama.
P: Apakah hidrogen dan fluor pada molekul HF tersebut terdapat dalam bentuk atom-atom atau ion-ion?
J: Terdapat dalam bentuk atom H dan atom F.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen?
J: Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron oleh masing-masing atom yang berikatan.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan jenis ikatan kovalen diberikan dalam Tabel 6
Tabel 6 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa
Berkaitan dengan Jenis Ikatan Kovalen
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah

1

a. ikatan yang terbentuk pada molekul F2 merupakan ikatan kovalen karena ion F+ dan ion F- masing-masing menyumbangkan satu elektron untuk dipakai bersama dalam pembentukan ikatan
b. ikatan yang terbentuk pada molekul F2 merupakan ikatan ionik karena kedua atom F yang ada mengadakan gaya tarik elektrostatik

48,45


16,65


3

b. Ikatan yang terbentuk pada molekul HF merupakan ikatan ionik karena ion H+ dan ion F- yang ada mengadakan gaya tarik elektrostatik
c. Ikatan yang terbentuk pada molekul HF merupakan ikatan ionik karena atom H dan atom F yang ada mengadakan gaya tarik elektrostatik.

34,95


21.3

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang menjawab a pada kedua item tersebut dapat dianggap memahami ikatan kovalen terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan oleh ion-ion. Persentase jawaban a yang diberikan oleh siswa untuk soal nomor 3 lebih besar daripada soal nomor 1. Hal ini kemungkinan disebabkan karena molekul yang ditanyakan pada soal nomor 1 adalah homodiatomik sehingga kecenderungan siswa untuk mengatakan molekul tersebut terdiri atas ion positif dan ion negatif adalah kecil. Sebaliknya pada soal nomor 3 molekul yang ditanyakan adalah heterodiatomik yang terdiri atas atom-atom yang lebih mudah membentuk ion positif dan ion negatif. Siswa yang menjawab b pada kedua item tersebut dan c untuk soal nomor 3 kemungkinan menganggap bahwa ikatan dalam molekul F2 dan HF sebagai ikatan ionik. Siswa yang menjawab c untuk soal nomor 1 kemungkinan tidak memahami bahwa ikatan pada molekul homodiatomik adalah kovalen. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan kovalen pada molekul F2 dan HF adalah sebagai berikut:
Perhatikanlah reaksi pembentukan molekul F2 berikut ini:
F(g) + F(g) F2(g)
P: Ikatan yang terbentuk pada molekul F2 tersebut merupakan ikatan apa?
J: Ikatan kovalen.
P: Mengapa?
J: Karena terjadi pemakaian bersama pasangan elektron.
P: Antara apa?
J: Ion F+ dan ion F-
P: Apakah fluor pada molekul F2 tersebut terdapat dalam bentuk atom-atom atau ion-ion?
J: Terdapat dalam bentuk ion F+ dan ion F-
Perhatikan lagi reaksi pembentukan molekul HF berikut ini:
H(g) + F(g) HF(g)
P: Ikatan yang terbentuk pada molekul HF tersebut merupakan ikatan apa?
J: Ikatan kovalen
P: Mengapa?
J: Karena terjadi pemakaian bersama pasangan elektron
P: Antara apa?
J: ion H+ dan ion F-
P: Apakah hidrogen dan fluor pada molekul HF tersebut terdapat dalam bentuk atom-atom atau ion-ion?
J: Terdapat dalam bentuk ion H+ dan ion F-
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen?
J: Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron antara ion positif dan ion negatif.
Contoh lain hasil wawancara.
Perhatikanlah reaksi pembentukan molekul HF berikut ini:
H(g) + F(g) HF(g)
P: Ikatan yang terbentuk pada molekul HF tersebut merupakan ikatan apa?
J: Ikatan ionik
P: Mengapa?
J: Karena terjadi antara unsur golongan alkali yang mudah membentuk ion positif dengan unsur golongan halogen yang mudah membentuk ion negatif.
P: Apakah ikatan ionik dapat terjadi antara atom-atom nonlogam?
J: Ya
P: Apakah hidrogen dan fluor pada molekul HF tersebut terdapat dalam bentuk atom-atom atau ion-ion?
J: Terdapat dalam bentuk ion H+ dan ion F-
P: Apakah molekul HF terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron atau karena serah terima elektron?
J: Karena serah terima elektron.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah:
Kesalahan konsep 7: Ikatan kovalen terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron oleh ion positif dan ion negatif.
b. Ikatan Kovalen Polar, Ikatan Kovalen Nonpolar, dan Ikatan Ionik pada Senyawa Diatomik
Berdasarkan data dalam Tabel 2 persentase siswa yang dapat memahami ikatan kovalen polar, ikatan kovalen nonpolar dan ikatan ionik pada molekul diatomik hanya 5,18%. Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan kovalen polar, ikatan kovalen nonpolar, dan ikatan ionik pada senyawa diatomik diberikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa Berkaitan dengan Ikatan Kovalen Polar, Ikatan Kovalen Nonpolar, dan Ikatan Ionik pada senyawa diatomik
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
8
a. Ikatan yang terdapat pada F2, HF, dan NaF adalah pada F2 ikatan kovalen polar, pada HF ikatan kovalen non polar sedangkan pada NaF ikatan ionik
b. Ikatan yang terdapat pada F2, HF, dan NaF adalah pada F2 ikatan kovalen nonpolar, sedangkan pada HF dan NaF ikatan ionik
c. Ikatan yang terdapat pada F2 , HF, dan NaF adalah pada F2 ikatan kovalen polar sedangkan pada HF dan NaF ikatan ionik
d. Ikatan yang terdapat pada F2, HF, dan NaF adalah pada F2 ikatan ionik, pada HF ikatan kovalen nonpolar sedangkan pada NaF ikatan kovalen polar.

15,44

69,37

12,41

17,44

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a kemungkinan tidak memahami bahwa ikatan kovalen polar hanya dapat terjadi pada molekul heterodiatomik dan ikatan kovalen nonpolar hanya terjadi pada molekul homodiatomik. Siswa yang memberikan jawaban b dan c dapat dianggap salah dalam mengidentifikasi ikatan pada molekul HF sedangkan siswa yang memberikan jawaban d kemungkinan salah dalam mengidentifikasi ikatan pada F2 dan NaF. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang perbedaan ikatan kovalen polar, ikatan kovalen nonpolar, dan ikatan ionik adalah sebagai berikut:
Perhatikanlah reaksi-reaksi berikut ini:
F(g) + F(g) F2(g)
H(g) + F(g) HF(g)
Na(g) + F(g) NaF(g)
P: Menurut pendapat anda dari ketiga produk reaksi di atas, manakah yang memiliki ikatan kovalen polar, ikatan kovalen nonpolar dan ikatan ionik?
J: F2 ikatan kovalen polar, HF ikatan kovalen nonpolar dan NaF ikatan ionik.
P: Dapatkah anda memberikan alasan dari jawaban anda tersebut?
J: Karena pada F2 pasangan elektron ikatan yang ada tertarik sama kuat pada kedua atom yang berikatan, pada HF pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom sedangkan pada NaF terjadi serah terima elektron antara ion Na+ dengan ion F-.
P: Jika pasangan elektron ikatan pada suatu molekul tertarik sama kuat pada kedua atom yang berikatan maka ikatan tersebut disebut ikatan apa?
J: Kovalen polar
P: Jika pasangan elektron ikatan pada suatu molekul tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan maka ikatan tersebut disebut ikatan apa?
J: Kovalen nonpolar
Contoh lain hasil wawancara.
P: Apakah pada molekul F2 terjadi ikatan kovalen?
J: Ya
P: Ikatan kovalen apa?
J: Polar
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen polar?
J: Yaitu ikatan kovalen yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat pada kedua atom yang berikatan.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen nonpolar?
J: Yaitu ikatan kovalen yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan.
P: Apakah pada molekul HF terjadi ikatan kovalen?
J: Tidak.
P: mengapa?
J: Karena pada HF terjadi ikatan ionik
P: Apakah pada senyawa NaF terjadi ikatan kovalen?
J: Tidak
P: mengapa?
J: Karena pada NaF terjadi ikatan ionik
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah:
Kesalahan konsep 8: Ikatan kovalen nonpolar merupakan ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan.
Kesalahan konsep 9: Ikatan kovalen polar merupakan ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat pada dua atom yang berikatan.
c. Ikatan Ionik pada Garam dengan Kation dan Anion Sederhana.
Berdasarkan data dalam Tabel 1 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana pada senyawa NaF sebanyak26,39% sedangkan pada MX(g) (nomor atom: M = 11 dan X = 17) sebanyak 26,60%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana adalah sebagai berikut:
P: Ikatan yang terjadi pada senyawa NaCl adalah ikatan apa?
J: ionik
P: Mengapa?
J: Karena antara ion Na+ dengan ion Cl- terjadi serah terima elektron
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan ionik?
J: Yaitu ikatan yang terjadi karena adanya serah terima elektron antara ion Na+ dan ion Cl-.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana diberikan dalam Tabel 4.8.
Tabel 8 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa
Berkaitan dengan Ikatan Ionik pada Garam
dengan Kation dan Anion Sederhana
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
5
a. Ikatan yang terbentuk pada NaF merupakan ikatan kovalen karena ion Na+ dan ion F- masing-masing menyumbangkan satu elektron untuk dipakai bersama-sama dalam pembentukan ikatan.
b. Ikatan yang terbentuk pada NaF merupakan ikatan kovalen karena atom Na dan atom F masing-masing menyumbangkan satu elektron untuk dipakai bersama-sama dalam pembentukan ikatan
c. Ikatan yang terbentuk pada NaF merupakan ikatan ionik karena atom Na dan atom F yang ada mengadakan gaya tarik elektrostatik

46,05


30,38


8,47
Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a dan b pada soal nomor 5 kemungkinan salah dalam mengidentifikasi ikatan yang terdapat pada senyawa NaF sedangkan siswa yang menjawab c pada kedua item tersebut dapat dianggap salah dalam memahami pembentukan ikatan ionik. Siswa yang memberikan jawaban a dan b untuk soal nomor 11 kemungkinan salah dalam memahami bahwa dalam ikatan ionik tidak terjadi pemakaian bersama pasangan elektron ikatan. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan ionik pada garam dengan kation dan anion sederhana adalah sebagai berikut:
P: Ikatan yang terjadi pada senyawa NaF adalah ikatan apa?
J: kovalen
P: Mengapa?
J: Karena antara ion Na+dengan ion F- masing-masing menyumbangkan satu elektron untuk dipakai bersama.
Contoh lain hasil wawancara.
P: Ikatan yang terjadi pada senyawa NaCl adalah ikatan apa?
J: ionik
P: Mengapa?
J: Karena atom-atom penyusun senyawa tersebut dapat membentuk ion Na+ dan F-.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan ionik?
J: Yaitu ikatan yang terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron dari masing-masing ion yang berikatan.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah kesalahan konsep 10 yang telah diuraikan sebelumnya dan kesalahan konsep lainnya yaitu:
Kesalahan konsep 10: Ikatan ionik terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan.
d. Ikatan Kovalen Nonpolar
Berdasarkan data dalam Tabel 2 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan kovalen nonpolar sebanyak 53,91%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan kovalen nonpolar adalah sebagai berikut:
Andaikan terjadi reaksi A(g) + A(g) A2(g)
P: Jika A merupakan atom nonlogam maka ikatan yang terjadi pada A2 adalah ikatan kovalen apa?
J: Kovalen nonpolar
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron ikatan terbagi secara merata antara 2 atom yang berikatan.
P: Bagaimana anda menentukan hal tersebut?
J: Dari perbedaan keelektronegatifan atom-atom yang berikatan.
P: Bagaimana perbedaannya?
J: Tidak ada perbedaan
P: Mengapa?
J:Karena atom-atom yang berikatan adalah sama sehingga keelektronegatifannya akan sama.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen nonpolar?
J: Yaitu ikatan yang terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan dan pasangan elektron ikatan tersebut terbagi secara merata antara dua atom yang berikatan.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan kovalen nonpolar diberikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa
Berkaitan dengan Ikatan Kovalen Nonpolar
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
9
a. Ikatan yang terjadi antara atom-atom nonlogam seperti pada A2(g) adalah ikatan kovalen polar karena pasangan elektron ikatan terbagi secara merata antara 2 atom yang berikatan
b. Ikatan yang terjadi antara atom-atom nonlogam seperti pada A2(g) adalah ikatan kovalen polar karena pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom yang berikatan
c. Ikatan yang terjadi antara atom-atom nonlogam seperti padaA2(g) adalah ikatan kovalen nonpolar karena pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom yang berikatan.

43,56


4,2

10,01

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a dan c kemungkinan salah dalam memahami ikatan kovalen polar dan nonpolar sedangkan siswa yang memberikan jawaban b dapat dianggap tidak memahami bahwa ikatan pada molekul homodiatomik selalu adalah kovalen nonpolar. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan kovalen nonpolar adalah sebagai berikut:
Andaikan terjadi reaksi A(g) + A(g) A2(g)
P: Jika A merupakan atom nonlogam maka ikatan yang terjadi pada A2 adalah ikatan kovalen apa?
J: Kovalen polar
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron ikatan terbagi secara merata antara 2 atom yang berikatan.
P: Bagaimana anda menentukan hal tersebut?
J: Dari perbedaan keelektronegatifan atom-atom yang berikatan.
P: Bagaimana perbedaannya?
J: Tidak ada perbedaan
P: Mengapa?
J: Karena atom-atom yang berikatan adalah sama sehingga keelektronegatifannya akan sama.
P: Dapatkah terjadi ikatan kovalen nonpolar pada A2(g)?
J: Tidak
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat pada kedua atom.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen nonpolar?
J: Yaitu ikatan kovalen yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah kesalahan konsep 9 seperti yang telah diuraikan sebelumya.
e. Ikatan Kovalen Polar
Berdasarkan data dalam Tabel 4.2 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan kovalen polar sebanyak 20,55%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan kovalen polar adalah sebagai berikut:
Andaikan terjadi reaksi A(g) + B(g) AB(g)
P: Jika nomor atom A = 9 dan nomor atom B = 17 maka ikatan yang terjadi pada AB adalah ikatan kovalen apa?
J: Kovalen polar
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom yang berikatan.
P: Bagaimana anda menentukan hal tersebut?
J: Dari perbedaan keelektronegatifan atom-atom yang berikatan.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen polar?
J: Yaitu ikatan yang terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan dan pasangan elektron ikatan tersebut tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan kovalen polar pada molekul heterodiatomik diberikan dalam Tabel 10.





Tabel 10 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa
Berkaitan dengan Ikatan Kovalen Polar pada Molekul Heterodiatomik
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
10
a. Ikatan yang terjadi pada AB(g) (nomor atom A = 9 dan nomor atom B = 17) merupakan ikatan kovalen nonpolar karena pasangan elektron ikatan terbagi secara merata antara 2 atom yang berikatan
b. Ikatan yang terjadi pada AB(g) (nomor atom A = 9 dan nomor atom B = 17) merupakan ikatan kovalen non polar karena pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom yang berikatan.
c. Ikatan yang terjadi pada AB(g) (nomor atom A = 9 dan nomor atom B = 17) merupakan ikatan kovalen polar karena pasangan elektron ikatan terbagi secara merata antara 2 atom yang berikatan.

43,48


43,18


31,8

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a kemungkinan tidak memahami bahwa ikatan pada molekul heterodiatomik selalu adalah kovalen polar sedangkan siswa yang memberikan jawaban b dan c dapat dianggap salah dalam memahami ikatan kovalen polar dan nonpolar. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan kovalen polar adalah sebagai berikut:
Andaikan terjadi reaksi A(g) + B(g) AB(g)
P: Jika nomor atom A = 9 dan nomor atom B = 17 maka ikatan yang terjadi pada AB adalah ikatan kovalen apa?
J: Kovalen nonpolar
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom yang berikatan.
P: Bagaimana anda menentukan hal tersebut?
J: Dari perbedaan keelektronegatifan atom-atom yang berikatan.
P: Dapatkah anda memberikan definisi ikatan kovalen polar?
J: Yaitu ikatan yang terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan dan pasangan elektron ikatan tersebut tertarik sama kuat pada kedua atom yang berikatan.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah kesalahan konsep 8 seperti yang telah diuraikan sebelumya.
f. Ikatan Kovalen Polar Pada Senyawa Ion Poliatomik
Berdasarkan data dalam Tabel 4.2 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan kovalen polar pada ion SO42- sebanyak 33,98% sedangkan pada ion NH4+ hanya 19,1%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan kovalen polar pada ion poliatomik adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada ion SO42- merupakan ikatan apa?
J: Kovalen
P: Kovalen apa?
J: Polar
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron ikatan lebih tertarik pada salah satu atom.
P: Mengapa?
J: Karena keelektronegatifan atom S dan atom O yang berikatan tidak sama.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan kovalen polar pada ion poliatomik diberikan dalam Tabel 11




Tabel 11 Persentase jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa Berkaitan
dengan Ikatan Kovalen Polar pada Ion Poliatomik
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
12
a. Pada ion SO42 terjadi ikatan ionik antara 1 ion S6+ dengan 4 ion O2- karena SO42- merupakan ion
b. Pada ion SO42- terjadi ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom S dengan 4 atom O karena atom S dan atom O memiliki keelektronegatifan yang berbeda
c. Pada ion SO42- terjadi ikatan kovalen polar antara 1 atom S dengan 4 atom O karena atom S dan atom O memiliki keelektronegatifan yang sama
d. Pada ion SO42- terjadi ikatan kovalen, tetapi tanpa alasan.
26,03

54,80

24,84


2,86
13
a. Pada ion NH4+ terjadi ikatan ionik antara 4 ion H+ dengan 1 ion N3- karena NH4+ merupakan ion
b. Pada ion NH4+ terjadi ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom N dengan 4 atom H karena atom N dan atom H memiliki keelektronegatifan yang berbeda.
c. Pada ion NH4+ terjadi ikatan kovalen polar antara 1 atom N dengan 4 atom H karena atom N dan atom H memiliki keelektronegatifan yang sama
d. Pada ion NH4+ terjadi ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom N dengan 4 atom H karena atom N dan atom H memiliki keelektronegatifan yang sama
41,69

29,16

18,34


14,46

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang menjawab a pada kedua item tersebut kemungkinan memahami bahwa ikatan yang terjadi pada senyawa ion adalah ikatan ionik, siswa yang menjawab b, c, dan d diduga karena adanya kecenderungan konsistensi kesalahan konsep yang mereka miliki sebelumnya tentang ikatan kovalen polar dan nonpolar. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan kovalen polar pada ion poliatomik adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada ion SO42- merupakan ikatan apa?
J: Ionik.
P: Mengapa?
J: Karena ion SO42- sudah dalam bentuk ion.
P: Apakah semua senyawa ion akan menghasilkan ikatan ionik?
J: Ya.
Contoh lain hasil wawancara:
P: Ikatan pada ion SO42- merupakan ikatan apa?
J: Kovalen
P: Kovalen apa?
J: Nonpolar
P: Dari mana anda mengetahui hal tersebut.
J: Dari harga momen dipol.
P: Berapa harga momen dipolnya?
J: Momen dipolnya = 0
P: Apakah pasangan elektron ikatan antara atom S dengan atom O lebih tertarik pada salah satu atom atau terbagi secara merta antara kedua atom?
J: Tertarik lebih kuat pada salah satu atom.
P: Jadi menurut anda ikatan kovalen yang terdapat pada ion SO42- adalah ikatan apa?
J: Kovalen nonpolar.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah:
Kesalahan konsep 11: Ikatan antara atom-atom yang terdapat dalam suatu ion merupakan ikatan ionik.
Kesalahan konsep 12: Ikatan kovalen nonpolar terjadi antara atom-atom yang berbeda jenisnya.
g. Ikatan Ionik dan Kovalen Polar pada Suatu Garam
Berdasarkan data dalam Tabel 2 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan ionik dan ikatan kovalen polar pada senyawa MgSO4, NH4Cl, dan (NH4)2SO4 berturut-turut adalah 18,64, 28,17 dan 32,82%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan kovalen polar pada suatu garam adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada NH4Cl merupakan ikatan apa?
J: Ikatan ionik antara ion NH4+ dengan ion Cl- dan ikatan kovalen polar antara 1 atom N dengan 4 atom H.
P: Mengapa?
J: Karena ikatan ionik terjadi jika ada interaksi antara ion positif dengan ion negatif sedangkan NH4Cl itu terdiri atas ion NH4+ dan ion Cl- maka yang terjadi adalah ikatan ion. Untuk ikatan kovalen polar hanya terjadi pada ion NH4+ yakni antara atom N dengan atom H karena atom-atomnya memiliki keelektronegatifan yang berbeda.
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan ionik dan ikatan kovalen pada suatu garam diberikan dalam Tabel 12.
15
a. Pada NH4Cl terjadi ikatan kovalen polar antara 1 atom N dengan 4 atom H dan 1 atom Cl serta antara NH4+ dengan Cl-
b. Pada NH4Cl terjadi ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom N dengan 4 atom H dan 1 atom Cl serta antara NH4+ dengan Cl-
c. Jawaban tanpa alasan
27,14


19,23

6,85
16
a. Pada (NH4)2 SO4 terjadi ikatan ionik antara 2 ion NH4+ dengan 1 ion SO42- dan ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom N dengan 4 atom H serta ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom S dengan 4 atom O
b. Pada (NH4)2SO4 terjadi ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom N dengan 4 atom H, ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom S dengan 4 atom O dan ikatan kovalen nonpolar antara NH4+ dengan SO42-.
c. Pada (NH4)2SO4 terjadi ikatan kovalen polar antara 1 atom N dengan 4 atom H, ikatan kovalen polar antara 1 atom S dengan 4 atom O dan ikatan kovalen polar antara NH4+ dengan SO42-

40,98


26,68


13,44


Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban-jawaban tersebut di atas kemungkinan karena adanya kecenderungan konsistensi kesalahan konsep tentang ikatan kovalen nonpolar yaitu ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan dan ikatan kovalen polar yaitu ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat pada dua atom yang berikatan. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan kovalen polar pada suatu garam adalah sebagai berikut:
P: Ikatan pada NH4Cl merupakan ikatan apa?
J: Ikatan ionik antara ion NH4+ dengan ion Cl-dan ikatan kovalen nonpolar antara 1 atom N dengan 4 atom H.
P: Mengapa?
J: Karena NH4Cl terdiri atas ion NH4+ dan ion Cl- maka antara ion-ion ini akan terjadi ikatan ion. Sedangkan pada ion NH4+ terjadi ikatan kovalen nonpolar karena momon dipolnya = 0.
P: Apakah pasangan elektron ikatan antara atom N dengan atom H terbagi secara merata antara kedua atom?
J: Tidak
P: Mengapa?
J: Karena atom N lebih kuat menarik pasangan elektron dibandingkan dengan atom H.
P: Jika atom N lebih kuat menarik pasangan elektron ikatan dibandingkan dengan atom H maka ikatan tersebut termasuk ikatan kovalen polar atau ikatan kovalen nonpolar?
J: Ikatan kovalen nonpolar.
Contoh lain hasil wawancara:
P: Ikatan pada MgSO4 merupakan ikatan apa?
J: Ikatan ionik antara ion Mg2+ dengan ion SO42- dan ikatan kovalen nonpolar antara atom Mg dengan atom S serta ikatan kovalen nonpolar antara atom S dengan atom O.
P: Dapatkah ikatan kovalen nonpolar terbentuk antara atom Mg dengan atom S?
J: Ya
P: Apakah ikatan kovalen nonpolar dapat terbentuk antara atom-atom nonlogam yang sama?
J: Tidak
P: Mengapa?
J: Karena jika atom-atomnya sama maka yang terbentuk adalah ikatan kovalen polar.
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah kesalahan konsep 9 dan 12 yang telah diuraikan sebelumnya.
h. Ikatan Kovalen Koordinasi
Berdasarkan data dalam Tabel 2 persentase siswa yang dapat mengidentifikasi ikatan kovalen koordinasi pada ion [Ag(NH3)2]+ sebanyak 56,67% sedangkan pada ion [Cu(CN)4]2- hanya 12,94%. Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman benar tentang ikatan kovalen koordinasi adalah sebagai berikut:
Perhatikanlah reaksi berikut: Ag+ + 2 :NH3 [H3N – Ag – NH3]+
P: Ikatan antara atom Ag dengan atom N pada ion [Ag(NH3)2]+ merupakan ikatan apa?
J: Ikatan kovalen koordinasi
P: Mengapa?
J: Karena pasangan elektron yang digunakan bersama hanya berasal dari salah satu atom
P: Atom yang mana?
J: Atom N
Adapun pola jawaban salah berkaitan dengan ikatan kovalen koordinasi diberikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Persentase Jawaban Salah yang diberikan Oleh Siswa
Berkaitan dengan Ikatan Kovalen Koordinasi
No. Item
Jawaban Salah
Persentase jawaban salah
17
a. Ikatan antara atom Ag dan atom N pada [H3N–Ag–NH3]+ merupakan ikatan ionik karena [Ag(NH3)2]+ merupakan ion
b. Ikatan antara atom Ag dan atom N pada [H3N–Ag–NH3]+ merupakan ikatan kovalen nonpolar karena atom Ag dan atom N memiliki keelektronegatifan yang sama
c. Ikatan antara atom Ag dan atom N pada [H3N–Ag–NH3]+ merupakan ikatan kovalen nonpolar karena atom Ag dan atom N memiliki keelektronegatifan yang berbeda
d. Ikatan antara atom Ag dan atom N pada [H3N–Ag–NH3]+ merupakan ikatan kovalen tetapi tanpa alasan.
19,92


7,94


9,02


15,42
18
a. Kovalen koordinasi karena pasangan elektron yang digunakan bersama hanya berasal dari atom Cu
b. Ikatan antara atom Cu dan atom C pada [Cu(CN)4]2- merupakan ikatan kovalen nonpolar karena atom Cu dan atom C memiliki keelektronegatifan yang berbeda.
c. Ikatan antara atom Cu dan atom C pada [Cu(CN)4]2- merupakan ikatan kovalen nonpolar karena atom Cu dan atom C memiliki keelektronegatifan yang sama.
d. Ikatan ionik karena [Cu(CN)4]2- merupakan ikatan ion.
69,63

9,18

9,83


9,01

Dari pola jawaban di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memberikan jawaban a, b, dan c pada kedua item soal tersebut diduga karena adanya kecenderungan konsistensi kesalahan pemahaman mereka bahwa ikatan pada senyawa ion merupakan ikatan ionik dan ikatan yang terjadi antara atom-atom yang berbeda adalah kovalen nonpolar. siswa yang memberikan jawaban d kemungkinan karena mereka tidak paham struktur Lewis CN- Contoh hasil wawancara pada siswa yang memiliki pemahaman salah tentang ikatan kovalen koordinasi adalah sebagai berikut: Perhatikanlah reaksi berikut:
Ag+ + 2 :NH3 [H3N – Ag – NH3]+
P: Ikatan antara atom Ag dengan atom N pada ion [Ag(NH3)2]+ merupakan ikatan apa?
J: Ikatan ionik
P: Mengapa?
J: Karena [Ag(NH3)2]+ merupakan ion
Contoh lain hasil wawancara
Perhatikanlah reaksi berikut:
NC CN 2-
Cu2+ + 4 :CN:– Cu
NC CN

P: Ikatan antara atom Cu dan atom C merupakan ikatan apa?
J: Kovalen koordinasi
P: Mengapa
J: Karena pasangan elektron ikatan hanya berasal dari salah satu atom
P: Atom yang mana?
J: Atom pusat
P: Atom pusatnya yang mana?
J: Cu
Dari uraian di atas kesalahan konsep yang dapat diidentifikasi adalah kesalahan konsep 11 seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diberikan pada Bab IV, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a)Tingkat pemahaman siswa di SMA 1, SMA 2 dan SMA 3 Gorontalo tentang pembentukan ikatan kovalen, ikatan ionik dan jenis-jenis ikatan semuanya termasuk dalam kategori sangat rendah.
b)Kesalahan konsep yang dialami siswa dalam mempelajari konsep-konsep dalam ikatan kimia adalah:
1.Pada pembentukan ikatan kovalen satu atom melepaskan elektron sedangkan atom yang lain menerima elektron.
2.Pada pembentukan ikatan kovalen antara atom-atom yang sama terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang berbeda.
3.Pada pembentukan ikatan kovalen antara atom-atom yang berbeda terjadi tumpang tindih orbital-orbital atom dengan tingkat energi yang sama.
4.Suatu atom yang lebih mudah melepaskan elektron dianggap memiliki keelektronegatifan yang lebih besar sedangkan atom yang lebih mudah menerima elektron dianggap memiliki keelektronegatifan yang lebih kecil.
5.Semakin banyak elektron yang dimiliki oleh suatu atom maka keelektronegatifan semakin besar.
6.Ikatan kovalen terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron oleh ion positif dan ion negatif.
7.katan kovalen nonpolar merupakan ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik lebih kuat pada salah satu atom yang berikatan.
8.Ikatan kovalen polar merupakan ikatan yang terjadi karena pasangan elektron ikatan tertarik sama kuat pada dua atom yang berikatan.
9. Ikatan ionik terjadi karena pemakaian bersama pasangan elektron ikatan.
10. Ikatan antara atom-atom yang terdapat dalam suatu ion merupakan ikatan ionik.
11. Ikatan kovalen nonpolar terjadi antara atom-atom yang berbeda jenisnya.

SARAN
1.Adanya indikasi bahwa tingkat pemahaman siswa terhadap suatu konsep masih termasuk kategori sangat rendah, maka untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi terhadap suatu konsep, pengajaran konsep tersebut seharusnya dideteksi lebih dahulu pengetahuan awal (pra-konsepsi) siswa terhadap konsep-konsep yang akan diajarkan.
2.Mengingat bahwa letak kesalahan konsep ini sangat besar maka perlu kiranya diadakan remidi berkenaan dengan materi ikatan kimia.
3.Mengingat keterbatasan yang ada dalam penelitian ini kiranya perlu dilakukan penelitian tindakan kelas atau penelitian yang sejenisnya dengan upaya dapat memperbaiki kesalahan konsep tersebut dengan strategi yang lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, H. 1992. Penuntun Belajar Kimia Dasar: Struktur Atom, Struktur Molekul, dan Sistem Periodik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Arikunto, S. 1997a. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Berg, E.V. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Sebuah pengantar berdasarkan lokakarya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 7-10 Agustus 1990. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Dahar, R. W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1997. Kimia Organik, Jilid I. Terjemahan oleh Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta: Erlangga.
Firman, H., dan Liliasari. 1996a. Kimia 1. Jakarta: Depdikbud.
Gagne, R.M. 1977. The Conditions of Learning and Theory of Instruction. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hackling, M. W. and Garnet, P.J. 1985. “Misconception of Chemical Equilibrium”. European Journal of Science Education. 7 (2): 205-214.
Huddle, P.A. and White, M.D. 2000. “Using a Teaching Model to Correct Known Misconceptions in Electrochemistry”. Jornal of Chemical Education. 77 (1) : 104-110.
Ibnu, S. 1989. Kesalahan Konsep dan Konsekuensinya dalam Pengajaran IPA. Kumpulan Karangan Ilmiah. Malang.
Jasmin. 2005. Kajian Pemahaman Tentang Pembentukan Ikatan dan Identifikasi Jenis-Jenis ikatan Pada senyawa KimiaOleh Siswa Kelas I SMA Negeri 3 gorontalo Tahun Pelajaran 2004/2005. UNG.
Kean, E. dan Midlecamp, C. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: Gramedia.
Nakhleh, M.B. 1992. “Why Some Student Don’t Learn Chemistry (Chemical Misconceptions)”. Journal of Chemical Education. 59 (3): 191-194.
Osborn, R.J. and Witrock, M.C. 1985. “Learning Science: A Generative Process”. Scince Education. 64 (4): 489-5
Pikoli, 2003. Analisis Kesalahan Konsep Dalam Ikatan Kimia Pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia IKIP Negeri Gorontalo dan upaya memperbaikinya dengan Strategi Konflik Kognitif. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM
Purba, M. 1995. Ilmu Kimia 1 B. Jakarta: Erlangga
Peterson, R.F. and Treagust, D.F. 1989. “Development and Aplication of A Diagnostic Instrument to Evaluate Grade-11 and –12 Students’ Concepts of Covalent Bonding and Structure Following a Course of Intruction”. Journal of Research in Science Teaching. 26(4): 301-314.
Sastrawijaya, T. 1988. Proses Belajar Mengajar Kimia. Jakarta: P2LPTK.
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstructivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Surdia, M. 1993. Ikatan dan Struktur Molekul. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi.
Taber, K.S. 1994. “Misunderstanding The Ionic Bond”. Journal of Chemical Education. 31 (6): 100-103.
Wiseman, F.L. 1981. “The Teaching of College Chemistry, Role of Student Development”. Journal of Chemical Education. 58 (6): 484-488.




0 komentar:

Posting Komentar