BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku bangsa, ras dan beranekaragam kebudayaan. Keanekaragaman kebudayaan inilah yang memperkaya khasanah kebudayaan nasional sebagai bentuk aset bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan kepada regenerasi sehingga budaya bangsa benar-benar terlindungi dari berbagai pengaruh termasuk budaya asing yang memiliki potensi untuk menghilangkan nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi saat ini. Perbedaan dari budaya daerah itu sendiri dapat di lihat dari berbagai segi seperti kepercayaan, bahasa, sastra, kesenian dan adat-istiadat. Budaya daerah tersebut merupakan ekspresi kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi maupun sebagai dampak yang didukung dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sudah semakin canggih dan modern. Hal ini diwadahi dengan adanya pasar bebas atau arus globalisasi yang sedikitnya bisa menggeserkan nilai-nilai budaya yang telah dipercaya oleh masyarakat Indonesia bertahun-tahun.
Menurut pendapat Taylor (dalam Pelly dan Asih, 1994:23) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, keseniaan, moral, hukum, adat istiadat, kepercayaan dan kemampuan serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Keanekaragaman budaya Indonesia merupakan warisan luhur dan asli dari nenek moyang yang dapat mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku di tanah air Indonesia.
Kebudayaan daerah tumbuh seiring dengan tradisi masyarakat yang masih membangun dan memegang teguh warisan leluhur, suatu pembangunan berdaya guna dan berhasil guna jika mampu mengembangkan potensi masyarakat yang ada di dalamnya.
Salah satu bentuk kebudayaan daerah di Indonesia adalah sastra. Bentuk sastra yang dimaksud dalam hal ini yakni sastra lisan. Pada dasarnya Sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat pendukungnya. Melalui sastra dapat mendorong masyarakat untuk meciptakan moral yang baik dan luhur sehingga ada keinginan untuk mencapai kemajuan dan kebenaran, dengan kata lain, sastra lisan merupakan hasil ekspresi budaya masyarakat yang melahirkannya. Demikian pula halnya dengan sastra lisan Hindu Bali yang merupakan cermin budaya masyarakat Bali. Pemikiran di atas, sejalan dengan pernyataan Suyitno (dalam Moeliono, 2002:238) bahwa sastra selalu mempertimbangkan fakta yang benar, objektifitas sosial, rasio, dan gagasan – gagasan pijar.
Pandangan yang menganggap suatu karya sastra sebagai suatu struktur yang otonom, yakni dengan diikuti oleh aliran-aliran dalam dunia sastra terhadap pendekatan struktural yang bersifat objektif. Bentuk aliran strukturalisme terutama selalu mencurahkan perhatian pada penganalisisan berdasarkan sifat-sifat umum dalam kesusastraan tersebut. Salah satu bentuk kesusastraan yang dapat dianalisis tersebut adalah Sastra lisan adat Hindu suku Bali yakni menyangkut mantera dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Hindu suku Bali.
Sastra lisan adat Hindu suku Bali dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Hindu suku Bali dilaksanakan dengan berbagai macam proses, antara lain dengan pembacaan mantera dalam adat tersebut. Pembacaan mantera dalam pelaksanakan adat perkawinan Hindu suku Bali, memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Namun presepsi di atas sedikit telah bergeser dengan anggapan bahwa pembacaan mantera dalam prosesi adat pernikahan Hindu suku Bali hanya merupakan simbol dan pelengkap.
Mantera merupakan jenis karya sastra lama yang memiliki struktur dan mengandung makna dan nilai budaya. Mantera diciptakan dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Alisjahbana (dalam, Sediawaty 2004 : 211). Demikian juga Nor (dalam Sediyawati 2004 : 211) menyebut mantera sebagai puisi bebas yang dapat dikategorikan ke dalam bahasa berirama sedang isinya pada hal-hal magis, penobatan dan pembunuhan.
Namun kenyataan dilapangan saat ini perhatian terhadap sastra lisan khususnya pada makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali, merupakan sastra lisan yang berhubungan dengan budaya suatu daerah di Indonesia dapat dinyatakan sangat kurang khususnya sastra daerah adat suku Hindu Bali.
Terjadinya persepsi seperti di atas dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap mantera yang dibaca pada saat prosesi pelaksanaan pernikahan sehingga terjadi keganjilan dalam memberikan makna dan interpretasi oleh masyarakat.
Dalam perkawinan adat Hindu, mantera digunakan atau dibaca pada setiap tahapan upacara adat perkawinan Hindu suku Bali. Pembacaan mantera dianggap memiliki nilai religius oleh masyarakat Hindu Bali. Pemahaman masyarakat terhadap makna dan nilai mantera yang terkandung di dalamnya telah kurang yang disebabkan adanya perkembangan zaman yang serba modern.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan harapan kebudayaan bangsa dapat terpelihara kelestariannya dengan formulasi judul “Struktur dan Makna Religius Puisi Lisan Mantera Pada Upacara Adat Perkawinan Hindu Suku Bali”.
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasikan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.Bagaimana makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali di lihat dari struktur lahir/struktur luar (surface structure)?
2.Bagaimana makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali di lihat dari struktur batin/struktur dalam (deep structure)?
3.Bagaimana nilai religius dalam sastra lisan “Mantera” pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali?
1.3Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini sesuai dengan relevansi masalah yakni bagaimana struktur dan makna religius puisi lisan mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali?
1.4Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang begitu luasnya, yang berhubungan dengan sastra daerah ke dalam puisi lisan yang berbentuk syair, terutama dalam struktur dan makna religius puisi lisan mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali, maka perlu ada pengkajian secara lebih spesifik. Mengingat keterbatasan waktu, dana dan tenaga yang sekiranya kurang memungkinkan, maka masalah hanya dibatasi pada proses pemaknaannya. Oleh sebab itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan sesuai dengan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali dilihat dari struktur lahir/struktur luar (surface structure)?
2.Bagaimana makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali dilihat dari struktur batin/struktur dalam (deep structure)?
3.Bagaimana nilai religius dalam sastra lisan “Mantera” pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali?
1.5Defenisi Operasional
Sesuai dengan judul yang diangkat sebagai penelitian yakni “Struktur dan Makna Religius Sastra Lisan Mantera Pada Upacara Adat Perkawinan Hindu Suku Bali” maka sangat diperlukan definisi operasional yang merupakan bagian dari penelitian yang berfungsi untuk menguraikan dan memberikan penegasan terhadap makna kata-kata yang terdapat dalam judul penelitian di atas. Maka kata-kata dalam judul ini akan dioperasionalkan sebagai berikut :
1.Mantera merupakan suatu doa yang dikeluarkan secara lisan oleh seseorang yang dianggap mampu ketika mantera itu diucapkan berdasarkan lantunan iramanya dengan baik dan sempurna, serta hal ini memberikan suatu keyakinan bagi orang yang menggunakannya sesuai dengan keyakinan dalam hidupnya.
2.Struktur merupakan susunan yang memiliki makna yang terdiri atas bermacam-macam unsur, sehingga memperoleh bentuk yang memberikan adanya jalinan erat “koherensi” atau keutuhan dan keterpaduan sebuah karya sastra (mantera).
3.Perkawinan adat Hindu Bali adalah rangkaian kegiatan upacara adat yang dilakukan dengan bertahap dan memiliki kaidah-kaidah secara tradisional, yang mengantar masyarakat serta mempunyai tata pelaksanaan tersendiri sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada budaya tersebut, yang telah disepakati sejak zaman nenek moyang hingga turun-temurun.
4.Umat Hindu suku Bali merupakan masyarakat yang memiliki kebudayan yang penuh akan budaya seni, etnik dan ras yang sudah mewarnai kehidupan adat dan istiadatnya, yang membentuk satu kesepakatan yang sejak umat Hindu mulai tumbuh dan berkembang.
1.6Tujuan Penelitian
1.6.1Tujuan Umum
Tujuan umum dalam pelaksanaan penelitian ini adalah untuk menggali dan memperoleh suatu gambaran yang obyektif tentang mantera yang digunakan pada proses pelaksanaan upacara adat perkawinan Hindu suku Bali pada masyarakat Indonesia umumnya dan khusus masyarakat paguyaman yang beragama Hindu di Desa Paguyaman Bongo III, Kec. Wonosari, Kab. Boalemo.
1.6.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1.Mendeskripsikan bagaimana makna struktur mantera dilihat dari struktur lahir/struktur luar (surface structure).
2.Mendeskripsikan bagaimana makna struktur mantera dilihat dari struktur bathin/struktur dalam (deep structure).
3.Mendeskripsikan bagaimana nilai religius dalam sastra lisan “Mantera” pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali?
1.7Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1.Bagi Lembaga
Penelitian ini dapat memberikan suatu bahan masukan, sumbangsih pemikiran, wawasan serta sebagai pengetahuan baru yang terdapat di dalamnya terutama dalam hal sastra lisan “Mantra” dengan menggunakan metode deskriptif. Selain itu hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya.
2.Bagi daerah dan Masyarakat
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dan sumber yang mampu memberikan gambaran yang sesungguhnya terhadap struktur dan makna religius puisi lisan mantera dalam pelaksanaan perkawinan adat Hindu suku Bali dan juga sebagai kontribusi bagi daerah untuk mengembangkan dan melestarikan budaya bangsa kelak.
3.Bagi Peneliti
1.Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih dalam terhadap makna struktur mantera yang digunakan dalam pelaksanan perkawinan adat Hindu suku Bali, di Desa Paguyaman Bongo III.
2.Memberikan gambaran yang jelas bagi penulis tentang makna religius yang terdapat dalam sastra lisan mantera yang tergolong dalam bentuk puisi lama pada upacara perkawinan adat Hindu suku Bali.
BAB II
KAJIAN PUSTKA
2.1 Hakekat Makna Struktur
Penelitian teks sastra selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia, maka telaah tentang sastra berkaitan dengan hal ihwal yang menyangkut di luar teks sastra, seperti pembaca dan pengarang. Baik penelitian teks sastra maupun tentang aspek di luar sastra keduanya sama-sama penting dan saling melengkapi. Oleh karena itu, peneliti sastra perlu meningkatkan aspek pembaca dalam pemaknaan teks. Salah satu bidang yang relevan diteliti adalah makna struktur. Dari sini akan terungkap jelas bagaimana tanggapan pembaca terhadap teks sastra.
Sebagai jalur penelitian kemanusiaan, tentu telaah sastra memiliki metode yang khas pula, yaitu makna struktur. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. Oleh karena dasar pemikirannya adalah teks sastra ditulis untuk disajikan kepada pembaca.
Kritik sastra berfungsi untuk memberikan uraian dan penerangan tentang karya sastra yang konkrit, baik makna karya sastra, strukturnya, maupun nilainya. Dengan demikian kritikus sebagai penerap prinsip kritik sastra perlu memberikan tafsiran, analisis dan seni-seni lainnya. Tanpa itu semua karya sastra tidak mungkin dipahami. Jadi di sini perlu diuraikan penafsiran (interpretasi), penguraian (analisis) dan penilaian (evaluasi). Ketiganya merupakan aspek kritik sastra yang utama yang saling erat dalam aktivitas penerapan kritik pada karya sastra.
Dalam kaitan ini, penelitian tidak diarahkan pada aspek sosiologis dan psikologis, seperti hubungan antara penilaian teks sastra dengan kepribadian pembaca, melainkan difokuskan pada studi sastra dengan menggunakan konsep Wirnold (dalam Suwardi, 2003 : 118) yaitu tentang pemprosesan teks yang meliputi hubungan antara ciri-ciri tekstual.
Salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh. Dalam penafsiran puisi tidak dapat lepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik puisi dapat memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik itu adalah penyair dan kenyataan sejarah.
2.2Pendekatan Analisis Struktural Mantera
Memahami suatu karya sastra yakni mantera yang termasuk kedalam bentuk puisi lama, maka cara analisis yang perlu dilakukan disini yakni ada beberapa konsep penting lainnya dalam strukturalisme makna mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali, yakni konsep struktur dan transformasi. Mengenai struktur yang dimaksud adalah model yang dipakai untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang akan dianalisis, model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Teori strukturalisme memandang karya sastra sebagai sebuah ”sistem” dan menekankan fungsi berbagai unsur di dalam sistem itu. Sastra sendiri dalam keseluruhannya merupakan sebuah sistem. Ialah ”sistem sastra”. Unsur-unsur di dalam sebuah karya sastra dapat dianalisa dan dideskripsikan. Tetapi dari analisa itu menjadi jelaslah bahwa berbagai unsur itu saling mempengaruhi dan saling bergantungan. Setiap unsur ada kaitannya dengan unsur-unsur lainnya di dalam sistem itu sebagai keseluruhan (synfungsi), tetapi juga berhubungan dengan unsur-unsur analog di dalam sistem sastra pada umumnya (autofungsi). Dapat kita sebutkan dengan kata lain, yakni struktur adalah relation of relations (relasi dari relasi) atau system of relations (1963), (dalam Ahimsa Putra, Heddy Shri, 2001:61).
Dalam analisis struktural struktur ini dibedakan menjadi dua macam : strukutur lahir/struktur luar (surface structure) dan struktur batin/struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau yang dapat kita bangun berdasar atas ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil diketemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang lebih tepat disebut sebagai model untuk memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya, dalam (Ahimsa-Putra, H.S, 2001:61).
Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya, misalnya, dongeng, upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane, 1970:13-14), atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat ketertataan (order) serta keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena tersebut.
Analisis struktural seperti di atas pada dasarnya dapat diterapkan pada setiap gejala budaya atau pada unsur-unsurnya yang lebih kecil. Tujuan penelitian di situ kemudian tidak lain adalah menemukan struktur dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu pula analisis struktural tidak berbicara tentang proses perubahan. Hal ini tidak berarti bahwa strukturalisme menolak atau anti terhadap proses perubahan. Analisis struktural memang tidak memusatkan perhatiannya pada soal perubahan, tetapi pada soal keberadaan strukturalnya.
2.3Mantera Sebagai Salah Satu Jenis Sastra Lisan Bali
Mantera terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia. Puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua. Bentuk puisi yang paling tua termasuk juga seperti mantera. Di dalam mantera tercermin hakikat sesungguhnya dari puisi, yakni kata-katanya dipilih secermat-cermatnya, kalimatnya tersusun dengan rapi, begitu pula dengan iramanya. Selain itu, isi dari sebuah mantera harus benar-benar dipertimbangkan kecermatan memilih kata-kata, menyusun lirik dan menetapkan iramanya itu sangat penting, terutama untuk menimbulkan pengkonsentrasian kekuatan bahasa itu sendiri. Mantera berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak secara inspiritual dengan Tuhan. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantera itu dapat dipenuhi oleh Tuhan. Dalam perkembangannya di Indonesia, kita kenal berbagai jenis tipografi dan model puisi yang menunjukkan perkembangan struktur puisi tersebut. Ciri-ciri struktur puisi dari jaman ke jaman dan dari periode ke periode tidak hanya ditandai oleh perbedaan struktur fisik, tetapi juga oleh struktur makna atau tematiknya, (Waluyo, 1987:5).
Karena sifat sakralnya, mantera seringkali tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang. Hanya pawang yang berhak dan dianggap pantas mengucapkan mantera itu. Pengucapannya pun harus disertai dengan upacara ritual, misalnya asap dupa, duduk bersila, gerak tengah, ekspresi wajah, dan sebagainya. Hanya dengan dan di dalam suasana seperti itulah mantera berkuatan gaib. Ada pula mantera yang harus diucapkan secara keras dan ada juga yang hanya berbisik-bisik. Pawang jualah yang mengerti bagaimana mendatangkan kekuatan gaib melalui mantera itu.
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa sebuah mantera mempunyai kekuatan bukan hanya dari struktur kata-katanya, namun terlebih dari struktur batinnya. Karena sifat mantera yang sakral, mantera tidak mudah dapat ditemukan. Hanya orang-orang tertentu yang dipandang berhak mewarisi kepandaian yang bermanteralah yang dapat memiliki dan menggunakan mantera. Mereka yang memiliki dan mampu menggunakan mantera biasanya dikategorikan sebagai ”orang tua (Sesepuh)” jika ada kenduri, maka upacara penyebelihan ayam kung” (daging ayam utuh untuk kenduri) juga harus disertai mantera agar niat si penyelenggara kenduri dapat tercapai. Demikian pula dengan penggunaan mantera dalam pelaksanaan adat perkawinaan Hindu suku Bali agar pengantin mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa (Ida Shang Hyang Widhi Wase) dan diberkahi rezki yang banyak dan sebagainya.
2.4Struktur Mantera
2.4.1Struktur lahir/struktur luar (surface structure)
Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah puisi, yakni dapat diuraikan sebagai berikut:
a.Diksi
Diksi (atau diction) berarti pilihan kata. Kalau dipandang pintas lalu maka kata-kata yang dipergunakan dalam puisi pada umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara alamiah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama; bahkan bunyi ucapan pun tidak ada perbedaan. Walaupun demikian haruslah kita sadari bahwa penempatan serta penggunaan kata-kata dalam puisi dilakukan secara hati-hati dan teliti serta lebih tepat. Kata-kata yang dipergunakan dalam dunia persanjakan tidak seluruhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif. Konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak memberi efek bagi para penikmatnya. Uraian-uraian ilmiah biasanya lebih mementingkan denotasi. Itulah sebabnya maka sering orang mengatakan bahwa bahasa ilmiah bersifat denotatif, sedangkan bahasa sastra bersifat konotatif.
Setiap kata yang dipilih serta dipergunakan oleh sang penyair mempunyai makna dan misi tertentu, baik mengenai ruang maupun mengenai waktu. Dapat dilihat kata-kata pada bait pertama sanjak J.E. Tatengkeng yang berjudul Sukma Pujangga, seperti kata-kata o, lepaskan, daku, dari kurungan, biarkan, daku, terbang, melayang, akan tetapi tidaklah dapat kita ganti begitu saja dengan sinonimnya wahai, bebaskan, saya, keluar tahanan, agar, beta, meluncur, terbang kalau kita ingin mempertahankan keaslian efeknya. Kalau kita paksakan juga maka sirnalah jiwa serta keindahan sanjak tersebut.
Dapat kita tegaskan betapa pentingnya pilihan kata atau diksi bagi suatu mantera yang berbentuk puisi lama. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, nada sesuatu puisi dengan tepat.
b.Imaji / Pengimajian
Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmaniah, sang penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa perasaan jasmaniah tersebut. Semua hal yang telah kita utarakan tadi, yang segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery imaji.
Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dalam karya mereka. Pilihan serta memperjelas daya-bayang pikiran manusia; dan energi tersebut dapat pula mendorong imajinasi atau daya-bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata.
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat daya agar para penikmat dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh, bahkan kalau perlu mengalami segala sesuatu yang terdapat dalam sanjaknya, sebab hanya dengan jalan demikian sajalah dia dapat meyakinkan para penikmat terhadap realitas dari segala sesuatu yang sedang didendangkannya itu. Hal ini tidak dia lakukan dengan uraian-uraian yang nyata, yang langsung; bahkan sebaliknya dia mempergunakan aneka majas atau figure of speech.
Mengenai kata imagery ini, Brooks [et al] menjelaskannya sebagai “the calling to mind of something perceived by the senses”; sebagai “pengingatan kembali sesuatu yang telah pernah dialami atau diinderai”. (Tarigan, 1984:30).
c.Kata Konkret / Kata Nyata
Salah satu cara untuk membangkitkan daya bayang atau imajinasi para penikmat sesuatu sanjak adalah dengan mempergunakan kata-kata yang tepat. Kata nyata atau the concrete word adalah kata-kata yang kongkrit dan khusus, yang dapat menyarankan suatu pengertian menyeluruh, bukan kata yang abstrak dan bersifat umum. Semakin tepat seorang penyair menempatkan kata-kata yang penuh asosiasi dalam karyanya maka semakin baik pula dia menjelmakan imaji, sehingga para penikmat menganggap bahwa mereka benar-benar melihat, mendengar, merasakan, pendeknya mengalami segala sesuatu yang dialami oleh sang penyair.
d.Bahasa Figuratif (Majas)
Cara lain yang sering dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan imajinasi itu adalah dengan memanfaatkan majas atau figurative language, yang merupakan bahasa kiasan atau gaya bahasa. Setiap orang tentu ingin mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan sejelas mungkin kepada orang lain. Kadang-kadang dengan kata-kata belumlah begitu jelas untuk menerangkan sesuatu; oleh karena itu dipergunakanlah persamaan, perbandingan serta kata-kata kias lainnya.
e.Versifikasi
Setiap bentuk karya sastra mempunyai kandungan makna masing-masing. Versifikasi yang dimaksud disini yaitu bunyi dalam puisi yang menghasilkan rima dan ritma. Rima berarti persamaan bunyi yang menyangkut perpaduan bunyi konsonan dan vokal sedangkan ritma yakni pengulangan bunyi, tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah yang membentuk keindahan.
f.Tata Wajah Puisi
Dalam melihat suatu karya sastra, terutama sastra lisan mantera, dapat kita memperhatikan dari isi serta makna yang terkandung dalam puisi tersebut secara keseluruhan. Maka dapat kita menilai apakah puisi tersebut memberikan suatu perasaan pembaca kepada hal yang sifatnya sedih, bahagia, nasehat, kehidupan, cinta kasih, serta mengungkapkan suatu kegelisahan ataupun ketidakmenentuan pikiran terhadap perasaan penyair dan lain sebagainya.
Struktur kebahasaan (struktur fisik) puisi disebut pula metode puisi. Medium pengucapan maksud yang hendak disampaikan penyair adalah bahasa. Bahasa puisi bersifat khas. Di depan telah dinyatakan bahwa tipografi puisi berbeda dari prosa. Oleh sebab itu pemahaman terhadap puisi juga didasarkan atas makna tipografinya itu.
2.4.2Struktur batin/struktur dalam (deep structure)
struktur batin/struktur dalam merupakan susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis pada bagian struktur permukaannya, dengan mengungkapkan makna yang terkandung didalamnya dapat dianalisis melalui empat unsur hakikat puisi, yakni: tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention). Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.
I.A. Richards, seorang kritikus sastra yang terkenal telah menunjukkan kepada kita bahwa Suatu puisi mengandung suatu ”makna keseluruhan” yang merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu mengenai inti pokok puisi itu), perasaan-nya (yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau obyeknya), nada-nya (yaitu sikap sang penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat (yaitu maksud atau tujuan sang penyair), (Morris, 1964:617).
Dari keempat unsur atau ciri itu merupakan caturtunggal, satu sama lainnya sangat erat berhubungan. Berikut akan diuraikan secara satu persatu yaitu:
a.Tema atau makna (sense)
Makna yang dikandung oleh ”subject matter”, suatu puisi itulah yang kita maksudkan dengan istilah ”sense” atau ”tema”. Puisi yang mengandung suatu ”subject matter” untuk dikemukakan atau ditonjolkan; dan hal ini tentu saja tergantung kepada beberapa faktor, antara lain falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan, pendidikan sang penyair. Kiranya sangatlah sulit untuk mengerti bila ada sebuah puisi yang tanpa ”subject matter”. Hanya terkadang sang penyair sangat lihai menyelubung-menyelubungi sehingga para penikmatnya harus berusaha sekuat daya untuk mengungkapkannya. Di samping itu setiap puisi juga harus mengandung makna, sekalipun mungkin dalam beberapa puisi makna tersebut rada saru samar, terlebih pula kalau sang penyair begitu mahir mempergunakan ”figurative language” dalam karyanya. Agaknya dapatlah dipahami bahwa sia-sialah sang penyair menciptakan suatu puisi yang tanpa makna sama sekali.
b.Rasa (feeling)
Dalam karya sastra yang dihasilkan oleh pengarangnya, haruslah memiliki suatu rasa yang dapat dinikmati oleh pembaca. Suatu batasan tentang rasa dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan rasa atau feeling adalah ”the poet’s attitude toward his subject matter”, yaitu sikap sang penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya. Bila kita mengambil sebuah contoh yakni si A dan si B, tentu memiliki sebuah perasaan yang berbeda ketika melihat suatu karya sastra pada objek yang sama, namun dalam hal ini yang dihasilkan oleh kedua orang tersebut memiliki sikap yang berbeda terhadap karya sastra yang sama.
c.Nada (tone)
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan nada dalam dunia perpuisian adalah ”sikap sang penyair terhadap pembacanya”. Atau dengan perkataan lain : sikap sang penyair terhadap para penikmat karyanya. Nada dalam suatu puisi, akan ada sangkut-pautnya atau hubungannya yang erat dengan tema dan rasa yang terkandung pada puisi tersebut. Tentu dalam hal ini suatu karya sastra memiliki suatu nada yang memberikan suatu pada hal yang bersifat kegagalan sehingga terdapat rasa keangkuhan serta nada yang menggembirakan misalnya, kalau memang ada paduan yang sedemikian rupa.
d.Amanat (Intention)
Suatu hasil karya sastra oleh pengarangnya mempunyai maksud dan tujuan oleh pembaca atau penikmat karya sastra itu sendiri. Dapat kita katakan bahwa tujuan dan amanat yang terkandung pada karya sastra memiliki pandangan serta arahnya masing-masing. Suatu contoh yang dapat kita lihat yakni; kalau kebetulan sang penyair seorang guru, maka dengan sanjak-sanjaknya dia ingin mendidik para penikmat karya itu bersifat didaktis. Kalau sang penyair kebetulan seorang pendeta atau ulama, maka dengan karya-karyanya dia ingin membawa orang kepada jalan yang diridoi oleh Tuhan; lalu sanjak-sanjaknya bersifat religius. Begitu pula bila seorang filsuf penyairnya maka sanjak-sanjaknya bersifat filosofis, demikianlah seterusnya, bergantung pada sang penyair sendiri.
2.5Bentuk Sistem Perkawinan
Sesuai dengan sumber data yang terdapat pada naskah mantera mengenai bentuk perkawinan dalam suku Hindu Bali, yakni dalam kitab Manawa Dharma Sastra tersurat bentuk perkawinan yang tertulis dalam bahasa sansekerta yaitu sebagai berikut:
1.Brahma daiwasthathai warsah prajapat Wasetha swarah, gandharwo raksasaccaiwa paisacasca astamo dhamah.
(Manawa Dharma Sastra, III.27)
Artinya :
Adapun sistem perkawinan itu ialah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Rsi Wiwaha, Arsa Wiwaha, Prajapati Wiwaha, Asura Wiwaha, Gandarwa Wiwaha, Raksasa Wiwaha dan Paisaca Wiwaha.
2.Om sarve bhavantu sukhinah
Sarve bhavantu niramayah
Sarve bhadrani pasyantu
Ma kascid duhkha bhag bhavet
(Sloka Subhasita)
Artinya :
Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan,
semoga semuanya memperoleh kedamaian,
semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertian,
semoga semuanya terbatas dari penderitaan.
3.Samtusto bharyaya bharta
Bhartra tathaiwa ca,
Yasminnewa kule nityam
Kalyanam tatra wai dhruwam
(Weda Smrti III.60)
Artinya :
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan
istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya,
kebahagiaan pasti kekal.
4.Prajanartha striyah srstah
Samtanartham ca manawah,
Tasmat sadharano dharmah
Crutau patya sahaditah
(Weda Smrti IX.96)
Artinya :
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk
menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan; upacara
keagamaan karena itu ditetapkan dalam weda untuk
dilakukan oleh suami bersama istrinya.
5.Om iha iva stam ma vi yaustam visvam ayur vyasnutam
Krindantau putrair naptrbhih moda manau sve grhe
(Rg. Weda X.85.42)
Artinya :
“Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih Anugrahkanlah kepada pasangan pengantin ini senantiasa berbahagia, keduanya tiada terpisahkan, panjang umur, semoga pengantin ini dianugrahkan putra dan cucu yang memberikan penghiburan, tinggal dirumah yang penuh kebahagiaan”
Berdasarkan sumber data mengenai bentuk dalam perkawinan di atas, selain itu terdapat pula delapan bentuk sistem perkawinan, yakni dapat dijabarkan dan dijelaskan lebih lanjut pada hal-hal sebagai berikut :
1.Brahma Wiwaha;
Pemberian anak wanita kepada seorang pria akhli weda dan berperilaku baik dan setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah si wanita.
(Manawa Dharma Sastra, III. 27)
2.Daiwa Wiwaha;
Pemberian anak wanita kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa.
(Manawa Dharma Sastra, III. 28)
3.Arsa Wiwaha;
Perkawinan dilakukan karena atas kebaikan keluarga.
(Manawa Dharma Sastra, III. 29)
4.Preajapati Wiwaha;
Pemberian anak perempuan setelah berpesan dengan mantera ”Semoga kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama” dan setelah menunjukkan penghormatan (kepada penganten pria).
(Manawa Dharma Sastra, III. 30)
5.Asura Wiwaha;
Bentuk perkawinan ketika penganten pria telah memberi mas kawin menurut kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki.
(Manawa Dharma Sastra, III. 31)
6.Gandharwa Wiwaha;
Bentuk perkawinan suka sama suka antara seorang perempuan dengan pria.
(Manawa Dharma Sastra, III. 32)
7.Raksasa Wiwaha;
Bentuk perkawinan dengan cara menculik gadis secara paksa.
(Manawa Dharma Sastra, III. 33)
8.Paisaca Wiwaha;
Bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa atau dengan membuat bingung atau mabuk.
(Manawa Dharma Sastra, III. 33)
2.6Konsep tentang Adat Perkawinan Hindu Suku Bali
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan definisi di atas secara tegas dapat dikatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama (kerohanian). Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani, tetapi juga unsur batin atau rohani. Hal itu terbukti dalam kalimat membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Diketahui kaitannya dengan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila pertama.
Menurut I. Nyoman Arthayasa (2004) bahwa perkawinan itu adalah merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita ini haruslah mendapat izin dari kedua orang tuanya, perkawinan tidak boleh dilakukan karena paksaan atau pengaruh orang lain. Ini untuk menghindari terjadinya kerenggangan setelah menjalani hidup berumah tangga. Karena keberhasilan dalam perkawinan diantaranya adalah saling mencintai, saling bekerja sama, saling isi mengisi, bahu membahu dalam setiap kegiatan berumah tangga. Perkawinan agar dapat dipertanggungjawabkan kesyahannya, harus dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaannya dan dicatatkan berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Setiap manusia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase) dengan mengakui segala sesuatu terjadi karena berkah dan rahmat Tuhan, dan yang ada di muka bumi tidak ada yang kekal abadi selalu ada awal dan akhirnya. Oleh karenanya dalam perkawinan adat suku Hindu Bali sangat sakral dalam pelaksanaannya sehingga kita sebagai makhluk ciptaan-Nya agar senantiasa selalu bisa dan mampu mensyukuri segala sesuatunya, agar setiap perbuatan yang kita laksanakan mendapat ridha dari Tuhan dan dijauhkan dari segala ancaman kemarahan Tuhan “Ida Sang Hyang Widhi Wase” bagi umat Hindu.
Berkenaan dengan di atas bahwa perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang mendapatkan legalitas melalui hukum sehingga mereka dapat secara leluasa memenuhi kebutuhan sex mereka, tetapi lebih daripada itu perkawinan atau “Pewiwahan” identik dengan upacara yajna yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hukum agama dengan dasar persyaratan harus memenuhi ketentuan hukum agama atau dharma.
2.7Analisis Data
Dalam menganalisis suatu karya sastra lisan mantera, yakni dapat melalui beberapa proses pemberian makna yakni dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.Mengidentifikasi Unsur-Unsur Intrinsik Mantera
Dalam mengidentifikasi sebuah karya sastra mantera, tidak terlepas dari unsur-unsur intrinsik untuk dapat memberikan sebuah makna yang seutuhnya yang saling berhubungan atas unsur-unsur pembentuknya dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yakni pembentuk sebuah makna dilihat berdasarkan struktur lahir/struktur luar (surface structure), unsur-unsur pembentuk makna itu ialah : pengimajian, kata konkret, bahasa figuratifnya (majas), verifikasi, dan tata wajah puisi. Sedangkan unsur pembentuk makna sebuah karya sastra yang selanjutnya yakni dapat dilihat dari struktur batin/struktur dalam (deep structure), unsur-unsur pembentuk makna itu ialah : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention).
2.Menganalisis Unsur-Unsur Intrinsik Mantera
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya haruslah karya sastra di analisis (Hill, 1966:6). Dalam analisis itu karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentuknya, dengan demikian makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh (Hawkes, 1978:16). Di samping itu, sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya melalui unsur-unsur pembentuknya dan saling mempunyai hubungan di antaranya dengan keseluruhannya.
3.Mendeskripsikan Analisis Data
Upaya yang dilakukan dalam mendeskripsikan analisis data, yakni sebaiknya melakukan pembacaan secara cermat terhadap karya sastra lisan mantera serta mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu setiap unsur karya sastra lisan mantera tersebut dimasukkan kedalam setiap unsur-unsur pembentuknya sehingga memudahkan untuk menganalisisnya dan memberikan sebuah gambaran yang seutuhnya.
4.Mengklasifikasi Analisis Data
Dalam proses mengklasifikasikan ini, diperlukan sebuah pemahaman yang lebih teliti menyangkut isi dari sastra lisan mantera tersebut, kemudian untuk mendapatkan suatu makna yang terkandung pada karya sastra lisan tersebut, maka ketentuan-ketentuan untuk memberikan suatu batasan-batasannya sesuai dengan unsur-unsur pembentuknya, sehingga tidak menemukan suatu kesalahan dalam pemaknaannya.
5.Menyimpulkan
Setelah proses dari keseluruhan di atas, telah memberikan hasil penguraiannya sesuai dengan bentuk yang terdapat pada sastra lisan tersebut, maka upaya untuk memberikan suatu kesimpulan sangat diperlukan. Oleh karena, dalam menginterpretasikan suatu bentuk karya sastra khususnya sastra lisan, harus mampu memberikan gambaran yang seutuhnya melalui proses menyimpulkan, sehingga mampu mempunyai makna secara keseluruhan yang utuh.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan suatu metode yang dianggap cocok dan relevansi dengan permasalahan yang ada yakni; metode deskriptif. Arikunto (1993:795) mengatakan ”penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai gejala menurut apa adanya. Pada saat penelitian dilakukan melalui metode ini, peneliti menggambarkan apa adanya tentang persepsi atau pandangan masyarakat terhadap makna struktur mantera dalam pelaksanaan adat perkawinan suku Hindu Bali.
3.2Pendekatan
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur seperti tersebut di atas. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya secara keseluruhan di tentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya, yang unsur-unsurnya atau bagian-bagiannya saling erat berjalinan yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1987 : 119-127).
Sehubungan dengan hal di atas yakni dalam penelitian ini menggunakan pendekatan struktural. Tiap unsur dibicarakan sendiri secara teoretis, yang maksudnya untuk meneliti setiap unsurnya secara mendalam mengenai guna dan efek maknanya terhadap struktur mantera tersebut. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung. Jadi struktur ini bukanlah apa yang kita lihat dan kita dengar dalam kenyataannya, akan tetapi struktur tersebut dapat kita ketahui, kita abstraksikan, dari berbagai gejala yang nyata, yang secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane, 1970 : 67-69).
3.3Sumber Data
1.Sumber data dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di desa Bongo III, Kec. Wonosari, Kab. Boalemo yang dianggap sebagai informan dan dapat memberikan penilaian terhadap pelaksanaan perkawinan adat suku Hindu Bali.
2.Tempat pelaksanaan perkawinan adat suku Hindu Bali sebagai objek penelitian untuk melakukan perekaman, dokumentasi, observasi dan wawancara.
3.4Populasi dan Sampel
1.Populasi
Wahyu dan Marzuki (1984:50) mengatakan bahwa populasi adalah kumpulan objek penelitian. Selanjutnya Semi (1993:40) berpendapat bahwa populasi merupakan kumpulan terbesar dari orang atau satuan yang diteliti.
Berdasarkan kedua pendapat di atas populasi bisa saja merupakan kelompok masyarakat, pembaca sastra, sejumlah naskah dan lain-lain.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Desa Bongo III, Kec. Wonosari, Kab. Boalemo.
2.Sampel
Sampel yang diambil dalam penelitian adalah sesuai penarikan dari populasi untuk mewakili seluruh populasi (Sukrahmat, 1986:930) untuk itu yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat Desa Bongo III yang telah ditetapkan dengan jumlah berkisar 25 orang.
3.5Teknik Penelitian
3.5.1Teknik Pengumpulan Data
Mengingat judul penelitian adalah makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan suku Hindu Bali maka akan diadakan pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, teknik rekaman dan dokumentasi dan, teknik analisis data wawancara.
3.5.2Teknik Observasi
Teknik observasi dilaksanakan dalam penelitian ini untuk mengenal wilayah penelitian yang sebenarnya, mengenai keadaan dan situasi yang terdapat dalam lapangan dalam penelitian nantinya serta untuk menentukan informan yang dapat memberikan tanggapan tentang struktur dan makna religius puisi lisan mantera pada pelaksanaan upacara adat perkawinan Hindu suku Bali.
Dalam teknik observasi ini, untuk memperoleh data yang sah, maka ditetapkan informan dengan ketentuan sebagai berikut :
1)Mengetahui tentang keberadaan mantera dalam upacara perkawinan.
2)Mempunyai peranan baik pada pelaksanaan maupun di luar pelaksanaan upacara dimaksud.
3)Masih berfungsi pendengarannya serta fasih ucapannya.
4)Berumur antara 30 – 50, dengan jumlah informan yang ditetapkan untuk dapat menyempurnakan pada sumber data yang akan di analisis.
3.5.3Teknik Wawancara
Teknik wawancara dilaksanakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan suku Hindu Bali secara memadai dan akurat sehingga data yang diperoleh merupakan data yang valid.
3.5.4Teknik Rekaman dan dokumentasi
Teknik rekaman dilakukan dalam penelitian ini karena untuk mendapatkan informasi yang akurat, benar untuk dijadikan sebagai data yang akan dianalisis dan teknik dokumentasi untuk memberikan kepercayaan kepada pembaca terhadap informasi yang diperoleh dan memperkuat data yang didapat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1Profil Desa (Gambaran Umum Lokasi Penelitian)
4.1.1Sejarah Singkat
Awalnya desa Bongo III merupakan lokasi penempatan transmigran di Kecamatan Paguyaman Kabupaten Gorontalo Provinsi Sulawesi Utara pada Tahun 1979. Desa ini memiliki 2 nama berbeda berdasarkan 2 materi yaitu menurut surat keputusan menteri dalam negeri tahun 1980 diberi nama desa sejahtera. Namun yang paling lazim disebut oleh masyarakat serta pemerintah setempat adalah Bongo III.
Desa ini memiliki 3 dusun, yaitu dusun karya agung, karya galuh dan karya baru yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sub A, Sub B, Sub C. Pada tahun 1980 terbentuk pemerintah desa definitive dengan adanya pemilihan kepala desa pertama dan yang terpilih adalah bapak Suwarno.
Seiring dengan Undang-Undang No 22 dan 25 Tahun 1999 tentang otonomisasi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta pemekaran Provinsi Gorontalo pada tanggal 16 Febuari 2001 maka wilayah Desa Bongo III sudah masuk pada pemerintahan Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Kemudian desa ini juga dimekarkan lagi menjadi 3 desa yaitu Dusun Karya Agung/Sub A menjadi Desa Bongo III, Dusun Karya Galuh/Sub B dimekarkan menjadi Desa Dimito dan Dusun Karya Baru/Sub C dimekarkan menjadi Desa Suka Mulya.
Kecamatan Wonosari sekarang menjadi KTM (Kota Terpadu Mandiri) yang diresmikan oleh Bapak Wakil Presiden RI yaitu Bapak Yusuf Kalla pada tanggal 18 juli 2008, dengan adanya KTM ini Desa Bongo III sudah menjadi Kota Terpadu Mandiri.
Desa Bongo III sendiri terbagi atas 3 dusun yaitu Desa Karya Agung I, II, dan III. Adapun masyarakat Desa Bongo III memiliki suku yang berbeda-beda, yang terdiri dari suku Jawa Timur, Jawa Barat, Bali dan Gorontalo.
4.1.2Keadaan Geografis
A.Kondisi Objektif Lokasi
1.Batas Wilayah
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pangea
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Harapan
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bongo II
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Dimito dan Suka Mulya
2.Keadaan Alam
Luas Wilayah : 1.026 Ha
Perumahan dan Pekarangan : 416 Ha
Perkebunan : -
Pertanian : 610 Ha
B.Potensi Desa Bongo III
1.Potensi Sumber Daya manusia
@ Kependudukan
Jumlah penduduk laki-laki : 1173 Jiwa
Jumlah penduduk perempuan : 720 Jiwa
Jumlah total : 1893 Jiwa
Jumlah KK : 445 Jiwa
@ Pendidikan
Rata-rata penduduk Desa Bongo III tingkat pendidikannya variatif. Mulai dari tingkat SD, hingga tingkat pendidikan sarjana (S1) hal ini dapat dilihat dengan beragamnya tingkat pendapatannya masyarakat dari berbagai sektor kegiatan yang memerlukan keahlian yang menunjang kegiatan tersebut.
2. Potensi Kelembagaan
@ Lembaga Pemerintahan (Pemerintah Desa)
Jumlah Aparat : 5 Orang
Jumlah Dusun : 3 Dusun
Jumlah RT : 13 RT
Badan Perwakilan Desa (BPD) : 7 Orang
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) : 5 Orang
@ Lembaga Kemasyarakatan:
Organisasi Perempuan : PKK
Organisasi Kepemudaan : OPB III
Bina Keluarga Remaja : BKR
Bina Kelurga Balita : BKB
Bina Keluarga Lansia : BKL
Pengajian Al-Fatt
Umumnya penduduk Desa Bongo III bekerja sebagai petani, namun ada juga yang bergerak di bidang lain, dan hal ini dapat dilihat dari tingkat kehidupan penduduk Desa Bongo yang bervaratif.
4.1.3Keadaan Penduduk
4.1.3.1Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi
Desa Bongo III terdiri dari 3 dusun yang masyarakatnya majemuk, dilihat dari tingkat pendidikannya yang bervariasi sehingga masyarakatnya kritis terhadap segala perubahan. Tingkat ekonomi masyarakat Desa Bongo III pada umumnya tergantung pada sektor pertanian, hal ini dapat dilihat dari mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar adalah petani. Selain itu ada juga masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti PNS dan pengusaha.
Masyarakat desa Bongo III ramah dan baik hati serta sangat teguh pada Adat Istiadat sesuai dengan budaya daerah sehingga memperkaya budaya desa yang mengarah pada persatuan dan kesatuan. Dilihat dari segi agama masyarakat Desa Bongo III sangat plural tetapi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama.
Sehubungan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Bongo III ini, maka dalam penelitian ini akan diuraikan tentang kehidupan masyarakat yang menyangkut tentang:
1)Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Desa Bongo III, bila dilihat dari segi agama masyarakat desa Bongo III sangat plural tetapi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama. Desa Bongo III terdiri dari tiga agama yaitu : Islam, Kristen dan Hindu. Masyarakat desa Bongo III yang beragama Islam 72,64 %, agama Hindu 27,31 %, dan Kristen 0,05 %. Dengan masyarakat yang beragam etnis di Desa Bongo III selama ini memiliki persatuan dan kesatuan diantara sesamanya, agama dan kepercayaan masing-masing yang dijalankan dan dipelihara dengan baik dan benar tanpa mengurangi nilai budaya yang ada di kalangan masyarakat Bongo III.
Kegiatan untuk menjaga keharmonisan diantara umat yang ada di Desa Bongo III ini selalu menjaga nilai-nilai agama, dan hal ini selalu diarahkan oleh para tokoh agama untuk menginisiatifkan membentuk sebuah kelompok-kelompok pengajian di Mesjid dan di rumah-rumah bagi umat Islam, sedangkan umat Hindu diadakan setiap purnama dan tilem (bulan mati) dan bagi umat Kristen melakukan ibadah di Gereja setiap minggu kebaktian di rumah-rumah. Oleh karena itu untuk menunjang segala pelaksanaan kegiatan keagamaan, disediakannya berupa fasilitas tempat ibadah yakni terdapat dua Mesjid, tiga Pura, dan satu Gereja, sehingga semua aktivitas umat dapat berjalan sesuai dengan harapan.
Kondisi yang nampak terhadap keberadaan agama Hindu yang ada di Desa Bongo III ada pada saat ini, masih berjalan sesuai dengan adat yang berlaku sebagaimana mestinya. Kegiatan-kegiatan terhadap pelaksanaan upacara adat, selalu diwarnai dengan kesadaran dalam kebersamaan oleh Umat Hindu dalam setiap proses penyelesaiannya. Begitupun dengan kehidupan sastra lisan Hindu di Desa Bongo III, hingga dengan saat ini berjalan secara dinamis. Hal tersebut di tunjukkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan masih sangat kental untuk selalu di kembangkan terhadap masyarakat setempat. Sehingga semua aktivitas dalam mengembangkan segala sesuatunya yang menunjukkan nilai positif masih berjalan secara normal.
2)Pendidikan
Tingkat pendidikan yang ada di desa Bongo III sangat bervariasi. Bahkan tingkat pendidikan orang tua sebagian besar hanya tamatan SD, bahkan ada yang tidak lulus SD, maupun tidak pernah mengenal sekolah sama sekali, yang akhirnya mereka belum tahu membaca. Dengan adanya Program penuntasan Buta Aksara ini maka tingkat KF berkurang. Tetapi tingkat pendidikan anak mengalami kemajuan dari tingkat pendidikan orang tuanya. Sekarang tingkat pendidikan anak sudah lebih baik karena adanya sarana dan prasarana yang lebih baik dan mendukung proses pendidikan yang berada di Desa Bongo III.
Adapun fasilitas yang mendukung proses pendidikan yaitu dengan usaha pemerintah daerah untuk mendirikan sekolah-sekolah lanjutan sampai perguruan tinggi, yang dibuka oleh fakultas ilmu pendidikan yang disebut dengan kelas jauh. Dengan adanya kelas jauh ini maka masyarakat Desa Bongo III dan masyarakat Wonosari pada umumnya merasakan kemudahan pendidikan perguruan tinggi.
3)Mata Pencaharian
Secara ril dan fakta di lapangan bahwa masyarakat Desa Bongo III, rata-rata bermata pencaharian petani yaitu petani kebun atau petani lahan kering dan ada juga petani sawah serta sebagian dari masyarakat bermata pencaharian petani ternak. Patani ternak yang ada adalah ternak sapi bali dengan cara pemeliharaan secara tradisional sehingga mengahasilkan sapi yang gemuk dan cepat diperoleh hasilnya selama enam bulan lamanya penggemukan sapi.
Untuk petani sawah dan ladang yang dilakukan masyarakat Desa bongo III mengalami kendala yang rumit dihadapi jika ada musim panas, sehingga sistem pertanian di Desa Bongo III untuk memperoleh hasil yang dicapai setiap panen dan untuk cara bertanamnya adalah menunggu penanaman pada musim hujan.
Dengan adanya pengetahuan dan pengalaman, masyarakat Desa Bongo III bisa mendirikan suatu usaha wirausaha seperti membuka Bengkel Mesin, MEBEL, dan Air Isi Ulang.
4.2Hasil Penelitian
4.2.1Mantera dalam Upacara Perkawinan
Suatu perkawinan menurut Hindu, yakni dapat dilakukan melalui beberapa susunan secara berurutan berdasarkan tahapan-tahapan prosesnya. Setiap proses yang dilakukan memberikan arti serta tujuan tersendiri berdasarkan tahapan-tahapan yang dilalui. Adapun tahapan yang akan dilalui dalam proses upacara adat perkawinan Hindu Suku Bali yakni sebagai berikut :
1.Pembersihan (dilakukan oleh Pemangku Adat)
2.Memohon Tirta (untuk memulai proses pelaksanaan Awal)
3.Durmanggala (Mengeluarkan segala yang tidak diinginkan maupun di alam semesta ini, mengeluarkan kotoran supaya menjadi bersih)
4.Meprayascitha (Membakar segala hal di dalam tubuh terhadap anak remaja yang akan beranjak menjadi ke alam tua)
5.Mebiyukala (Kandungan-kandungan dalam tubuh mencari bibit “Keturunan” yang baik yang di juluki werdiputra listu ayu)
6.Trishandya (Sembahyang kepada leluhur)
Keenam tahapan dalam proses perkawinan menurut Hindu di atas, merupakan susunan yang digunakan selama ini dan tidak dapat dihilangkan salah satu diantaranya oleh masyarakat di Desa Bongo III, Kecamantan Wonosari, Kabupaten Boalemo.
Sesuai dengan keenam tahapan yang dimaksud, dalam proses terhadap pelaksanaan upacara perkawinan menurut Umat Hindu Suku Bali, adapun penguraian mengenai tahapan mantera pada upacara adat perkawinan Hindu suku Bali, serta arti yang dikandungnya yakni sebagai berikut :
I.Pembersihan
Memakai segau dengan tepung tawar (beras biasa) diberikan daun dadap dengan sirih.
Manteranya :
Om trane taru late kebareta, kelinusan dening angin ang ngampehang, Sakuwehing dasa mala rega, rage sebel kandel baktanmu,
Om ksama sampurna ya namah swaha.
Artinya :
Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), singkirkanlah dari segala hal-hal yang menyangkut kotoran, sehinga dalam tubuh itu akan menjadi bersih baik jasmani maupun rohani.
Tujuannya:
Membersihkan unsur kedewataan, iswara, simbol warna hijau “kayu dadap”, (Kekuatan Dewa Siwa, Kresna dari segala Arda), yang warna putih berasal dari kekuatan Dewa Iswara, kekuatan Angin, yang bisa menerbangkan dari segala sesuatu yang bisa mengandung hal kekotororan baik jasmani maupun rohani.
II.Memohon Tirtha (Wedha Tirtha)
Menyiapkan air suci, api, bunga dengan beras (bija)
Manteranya :
1.Om gangga saraswaty sindhu wipace, kauciki nadi yamuna srayuce mahanadi, ya muna maha sresta srayuce mahanadi.
Om gangge saraswaty dewi gangga trangge samayuktram,
Om gangga dewi namastute.
2.Om gangga sindhu saraswaty sayamuna godowari, Narmada kawri srayu mahendara tanaya carmanwaty, Wenuka badre netrawaty mahasurenadi kayate, Caye ganaki puniyah purne jalah samudra saitah kerwantu temenggalem.
Om bhurbwah swah gangga pawitra,
Om sidhi guru srong sarosat sarwa pape, Sarwa roga sarwa satru sarwa klesa ya namah-namah swaha.
Om pancak saram mahatirtham pawitram papanam, Sanam papokoti sahisranam akadam bawet segarem.
Artinya :
1.Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), dimohon dari segala kekuatan air yang bersemayam di sungai Gangga, mengambil perwujudan dalam manifestasi air, yang memiliki kemampuan yang tak terhingga, seperti bentuk manifestasinya beliau sebagai penjuru alam semesta ini, dimohon juga restunya, mohon kesuciannya melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa, agar dapat membersihkan segala noda yang ada di bumi ini.
2.Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), kami memohon seluruh kekuatan air di sungai suci, di sungai gangga kami memohon, dengan melalui ucapan mantera, agar air dipegang oleh Mahadewa Saraswaty dalam wujud-Mu, dan air yang berada di sungai yamuna dimohon pula, yang di air sungai Saraswaty juga dimohon supaya menyatu menjadi alat penyuci terhadap segala hal yang mengandung makna kekotoran dari segala yang tidak baik di dalam tubuh seseorang sehingga menjadi suci dan peroleh ketentraman dalam hidup selamanya.
Tujuannya:
Sukla Swanita yang dimaksud kedua belah pihak berhubungan, sudah cinta sama cinta, yang akan menjalin hubungan, ibarat sebelum mengolah sawah (menanam benih kehidupan), segala kotoran yang tidak bersih, baik terhadap ucapan, pikiran kita, maupun perbuatan kita dapat dibersihkan, agar supaya menjadi baik masa depan.
III.Durmanggala
Proses pembersihan pertama memakai air dengan keenam segawu
Manteranya :
Om sangkala purwa sangkale praje sangkale pati sangkale suksema aje sira pati pepanjingan, pati peperet wengi, niki tadah sajen ngire pendek lawan prasibang bawang jae andah sira tur lunge menawi kirang tadahan niki jinah satak selawe, lawe satukal atagan sanak putun sire aje sire mewali muah pada wehana pada sidhi suwaha.
Artinya:
Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), kami mohon semua yang berasal dari segala penjuru (kala) adalah waktu, pada saat waktu ini kala maupun butha kami berikan upah (diberikan sesajen) supaya dia bisa keluar dari yang bersangkutan (pengantin) agar dia tidak kembali lagi, ibarat setan.
Ya dari segala penjuru tugas di timur, penjuru tugas di selatan, yang penjuru tugas di barat, di utara di tengah-tengah, ini kami mengasih hidangan berupa pendek dengan terasi merah, dan lauk pauk serta bawang dengan jahe, baru kekurang-kurangannya ini uang 225 kepeng dengan benang, dan bila kamu merasa kekurangan agar dapat dimaafkan dan dapat mencarinya sendiri, ajaklah anak dengan cucumu sesudah itu jagalah kami kembali lagi ke sini, dan berikanlah kehidupan yang hening, aman dan sejahtera sekian dan terima kasih.
Tujuannya:
Supaya tidak mengganggu karena sudah di kasi bekal supaya manusia aman dan tentram.
IV.Meprayascitha
Rangkaian dari pada tahapan dari orang tidak kenal menjadi kenal, mendapat pengakuan menjadi keluarga yang menyatu.
Manteranya:
Om parayascitha kare yegi catur warna wisen tayet catur warnanche puspadiem,
Om reng-reng biastawe semamam,
Om ang-ang brahma mungguh bungkahing ati angeseng saluwiring dasa mala teke geseng, geseng, geseng.
Om prayascitha subagiastu griya cepake gulingan menguwi,
Om sidhi rasthu ya namah swaha.
Artinya:
Ya Tuhan, sebagai sinar dan cahaya bisa membakar seperti api dengan empat warna; putih, merah, kuning, dan hitam juga bisa membakar sepuluh noda, sepuluh unsur kenodaan bisa juga dibakar, agar menjadi sempurna secara jasmani maupun rohani, bisa dibakar olehnya menjadi bersih, tanpa ada noda apapun yang bersifat kekotoran dan dapat menjadi debu, bersih dan sempurna, agar mereka menyatu, memperoleh kedamaian, ketentraman, serta kebahagian, sehingga mereka memperoleh kehidupan yang langgeng, (menimbulkan kebersihan tanpa ada bekasnya).
Tujuannya:
Membebaskan segala kekotoran Skala (yang bisa dilihat oleh mata) maupun Niskala (tidak bisa dilihat oleh mata biasa), terbakar hangus menjadi bersih, sehingga merasa tentram, dan memperoleh kelanggengan. (yang di upacarai “Pengantin”).
V.Mebiyakala
Tingkat upacara yang besar, bentuk permohonan kehadap Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wase), dengan segala kekuatannnya, agar terbebaskan dari segala yang bersifat negatif kepada kedua mempelai.
Manteranya:
Om pekulun sang kala kali, puniki ta pabyakala nira sang jaya mana, katur ring sang kala kali, sira ta reka pakulun, angeluarana sakueh ikang kala kecarik, kala pati, kala lara, kala karogan, kala ujar, kala pepengan, kala gringgingan, kala sepetan, kala kecangkingan, kala brahma, kala undar-andir, mekadi sekueh ikang kalawigena, keluarana denira Bhatara Siva, mekadi betara-betari, lah sama matasang kala-kali, mundure sedulur maring ipun sang abaya kala, den ipun anutugaken tuwuh, tunggunan denire Sang Hyang Premane, katekensasi nadyanipun.
Om sidirastu ya namah swaha.
Artinya :
Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), engkau yang berwujud sebagai Sang kala kali, kala adalah laki, kali adalah perempuan, baik engkau dalam perwujudan siapapun yang bersifat kala itu agar dapat keluar semuanya, yang bersifat kala kecarik, kala pati, kala lara, kala kerogan, kala ujar, kale pepengan, kale geringgingan, kale sepetan, kala kecangkingan, kala brahmana, kala undar andir. (Kecarikan = sudah hampir habis, pati = yang membawa kehidupan, lara = yang membawa penyakit, kerogan = bersifat banyak seperti banyak mulut/suara, ujar yang membawa bicara keras, pepengan = kalau bangun itu tidak enak, geringgingan = tidak mau cepat mengambil apapun, berangan-angan, berfikir, sepetan = tukang bersih ibarat sikat, kecangkingan = membawa sakit bermunculan berair, posisi dalam kulit di luar daging, Brahman = sifatnya pedis, membakar, merah, undar – andir = tidak menentu kesana kemari), Semuanya yang bersifat kalawigena; segala godaan dan segala penyakit, oleh Bhatara Siwa dua unsur ini agar dapat dikeluarkan (wujud dari pelebur), yang mengambil perwujudan sebagai betara betari, Dewa Siwa agar dapat mengusir segala yang bersifat godaan dan mengeluarkan segala kotoran baik pikiran, ucapan, maupun perbuatan, kepada kedua mempelai sehingga menjadi sempurna lahir dan bathin. (mebiyekala)
Tujuannya :
Karena mencari benih-benih yang unggul, bisa untuk dipakai terus-menerus, supaya bibit unggul itu betul-betul menjadi yang terbaik, oleh karena mencari bibit keturunan supaya tidak menjadi asal-asalan (anak keturunan), atau supaya orang tuanya juga supaya tidak menjadi asal-asalan.
VI.Sajen Segehan
Manteranya:
1.Om webekh segara webekh danu, webekh banyu, webekh paramaning ulun.
2.Om bukti hantu durgaketane
Om bukti hanta kala mewance
Om buhta butangga
Om butha hanta butha butanam
Om swasty – swasty sarwa butha sukha pradana pretebyah ya namah swaha
Arinya :
Ini kami memberikan sebuah minuman berupa tiga jenis alkohol yang mentah (tuak), yang masak (air), serta air tepesan. Agar engkau tidak kembali menggangu dan dapat memberikan ketenangan kepada kami.
Ya segala unsur dari maha butha, ini kami memberikan / menghaturkan berupa sajen berbentuk nasi dengan lauk pauk, bawang jahe, makanlah dengan tenang, minumlah dengan tenang, sesudah makan dan minum, janganlah mengganggu kami, dan pulanglah engkau ke asal semulamu dengan tenang, sekian dan terima kasih.
4.3Pembahasan
4.3.1Makna Struktur Mantera Dilihat Dari Struktur Lahir/Struktur Luar (Surface Structure) dan Struktur Batin/Struktur Dalam (Deep Structure)
4.3.1.1Makna Struktur Mantera Pada Upacara Adat Perkawinan Hindu Suku Bali Dilihat Dari Struktur Lahir/Struktur Luar (Surface Structure)
Mantera termasuk puisi lama. Untuk mengkaji mantera dapat dianalisis dari berbagai pendekatan. Salah satunya adalah melalui pendekatan makna struktural. Dalam pendekatan makna struktural maka dapat dikaji dari berbagai unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu ialah: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah puisi (dalam Guntur Tarigan, Henry 1998:29-39).
Pada proses penganalisisan ini, penulis hanya membatasi pada hasil terjemahan terhadap sastra lisan “Mantera”. Adapun analisis dari keenam unsur yang membentuk unsur estetik suatu karya sastra lisan “Mantera” tersebut yakni sebagai berikut :
1.Diksi/Pilihan Kata
Pada Tahap I Pembersihan
“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), “singkirkanlah” dari segala hal-hal yang menyangkut “kotoran”, sehinga dalam tubuh itu akan menjadi bersih baik jasmani maupun rohani”.
Pada kalimat-kalimat di atas, diksi yang tampak yakni terdapat pada kata “singkirkanlah” dan kata “kotoran”. Kata “singkirkanlah” mempunyai maksud agar dijauhkan/disirnakan dari segala hal-hal yag sifatnya memiliki unsur negatif pada diri atau tubuh seseorang. Sedangkan kata “kotoran”, yakni yang dimaksud disini sesuatu yang bersifat noda/dosa yang dimiliki oleh seseorang dan bukan sebaliknya bahwa kata “kotoran” dimaknakan dengan sebuah sampah.
Pada Tahap II Memohon Tirtha (Wedha Tirtha)
1. “Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), dimohon dari segala kekuatan air yang “bersemayam” di sungai Gangga, mengambil perwujudan dalam manifestasi air, yang memiliki kemampuan yang tak terhingga dan segala bentuk manifestasinya beliau sebagai penjuru alam semesta ini, dimohon juga restunya, mohon kesuciannya melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa, agar dapat membersihkan segala noda yang ada di bumi ini”.
Pada kalimat di atas terdapat diksi yakni pada kata “bersemayam”. Kata tersebut memiliki arti “berkediaman” atau yang berada, dan tinggal di sungai Gangga. Dalam pengertiannya, yang berada dan tinggal di sungai Gangga tersebut, yakni sebagai perwujudan Dewi Saraswaty dalam manifestasi air.
Pada Tahap II nomor 2
2. “Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), kami memohon seluruh kekuatan air di sungai suci, di sungai gangga kami memohon, dengan melalui ucapan mantera, agar air dipegang oleh Mahadewa Saraswaty dalam wujud-Mu, dan air yang berada di sungai yamuna dimohon pula, yang di air sungai Saraswaty juga dimohon supaya “menyatu” menjadi alat penyuci terhadap segala hal yang mengandung makna kekotoran dari segala yang tidak baik di dalam tubuh seseorang sehingga menjadi suci dan peroleh ketentraman dalam hidup selamanya.
Kalimat di atas terdapat kata “menyatu”, pilihan kata “menyatu” tersebut di artikan sebagai suatu kekompakan, kebersamaan, namun kedua kata tersebut tidak dapat digunakan / digantikan pada kata “menyatu”, dan hal ini mengakibatkan unsur estetik dalam puisi tersebut akan hilang. Kata menyatu tersebut bermaknakan bahwa tidak hanya dalam satu manifestasi melainkan gabungan dari manifestasinya masing-masing dalam perwujudan air yang dianggap dapat menyucikan dari hal-hal yang tidak baik sehingga kehidupan seseorang yang dimaksud peroleh ketentraman dalam hidupnya.
2.Imaji/Pengimajian
Imaji yang dimaksud di sini bersifat kepada hal-hal yang dapat lebih dirasakan oleh pembaca, dapat melihat, mendegar, menyentuh, bahkan mengalami segala sesuatunya yang terdapat pada karya sastra yang dibacanya. Sehingga segala yang dirasa atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery imaji (dalam Guntur Tarigan, Henry 1984:30).
Pada Tahap I
“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), singkirkanlah dari segala hal-hal yang menyangkut kotoran, “sehinga dalam tubuh itu akan menjadi bersih baik jasmani maupun rohani”.
Kalimat di atas terdapat suatu imaji yakni sesuatu yang dapat kita rasakan, raba/sentuh (imaji taktil), yang dapat ditunjukkan pada kalimat “sehinga dalam tubuh itu akan menjadi bersih baik jasmani maupun rohani”. Kalimat ini memberikan suatu hal yang mampu dirasakan oleh pembaca (imaji taktil), bahwa dengan memohon kehadapan Yang Kuasa, dapat membersihkan yang bersifat kotoran, sehingga merasakan bahwa diri seseorang tersebut akan terbebaskan oleh hal-hal yang bersifat noda/dosa.
Pada Tahap II Memohon Tirtha (Wedha Tirtha)
1.“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), dimohon dari segala kekuatan air yang bersemayam di sungai Gangga, mengambil perwujudan dalam manifestasi air, yang memiliki kemampuan yang tak terhingga seperti bentuk manifestasinya, beliau sebagai penjuru alam semesta ini, dimohon juga restunya, mohon kesuciannya “melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa, agar dapat membersihkan segala noda yang ada di bumi ini”.
Pada kalimat di atas yang berbunyi “melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa, agar dapat membersihkan segala noda yang ada di bumi ini”. Kalimat tersebut termasuk dalam imaji taktil atau sesuatu yang dapat dirasakan. Secara keseluruhan kalimat-kalimat tersebut, memiliki simbol-simbol tersendiri terhadap masing-masing manifestasinya yang dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan restunya, agar dapat membersihkan diri seseorang (kedua mempelai) dari segala dosanya yang dipercayakan melalui air suci.
Pada Tahap III Durmanggal
“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), kami mohon semua yang berasal dari segala penjuru (kala) adalah waktu, pada saat waktu ini kala maupun butha kami berikan upah (diberikan sesajen) supaya dia bisa keluar dari yang bersangkutan (pengantin) agar dia tidak kembali lagi, ibarat setan.
Ya dari segala penjuru tugas di timur, penjuru tugas di selatan, yang penjuru tugas di barat, di utara di tengah-tengah, “ini kami mengasih hidangan berupa pendek dengan terasi merah, dan lauk pauk serta bawang dengan jahe, baru kekurang-kurangannya ini uang 225 kepeng dengan benang”, dan bila kamu merasa kekurangan agar dapat dimaafkan dan dapat mencarinya sendiri, ajaklah anak dengan cucumu sesudah itu jagalah kami kembali lagi ke sini, dan berikanlah kehidupan yang hening, aman dan sejahtera sekian dan terima kasih”.
Kalimat-kalimat yang tertera di atas, yakni pada kalimat “ini kami mengasih hidangan berupa pendek dengan terasi merah, dan lauk pauk serta bawang dengan jahe, baru kekurang-kurangannya ini uang 225 kepeng dengan benang”. Kalimat-kalimat ini tergolong dalam imaji visual (benda yang nampak), hal ini dapat dibuktikan dengan menunjukkan kata-kata seperti hidangan yang disajikan berupa pendek, terasi merah, lauk pauk serta bawang dengan jahe, serta uang 225 kepeng, sehingga secara langsung pembaca dapat merasakan secara nampak terhadap sesaji yang diberikan. Sesaji tersebut diberikan / disuguhkan terahadap unsur alam maya yakni terhadap bhuta kala (yang merupakan roh halus maupun roh kesasar/jahat), agar tidak menggangu karena sudah di kasi bekal dan sebaliknya agar dapat menjaga serta memberikan ketentraman bagi seseorang yang bersangkutan / yang akan mempunyai ikatan keluarga (Pengantin).
Pada Tahap IV Meprayascitha
“Ya Tuhan, sebagai sinar dan cahaya bisa membakar seperti api dengan empat warna; putih, merah, kuning, dan hitam juga bisa membakar sepuluh noda, sepuluh unsur kenodaan bisa juga dibakar, agar menjadi sempurna secara jasmani maupun rohani, bisa dibakar olehnya menjadi bersih, tanpa ada noda apapun yang bersifat kekotoran dan dapat menjadi debu, bersih dan sempurna, “agar mereka menyatu, memperoleh kedamaian, ketentraman, serta kebahagian”, sehingga mereka memperoleh kehidupan yang langgeng, (menimbulkan kebersihan tanpa ada bekasnya)”.
Kalimat di atas tergolong dalam imaji taktil yang dapat dirasakan dan dibuktikan dalam kalimat “agar mereka menyatu, memperoleh kedamaian, ketentraman, serta kebahagian”. Kalimat ini di percaya oleh masyarakat bahwa hanya dengan kekuatan Yang Kuasa sebagai Sang Pencipta, serta Pemurah Hati, dengan memohon secara sungguh-sungguh melalui perantara Pemangku Adat (yang menjalankan suatu rentetan pelaksanaan Upacara Perkawinan), dapat memberikan segala hal-hal yang baik, sehingga mereka memperoleh hidup yang langgeng, dijauhkan dari hal-hal yang sifatnya menggoda.
Tahap V Mebiyakala
“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), engkau yang berwujud sebagai Sang kala kali, kala adalah laki, kali adalah perempuan, baik engkau dalam perwujudan siapapun yang bersifat kala itu agar dapat keluar semuanya, yang bersifat kala kecarik, kala pati, kala lara, kala kerogan, kala ujar, kale pepengan, kale geringgingan, kale sepetan, kala kecangkingan, kala brahmana, kala undar andir. (Kecarikan = sudah hampir habis, pati = yang membawa kehidupan, lara = yang membawa penyakit, kerogan = bersifat banyak seperti banyak mulut/suara, ujar yang membawa bicara keras, pepengan = kalau bangun itu tidak enak, geringgingan = tidak mau cepat mengambil apapun, berangan-angan, berfikir, sepetan = tukang bersih ibarat sikat, kecangkingan = membawa sakit bermunculan berair, posisi dalam kulit di luar daging, Brahman = sifatnya pedis, membakar, merah, undar – andir = tidak menentu kesana kemari), Semuanya yang bersifat kalawigena; segala godaan dan segala penyakit, oleh Bhatara Siwa dua unsur ini agar dapat dikeluarkan (wujud dari pelebur), yang mengambil perwujudan sebagai betara betari, Dewa Siwa agar dapat mengusir segala yang bersifat godaan dan “mengeluarkan segala kotoran baik pikiran, ucapan, maupun perbuatan, kepada kedua mempelai” sehingga menjadi sempurna lahir dan bathin. (mebiyekala)”.
Kalimat di atas termasuk kedalam imaji taktil, yakni yang dapat dirasakan. Kalimat-kalimat tersebut membuktikan bahwa dalam diri seseorang selama hidupnya terdapat dosa baik yang terdapat dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan, agar dapat dilebur oleh Dewa Siwa, sehingga dapat mensucikan kembali tubuh mereka, serta memperoleh kesempurnaan lahir dan bathin.
3.Kata Nyata (the concrete word)
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh, maka kata konkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair (dalam J. Waluyo, Herman 1987:81).
Kata nyata atau kata konkret sangat erat hubungannya dengan kehadiran imaji dalam sebuah puisi. Melalui kata nyata, penikmat puisi dapat lebih dibangkitkan daya bayang atau imajinasinya (Tarigan, 1984:31). Untuk lebih jelasnya kata-kata nyata yang terdapat pada sastra lisan “Mantera” tersebut, yakni sebagai berikut :
Pada Tahap II Memohon Tirtha (Wedha Tirtha)
1. “Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), dimohon dari segala “kekuatan” air yang bersemayam di sungai Gangga, mengambil perwujudan dalam manifestasi air, yang memiliki kemampuan yang tak terhingga, seperti bentuk manifestasinya beliau sebagai penjuru alam semesta ini, dimohon juga restunya, mohon kesuciannya melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa, agar dapat membersihkan segala noda yang ada di bumi ini”.
Pada kalimat diatas terdapat kata “kekuatan”, kata ini telah memiliki ketepatan terhadap kesenjangan pada kalimat di atas. Kata “kekuatan” mempunyai arti lain yang mirip yakni kemampuan, kesaktian, namun tidak dapat digantikan dengan kedua kata tersebut, sehingga tidak menimbulkan keganjalan terhadap kalimat di atas.
Pada Tahap III Durmanggala
“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), kami mohon semua yang berasal dari segala penjuru (kala) adalah waktu, pada saat waktu ini kala maupun butha kami berikan upah (diberikan sesajen) supaya dia bisa keluar dari yang bersangkutan (pengantin) agar dia tidak kembali lagi, ibarat setan.
Ya dari segala penjuru tugas di timur, penjuru tugas di selatan, yang penjuru tugas di barat, di utara di tengah-tengah, ini kami mengasih hidangan berupa pendek dengan terasi merah, dan lauk pauk serta bawang dengan jahe, baru kekurang-kurangannya ini uang 225 kepeng dengan benang dan bila kamu merasa kekurangan agar dapat dimaafkan dan dapat mencarinya sendiri, ajaklah anak dengan cucumu sesudah itu jagalah kami kembali lagi ke sini, dan berikanlah kehidupan yang “hening”, aman dan sejahtera sekian dan terima kasih”.
Pada kalimat di atas, terdapat kata “hening”, yang mempunyai pengertian lain yakni, memperoleh ketenangan, , kedamaian, ketentraman terhadap kedua mempelai yang akan menjadi sebuah ikatan keluarga, sehingga yang nampak pada kalimat di atas, yakni kehidupan mereka agar dijauhkan dari hal-hal yang sifatnya menggoda.
4.Bahasa Figuratif/Majas
Suatu karya sastra lisan “Mantera”, dapat dimengerti dengan jelas oleh pembaca, ketika puisi tersebut dapat di perjelas melalui majas atau gaya bahasa, yang merupakan salah satu bagian struktur sebuah puisi. Sehingga dalam puisi tersebut dapat menciptakan keindahan dan dapat memperkuat makna yang dikandungnya.
Berikut dapat ditemukan jenis gaya bahasa dalam sastra lisan “Mantera”, yakni sebagai berikut :
Pada tahap II Memohon Tirtha (Wedha Tirtha)
1. “Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), dimohon dari segala kekuatan air yang bersemayam di sungai Gangga, mengambil perwujudan dalam manifestasi air, yang memiliki kemampuan yang tak terhingga, “seperti” bentuk manifestasinya beliau sebagai penjuru alam semesta ini, dimohon juga restunya, mohon kesuciannya melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa, agar dapat membersihkan segala noda yang ada di bumi ini”.
Pada kalimat di atas menggunakan majas perbandingan yakni terdapat kata “seperti”, kata tersebut memberikan makna bahwa yang memiliki kemampuan yang mengambil perwujudan air yakni dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswaty, yang dianggap mampu memberikan kesucian / membersihkan segala kotoran terhadap seseorang melalui segala sinar, segala cahaya, di segala rupa yang diibaratkan sebagai penjuru alam semesta ini oleh Umat Hindu.
Pada Tahap VI Sajen Segehan
“Ini kami memberikan sebuah minuman berupa tiga jenis alkohol yang mentah (tuak), yang masak (air), serta air tepesan”. Agar engkau tidak kembali menggangu dan dapat memberikan ketenangan kepada kami”.
Pada kalimat di atas dapat dikatakan majas pelambangan, seperti halnya kiasan, pelambangan yang digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana puisi sastra lisan “Mantera” lebih jelas. Kalimat tersebut yang berbunyi “Ini kami memberikan sebuah minuman berupa tiga jenis alkohol yang mentah (tuak), yang masak (air), serta air tepesan”. Ketiga jenis air ini, melambangkan bahwa suatu wujud rasa syukur seseorang (Pengantin) melalui perantara Pemangku Adat (Pelaksana dalam Upacara) terhadap unsur alam gaip yang sifatnya menggangu, karena telah disuguhkan / dihidangkan berupa ketiga jenis air tersebut, sehingga dapat memberikan kenyamanan, ketenangan, hidup tentram serta dapat menjaga kembali kehidupan mereka.
5.Versifikasi
Suatu karya sastra dapat dipahami, ketika suatu karya sastra lisan “Mantera”, mempunyai bunyi yang menghasilkan rima dan ritma, sehingga besar sekali pengaruhnya untuk memperjelas makna suatu puisi (dalam Guntur, 1984:34).
Istilah “Rima” merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Seperti halnya gaya suara rendah menimbulkan perasaan sedih, suara tinggi menimbulkan perasaan tidak menentu, namun kadang-kadang juga penuh kegembiraan. Sedangkan “ritma” sangat berhubungan dengan bunyi, kata, frasa, dan kalimat serta merupakan pertentangan bunyi tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, sehingga membentuk keindahan.
Perulangan bunyi atau rima yang cerah, ringan, menunjukkan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi disebut euphony. Biasanya bunyi-bunyi i, e dan a, merupakan –Pleasantiness of sound atau keceriaan bunyi itu.
Sebagai lawan dari euphony adalah cacophony, yaitu perulangan bunyi-bunyi yang berat, menekan, menyeramkan, mengerikan, biasanya bunyi-bunyi seperti itu diwakili oleh vokal-vokal o, u, e, atau diftong au.
Untuk lebih jelasnya unsur ritme dan rima dalam sastra lisan “Mantera” akan diuraikan sebagai berikut :
Rima akhir yang tampak pada sastra lisan “Mantera” pada bahasa sansekertanya yakni sebagai berikut :
Pada Tahap II Mohon Tirtha (Wedha Tirtha)
Om gangga sindhu saraswaty sayamuna godowari, Narmada kawry srayu mahendara tanaya carmanwaty, Wenuka badre netrawaty mahasurenadi kayate, Caye ganaki puniyah purne jalah samudra saitah kerwantu temenggalem.
Om bhurbwah swah gangga pawitra,
Om sidhi guru srong sarosat sarwa pape, sarwa roga sarwa satru sarwa klesa ya namah-namah swaha.
Om pancak saram mahatirtham pawitram papanam, Sanam papokoti sahisranam akadam bawet segarem.
Pada baris ke-6 terdapat pengulangan suku kata wa sebanyak 3 kali. Selain persamaan bunyi akhir, dalam setiap barisnya juga terdapat pengulangan bunyi yang serasi. Pengulangan itu tampak pada vokal a dan i. Pengulangan yang serasi vokal a dan i merupakan lambang rasa ceria, ringan yang menunjukkan keceriaan dan kebahagiaan, ini sangat erat dan mendukung hadirnya unsur rasa (feeling) seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Rima awal yang tampak pada sastra lisan “Mantera” pada bahasa sansekertanya yakni sebagai berikut :
Pada Tahap V Mebiyakala
“Om pekulun sang kala kali, puniki ta pabyakala nira sang jaya mana, katur ring sang kala kali, sira ta reka pakulun, angeluarana sakueh ikang kala kecarik, kala pati, kala lara, kala karogan, kala ujar, kala pepengan, kala gringgingan, kala sepetan, kala kecangkingan, kala brahma, kala undar-andir, mekadi sekueh ikang kalawigena, keluarana denira Bhatara Siva, mekadi betara-betari, lah sama matasang kala-kali, mundure sedulur maring ipun sang abaya kala, den ipun anutugaken tuwuh, tunggunan denire Sang Hyang Premane, katekensasi nadyanipun.
Om sidirastu ya namah swaha”.
Pada tahap V terdapat pengulangan kata “kala” sebanyak 13 kali dimulai dari baris ke I sampai dengan baris ke V.
Selanjutnya pada bagian-bagian yang dapat ditemukan pada puisi sastra lisan “Mantera” dalam kaitannya rima adalah aliterasi dan asonansi. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan, sedangkan asonansi adalah pengulangan bunyi vokal. Dalam teks yang terdapat pada karya sastra lisan “Mantera” dapat ditemukan penggunaan aliterasi maupun asonansi yang kesemuanya merupakan unsur yang memperindah suatu karya sastra itu sendiri terutama pada sastra lisan “Mantera” pada pelaksanaan upacara adat perkawinan Hindu suku Bali. (dalam J. Waluyo, Herman 1987:90).
Pada Tahap II Memohon Tirtha (Wedha Tirtha)
1. “Om gangga saraswaty sindhu wipace, kauciki nadi yamuna srayuce mahanadi, ya muna maha sresta srayuce mahanadi.
Om gangge saraswaty dewi gangga trangge samayuktram,
Om gangga dewi namastute”.
Pada Tahap II ini, memiliki pengulangan konsonan t serta terdapat pula pengulangan w dan s, yang memberikan efek/sugesti yang terkesan mengandang makna kedamaian ataupun menimbulkan perasaan/suasana ketentraman.
Pada Tahap IV Meprayascitha
“Om parayascitha kare yegi catur warna wisen tayet catur warnanche puspadiem,
Om reng-reng biastawe semamam,
Om ang-ang brahma mungguh bungkahing ati angeseng saluwiring dasa mala teke geseng, geseng, geseng.
Om prayascitha subagiastu griya cepake gulingan menguwi,
Om sidhi rasthu ya namah swaha”.
Pada tahap ini, tampak pengulangannya vokal (asonansi) berupa pengulangan vokal i, e, dan a, yang merupakan perlambangan rasa sayang, ceria, maupun perasaan bahagia (Tarigan, 1984:37).
6.Tata Wajah Puisi
Sehubungan dengan tata wajah puisi, bila diamati secara keseluruhan yang merupakan isi dari puisi sastra lisan “Mantera”, maka dapat kita nilai bahwa puisi sastra lisan “Mantera”, memberikan perasaan kepada pembaca oleh penyairnya mengandung suasana kebahagiaan, semuanya berjalan secara tulus ikhlas yang didasari dengan rasa cinta dan kasih sayang.
4.3.1.2Makna Struktur Mantera Pada Upacara Adat Perkawinan Hindu Suku Bali Dilihat Dari Struktur Batin/Struktur Dalam (Deep Structure)
1.Tema/Makna (Sense)
Dalam menentukan tema dalam suatu karya sastra lisan “Mantera”, maka tidak terlepas dari unsur perasaan seorang penyair, nada yang ditimbulkan, dan amanat yang hendak di sampaikan terhadap unsur-unsur pembentuknya, yang dapat menggambarkan sebuah pernyataan, dari nada yang ditimbulkannya seperti kebahagiaan, keceriaan, cinta kasih, kesetiaan, kegembiraan, dan lain sebagainya. Pernyataan batin dalam tema, perasaan nada dan amanat puisi juga tidak dapat dilepaskan dari struktur fisik (metode) puisi. Sebab itu, uraian tentang tema ini akan berkaitan dengan nada, perasaan, amanat dan juga bentuk fisik (metode) puisi. (dalam J. Waluyo, Herman 1987:106-121).
Berikut adalah uraian tema atau makna (sense) yang diungkapkan dalam sebuah karya sastra lisan “Mantera” yakni:
Pada Tahap IV Meprayascitha
“Ya Tuhan, sebagai sinar dan cahaya bisa membakar seperti api dengan empat warna; putih, merah, kuning, dan hitam juga bisa membakar sepuluh noda, sepuluh unsur kenodaan bisa juga dibakar, agar menjadi sempurna secara jasmani maupun rohani, bisa dibakar olehnya menjadi bersih, tanpa ada noda apapun yang bersifat kekotoran dan dapat menjadi debu, bersih dan sempurna, agar mereka menyatu, memperoleh kedamaian, ketentraman, serta kebahagian, sehingga mereka memperoleh kehidupan yang langgeng, (menimbulkan kebersihan tanpa ada bekasnya)”.
Pada kalimat di atas, menggambarkan seorang penyair terhadap kalimat-kalimat yang diutarakan, menunjukkan bentuk permohonan kehadapan Yang Kuasa secara garis vertikalnya. Dari uraian-uraian kalimat di atas seorang Pemangku Adat sebagai perantara untuk memohon kepada Yang Kuasa, agar dari orang yang tidak di kenal menjadi kenal. Sehingga mendapat pengakuan menjadi keluarga yang menyatu. Seperti yang di utarakan dalam kalimat “agar mereka menyatu, memperoleh kedamaian, ketentraman, serta kebahagian, sehingga mereka memperoleh kehidupan yang langgeng”. Dari uraian kalimat di atas yang merupakan pernyataan bahwa menunjukkan bentuk permohonan kehadapan Yang Kuasa, agar mereka memperoleh kehidupan yang langgeng, sehingga dapat diberi tema “sebuah kesetiaan” yang diwujudkan atas suka sama suka dan didasari dengan rasa cinta dan kasih sayang.
2.Rasa/Feeling
Rasa (feeling) merupakan suatu unsur yang dapat memperjelas untuk mengungkapkan dalam suatu karya sastra lisan “Mantera” yaitu sikap-sikap sang penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisinya. Biasanya perasaan yang menjiwai puisi tersebut dapat ditonjolkan seperti perasaan gembira, sedih, terharus, tersinggung, patah hati, sombong, tercekam, simpati (dalam Guntur Tarigan, Henry 1986:11-20).
Rasa (feeling) yang terdapat dalam sastra lisan “Mantera” dapat diuraikan berikut:
Pada Tahap V Mebiyakala
“Om pekulun sang kala kali, puniki ta pabyakala nira sang jaya mana, katur ring sang kala kali, sira ta reka pakulun, angeluarana sakueh ikang kala kecarik, kala pati, kala lara, kala karogan, kala ujar, kala pepengan, kala gringgingan, kala sepetan, kala kecangkingan, kala brahma, kala undar-andir, mekadi sekueh ikang kalawigena, keluarana denira Bhatara Siva, mekadi betara-betari, lah sama matasang kala-kali, mundure sedulur maring ipun sang abaya kala, den ipun anutugaken tuwuh, tunggunan denire Sang Hyang Premane, katekensasi nadyanipun.
Om sidirastu ya namah swaha”.
Pada kalimat di atas, dapat dijelaskan bahwa, seseorang mendapatkan pengakuan yang syah untuk menjadi ikatan keluarga yang menyatu, menurut kepercayaan Hindu, hal ini masih di anggap memiliki sifat-sifat kekotoran (dosa) terhadap kedua belah pihak, sehingga pada Tahap V Mebiyakala, yang merupakan tingkat upacara yang besar, dengan melalui perantara Pemangku Adat (Pinandite), dengan mewujudkan suatu permohonan kehadapan Yang Kuasa serta dari segala perwujudan yang bersifat alam maya, agar dapat menyatu memberikan restu kepada kedua mempelai, dapat menghilangkan segala bentuk godaan dan segala bentuk penyakit, sehingga memperoleh kesempurnaan baik dalam pikiran, ucapan, maupun perbuatan seseorang (kedua pengantin) secara lahir dan batin.
Dari penjelasan uraian di atas, maka rasa (feeling) yang terdapat pada karya sastra lisan “Mantera” yang di tonjolkan oleh sang penyair kepada pembaca yakni memberikan suatu perasaan senang, bahagia terhadap kedua pengantin yang dimaksud.
3.Nada/Tone
Untuk memberikan suatu wujud yang nampak dalam suatu karya sastra, maka nada (tone) sangat diperlukan untuk mengungkap suasana yang terdapat dalam puisi. Nada dalam perpuisian merupakan sikap sang penyair terhadap pembacanya, yang sekaligus mempunyai sangkut-paut atau hubungannya yang erat dengan tema dan rasa yang terkandung dalam puisi tersebut (dalam Guntur Tarigan, Henry 1986:18).
Adapun nada (tone) yang terdapat dalam karya sastra lisan “Mantera” yakni sebagai berikut:
Pada Tahap IV Meprayascitha
“Ya Tuhan, sebagai sinar dan cahaya bisa membakar seperti api dengan empat warna; putih, merah, kuning, dan hitam juga bisa membakar sepuluh noda, sepuluh unsur kenodaan bisa juga dibakar, agar menjadi sempurna secara jasmani maupun rohani, bisa dibakar olehnya menjadi bersih, tanpa ada noda apapun yang bersifat kekotoran dan dapat menjadi debu, bersih dan sempurna, agar mereka menyatu, memperoleh kedamaian, ketentraman, serta kebahagian, sehingga mereka memperoleh kehidupan yang langgeng, (menimbulkan kebersihan tanpa ada bekasnya)”.
Pada kalimat ini, “bisa dibakar olehnya menjadi bersih, tanpa ada noda apapun yang bersifat kekotoran dan dapat menjadi debu, bersih dan sempurna, agar mereka menyatu,”. apabila diamati secara nyata, maka pada kalimat di atas mengarah pada suasana permintaan kehadapan Yang Kuasa, sehingga nada (tone) yang ditonjolkan yakni suasana suatu wujud permohonan.
4.Amanat/Intention
Amanat (intention) merupakan salah satu unsur yang dapat memperjelas maksud dan tujuan dalam suatu karya sastra karena mengandung amanat/pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar. Amanat yang terkandung dalam suatu karya sastra lisan “Mantera” yakni sebagai berikut:
Pada Tahap III Durmanggala
“Oh Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wase), kami mohon semua yang berasal dari segala penjuru (kala) adalah waktu, pada saat waktu ini kala maupun butha kami berikan upah (diberikan sesajen) supaya dia bisa keluar dari yang bersangkutan (pengantin) agar dia tidak kembali lagi, ibarat setan.
Ya dari segala penjuru tugas di timur, penjuru tugas di selatan, yang penjuru tugas di barat, di utara di tengah-tengah, ini kami mengasih hidangan berupa pendek dengan terasi merah, dan lauk pauk serta bawang dengan jahe, baru kekurang-kurangannya ini uang 225 kepeng dengan benang, dan bila kamu merasa kekurangan agar dapat dimaafkan dan dapat mencarinya sendiri, ajaklah anak dengan cucumu sesudah itu jagalah kami kembali lagi ke sini, dan berikanlah kehidupan yang hening, aman dan sejahtera sekian dan terima kasih”.
Menurut kepercayaan umat Hindu Amanat yang terdapat pada kalimat di atas yakni menyarankan agar yang membuat suatu upacara perkawinan akan selalu ingat dan memberikan wujud rasa syukur terhadap unsur alam maya (gaib) yang sifatnya menggangu, terlebih kehadapan Yang Kuasa sebagai Sang Pencipta, bahwa apabila kita lupa mewujudkan rasa syukur kita baik kehadapan Yang Kuasa maupun yang bersifat alam maya (gaib), maka hal ini akan memberikan dampak kepada seseorang pengantin. sehingga hal tersebut tersebut yang di maksud di atas, di anggap dapat memberikan ketenangan dan tidak akan mendapatkan gangguan kepada kedua pengantin untuk seterusnya.
4.4Nilai Religius dalam Sastra Lisan “Mantera” Pada Upacara Adat Perkawinan Hindu Suku Bali
Upacara perkawinan merupakan suatu upacara manusia yajna terakhir yang wajib dilaksanakan oleh orang tua terhadap putra-putrinya. Upacara ini merupakan tahap awal memasuki Grhasthasrama (berumah tangga), yang dalam sudut pandang Veda merupakan tahapan kehidupan yang paling menentukan. Dalam berbagai susastra Veda juga disebutkan, kehidupan yang sesungguhnya ada pada masa berumah tangga.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Definisi tersebut sangat sejalan dengan wahyu suci brahman Atharvaveda VII.36.1, yang menyebutkan perkawinan sebagai penyatuan jiwa di antara kedua mempelai, sehingga menjadi satu jiwa di dalam dua badan. Istri adalah pengikat kasih suami, bagian yang tak terpisahkan dengan suami (dampati), karena dia adalah sigaring nyowo (belahan jiwa).
Agar dapat melaksanakan fungsi tersebut, setiap anggota keluarga dapat diistilahkan dengan kata abdi-pelayan dan warga (jalinan, ikatan), memiliki kewajiban untuk berperan aktif dalam jaringan pelayanan (seva) berdasarkan atas kasih sayang (prema). Selain bernafaskan kasih sayang, keluarga akan tetap kokoh jika disangga dengan enam hal berikut: sathya (kebenaran/kejujuran), rta (hukum), tapa (pengendalian diri), diksa (penyucian diri) brahma (doa), dan yajna (kurban suci), (Atharvaveda XII:1.1).
Sebuah karya sastra yang merupakan suatu hal yang banyak mengandung nilai-nilai dalam kehidupan seperti nilai sosial, moral, serta nilai didik yang dapat memberikan sebuah pengetahuan baru, seperti yang terdapat pada karya sastra yang berbentuk sastra lisan “Mantera”. Nilai – nilai tersebut sangat nampak yakni :
Nilai kesucian. Perkawinan diawali dengan upacara mebeakala atau beakaon yang bertujuan untuk mengusir kekuatan negatif yang ada di dalam diri kedua mempelai. Dengan upacara pekala-kalaan dilakukan penyucian benih masing-masing, sehingga kelak terlahir anak yang suputra.
Nilai kebersamaan. Pasangan suami istri tidak boleh mementingkan diri sendiri. Nilai ini secara simbolik dalam perkawinan dihadirkan dalam bentuk “madagang-dagangan”, yang mengandung makna kesepakatan untuk bersama-sama menghadapi segala resiko dari perkawinan itu. Suami memikul tanggung jawab menghidupi keluarga (dilambangkan dengan banten tegen-tegenan) dengan sepotong tebu dan batang dapdap) dan istri wajib memelihara benih dari suami serta keturunannya (dilambangkan dengan banten suwun-suwunan). (Tebu lambang Dewa Ganesha sebagai penolak rintangan, dan dapdap ‘Kayu Sakti’ lambang kekuatan).
Nilai Pengurbanan. Setelah memasuki dunia rumah tangga, kita baru akan benar-benar memahami bahwa hidup sesungguhnya adalah yajna. Yajna bukan sekadar ritual, tetapi merupakan basis etika, moralitas, dan spiritualitas Hindu. Sebagai pranata sosial yang pertama dan utama, keluarga dibangun dan dibesarkan dengan beraneka ragam swadharma terhadap masyarakat, negara, dan agama. Khusus untuk hubungan internal suami istri, pada tahap-tahap awal “harus lulus” menjalani masa transisi yang dikenal sebagai masa saling pengertian, dilanjutkan dengan penyesuaian diri.
Nilai kesetian. Dalam tradisi Veda setiap orang yang memasuki dunia grhasta selalu mengawali dengan ikrar kesetiaan (satya vrata) yang diucapkan oleh mempelai pria dan wanita. Dengan disaksikan oleh hadirin, mereka mengangkat sumpah : “satyeng laki-satyeng wadhu” di hadapan api suci perkawinan (Garhaspatya) (Rgveda X.85.36; Atharvaveda XIV.2.6.3, Sarasamuscaya 59). Para saksi juga turut ikut mendoakan agar mereka bisa menepati sumpahnya masing-masing, dalam kaitannya dengan kesetiaan, tercakup makna kejujuran dan tanggung jawab. Kedua kata ini merupakan perekat hubungan suami istri; jika keduanya meluntur, maka cepat atau lambat ikatan perkawinan itu pasti putus.
Nilai-nilai tersebut di atas merupakan suatu gambaran yang bertujuan untuk mengikat suami istri agar mereka tidak berperilaku menyimpang. Hal tersebut juga menegaskan agar mereka yang terikat dalam perkawinan hendaknya tidak jemu-jemunya mengusahakan agar hubungan mereka jangan sampai terganggu, sehingga hubungan setia itu berlangsung sampai mati, dan itulah merupakan hukum tertinggi bagi suami istri. Perkawinan dalam Veda dan susastranya mengandung prinsip 3S : Sakral-Suci-Sekali. Sebagai sebuah lembaga yang dibangun berdasarkan kesakralan dan kesucian, keluarga hendaknya mampu memupuk kembangkan nilai-nilai kesakralan dan kesucian dalam sebuah perkawinan. Setelah dikaruniai anak, maka mereka dituntut lagi dengan berbagai swadharma kepada anak, yang biasa dikenal dengan istilah sebagai guru (rupaka).
BAB V
PENUTUP
5.1Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1.Mantera pada Upacara perkawinan merupakan salah satu jenis sastra lisan yang merupakan bentuk puisi lama, yang mempunyai pengetahuan baru yang dapat dipelajari terhadap kandungan makna yang terdapat di dalamnya.
2.Selain itu, mantera juga merupakan salah satu bentuk rasa ungkapan sekaligus alat yang bersifat penyampaian baik kehadapan Yang Kuasa (Idha Sang Hyang Widhi Wase) maupun unsur alam maya (Alam Gaib).
3.Upacara perkawinan Hindu identik dengan upacara yajna yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hukum agama dengan dasar persyaratan harus memenuhi ketentuan hukum agama atau dharma.
4.Mantera pada upacara perkawinan, merupakan sebagian dari warisan budaya leluhur sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, yang dijadikan sebagai alat pelengkap dalam kegiatan adat, yang banyak terkandung ajaran nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat.
5.Dalam bentuk upacara perkawinan terdapat bentuk mantera yang mengarah pada dua arah yakni arah yang bersifah secara garis Horizontal (Hubungan manusia “Pinandite/Pemangku Adat” dengan seseorang yang menuju sebuah ikatan keluarga) dan secara garis vertikal (Hubungan manusia kehadapan Yang Kuasa serta ke unsur Alam Maya).
5.2Saran
Ada beberpa hal yang dapat dilakukan sehubungan dengan semakin berkurangnya pemahaman terhadap sastra lisan “Mantera”, khusunya pada pelaksanaan Upacara Perkawinan Hindu Suku Bali ini antara lain :
1.Bagi instansi yang berwenang, agar selalu mengadakan berbagai seminar terutama tentang sastra lisan daerah, dan bukan sebaliknya hanya berkisar pada sastra nasional saja.
2.Perlunya pengenalan sastra daerah terutama yang termasuk jenis sastra lisan “Mantera”, kepada generasi muda sebagai generasi penerus, agar tidak begitu saja dengan mudah melupakan warisan leluhur, sehingga dengan demikian dapat semakin dekat terhadap sastra daerah khususnya ragam sastra lisan Bali.
3.Selain sebagai proses pengenalan, di harapkan pulan pada generasi muda sebagai penerus terhadap kedinamisan nilai-nilai budaya yang juga merupakan dasar pengetahuan, agar dapat senantiasam ampu dalam proses pengaplikasiannya yang merupakan cerminan nilai-nilai moral dalam kehidupan .
4.Perlu pula digalakkan berupa pengenalan sastra lisan “Mantera”, yang banyak memiliki nilai positif terhadap tingkat-tingkat pendidikan yang ada, baik itu pendidikan yang bersifat formal maupun non formal, sehingga merupakan sebagai suatu pemahaman terhadap nilai-nilai budaya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi
1993a Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Bina Aksara
1993b Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Arthayasa, I Nyoman
2004. Petunjuk Teknik Perkawinan Hindu : Surabaya : Paramita
Ahimsa-Putra, Heddy Shri
2001. Strukturalisme ’Levi-Strauss’ Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta : Galang Printika Press.
Danomo, S. Djoko
1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Dan Kebudayaan
Darma, Budi
2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Endrawara, S.
2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama
Guntur Tarigan, Henry.
1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung : Penerbit Angkasa Bandung
Hartoko, Dick.
1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT Gramedia
Moeliono,
2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Pradopo, R. D.
2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media
Relly, Usman dan Asih,
1994. Teori-Toeri Sosial Budaya. Jakarta : Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti
Sedyawati, Edi, dkk.
2004. Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta : Pusat Bahasa
Sugihastuti
2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)
Tuloli,
2000. Kajian Sastra. Gorontalo : BMT Nurul Jannah
Waluyo, J.Herman,
1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga
BAB V
PENUTUP
5.3Simpulan
5.4Saran
Dalam buku : “Budi Darma” (Pengantar teori sastra) Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Bagi Goethe, sastra adalah sebuah dunia yang sangat sukar (Adams, 1971:591), dan karena itu harus dimengerti dan dihayati dengan serius. Dia percaya bahwa sastra merupakan dunia pemikiran, dan karena itu mempelajari sastra sama dengan mempelajari dunia pemikiran. Makin besar seorang sastrawan, makin besar kadar pemikirannya. Oleh karena itu, dia menganjurkan agar karya para sastrawan besar dipelajari dengan baik sebab dengan jalan mempelajari karya-karya besar itulah seseorang akan mampu memasuki dunia pemikiran dengan baik pula.
Goethe juga sadar bahwa alat utuk menuangkan pemikiran dalam sastra adalah bahasa. Karena itu, seseorang juga sebaiknya mempelajari bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan besar dalam menuliskan karya-karyanya. Untuk mempelajari bahasa asing dengan baik, dia juga berusaha untuk melakukan “total immersion”, yaitu meneburkan diri dengan baik dengan masyarakat pemakai bahasa asing yang dia pelajari. Sebagai contoh, dia bergaul dengan rapat dengan orang-orang teater Prancis yang kebetulan pada waktu itu bermain di kotanya, Frankfurt.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi
1993a Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Bina Aksara
1993b Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Arthayasa, I Nyoman
2004. Petunjuk Teknik Perkawinan Hindu : Surabaya : Paramita
Ahimsa-Putra, Heddy Shri
2001. Strukturalisme ’Levi-Strauss’ Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta : Galang Printika Press.
Danomo, S. Djoko
1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Dan Kebudayaan
Darma, Budi
2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Endrawara, S.
2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama
Guntur Tarigan, Henry.
1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung : Penerbit Angkasa Bandung
Hartoko, Dick.
1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT Gramedia
Moeliono,
2002. Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Pradopo, R. D.
2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media
Relly, Usman dan Asih,
1994. Teori-Toeri Sosial Budaya. Jakarta : Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti
Sedyawati, Edi, dkk.
2004. Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta : Pusat Bahasa
Sugihastuti
2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)
Tuloli,
2000. Kajian Sastra. Gorontalo : BMT Nurul Jannah
Waluyo, J.Herman,
1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga
TENTANG PEWIWAHAN/PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT HINDU DI BALI
1.Pengertian Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (Satya Alaki rabi).
2.Sistim Perkawinan
Susunan perkawinan menganut garis kepurusan (patrilenial).
3.Syarat-Syarat Perkawinan
a.Sudah mencapai usia deha-teruna sedapat mungkin disesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
b.Adanya persetujuan kedua belah pihak calon mempelai.
4.Larangan Perkawinan
Gamya gamana yang berarti hubungan kekeluargaaan pertikal orisontal dan pertalian sumenda yang terdekat sampai batas-batas tertentu.
5.Cara melangsungkan Perkawinan
Cara melangsungkan Perkawinan ada 2 (dua) cara :
a.Dengan cara biasa seperti :
Pepadikan, ngerorod, jejangkepan, ngunggahin.
b.Dengan cara khusus yaitu dengan cara nyeburin.
6.Sahnya Perkawinan
a.Adanya penyangaskara dengan bhuta saksi dan Dewa saksi.
b.Adanya manusa saksi yaitu persaksian dari prajuru Adat.
7.Akibat Hukum Perkawinan :
a.Dalam perkawinan biasa laki-laki berstatus sebagai purusa.
b.Dalam perkawinan nyeburin, yang wanita berstatus purusa.
c.Anak-anak yang lahir perkawinan termasuk keluarga purusa.
8.Perceraian :
Perceraian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
a.Karena kemauan kedua belah pihak
b.Karena kemauan sepihak, dengan alasan :
e.Suami/istri sakit gila, kuning, wangdu, amandel sanggama dalam batas-batas tertentu, (paradara) (anyolong smara), Brahmatia, Brunahatia, melaku-kan penganiayaan berat.
f.Suami melakukan drati krama ataupun tidak memberikan upajiwa dalam batas tertentu.
Perbaikan Kerangka Skripsi
MAKNA STRUKTUR MANTERA PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU HINDU BALI
(Suatu Penelitian Terhadap Kajian Budaya pada Masyarakat di Desa Paguyaman Bongo III, Kec. Wonosari, Kab. Boalemo )
Oleh
I. MADE SUTARJA
NIM. 311 404 014
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2008
Pembuangan Kalimat pada latar belakang
Keanekaragaman budaya Indonesia itu merupakan warisan luhur dan asli dari nenek moyang kita yang dapat mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku di tanah air Indonesia. Beragamnya suku di Indonesia merupakan ciri khas bangsa Indonesia dengan kebudayaan yang majemuk. Kemajemukan ini dapat ditemukan dalam setiap daerah termasuk kebudayaan yang dimiliki setiap daerah pasti berbeda-beda satu sama lain.
HAL-HAL PENJABARAN DALAM …
a.Latar belakang.
Kritik sastra berfungsi untuk memberikan uraian dan penerangan tentang karya sastra yang konkrit, baik makna karya sastra, strukturnya, maupun nilainya. Dengan demikian kritikus sebagai penerap prinsip kritik sastra perlu memberikan tafsiran, analisis dan seni-seni lainnya. Tanpa itu semua karya sastra tidak mungkin dipahami. Jadi di sini perlu diuraikan penafsiran (interpretasi), penguraian (analisis) dan penilaian (evaluasi). Ketiganya merupakan aspek kritik sastra yang utama yang saling erat dalam aktivitas penerapan kritik pada karya sastra.
(Foto Kopy ’BAHAN AJAR M.K. Kritik Sastra’ Oleh Ibu Elly)
b.Tradisi berpuisi sudah merupakan tradisi kuno dalam masyarakat. Puisi yang paling tua adalah mantera.
c.Apa yang kita lihat melalui bahasanya yang nampak, kita sebut struktur fisik puisi yang secara tradisional disebut bentuk atau bahasa atau unsur bunyi. Sedangkan makna yang terkandung di dalam puisi yang tidak secara langsung dapat kita hayati, disebut struktur batin atau struktur makna. Kedua unsur itu disebut struktur karena terdiri atas unsur-unsur lebih kecil yang bersama-sama membangun kesatuan sebagai struktur. Yang menjadi inti puisi adalah unsur tematik yang diungkapkan melalui medium bahasa yang mengandung kesatuan sintaksis. Untuk ungkapan itu, makna puisi diwujudkan dengan berbagai cara.
d.Puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinya. Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh. Dalam penafsiran puisi tidak dapat lepas dari faktor genetik puisi. Faktor genetik puisi dapat memperjelas makna yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan khas penyair. Unsur genetik itu adalah penyair dan kenyataan sejarah.
e.Puisi adalah karya sastra. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasanya lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya pengkonsentrasian atau pemadatan segenap kekutan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi juga padat. Keduanya bersenyawa secara padu bagaikan telur dalam adonan roti (Reeves, 1978 : 26).
f.Beberapa Batasan Puisi, Slametmuljana menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan yang meggunakan pengulangan suara sebagai ciri khasnya (1951 : 58). Pengulangan kata itu menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Batasan yang di berikan Slametmujana tersebut berkaitan dengan struktur fisiknya saja. James Reeves juga memberikan batasan yang berhubungan dengan strutur fisik dengan menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat (190). Hasa puisi menurut Coleridge adalah bahasa pilihan, yakni bahasa yang benar-benar diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair. Karena bahasanya harus bahasa pilihan, maka gagasan hasa pilihan, maka gagasan yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang terbagus pula (1960 : 5). Clive Sansom memberikan batasan puisi sebagai bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman intelektual yang bersifat majenasi dan emosional (1960 : 6).
Jika pengertian itu ditinjau dari segi bentuk batin puisi maka Herbert Spencer menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan (Clive Sansom, 1960 : 5). Sedangkan Samuel Johnson menyatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan yang penuh daya yang berpangkal pada emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian (Trigan, 1984: 5). Sementara itu, P.B. Sheeley menyatakan bahwa puisi merupakan rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan (Blair & Chandler, 1935 : 4). Selanjutnya Thomas Charlyle menyatakan bahwa puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Kennedy, 1971 : 331). Dan T.S. Eliot menambahkan bahwa yang diungkapkan dalam puisi adalah kebenaran (Kennedy, 1971 : 331).
Kedua pengertian yang di uraikan di atas berkenaan dengan bentuk fisik puisi dan bentuk batin puisi. Bentuk fisik dan bentuk batin lazim disebut pula dengan bahasa dan isi atau tema dan struktur atau bentuk dan isi. Marjorie Boulton menyebut kedua unsur pembentuk puisi itu dengan bentuk fisik (physical form) dan bentuk mental (mental form) (Marjorie Boulton, 1979 : 17, 129). Bentuk fisik dan bentuk mental itu bersatu padu menyaturaga. Namun demikian keduanya dapat dianalisis karena bentuk fisik dan bentuk batin itu juga di dukung oleh unsur-unsur yang fungsional membentuk puisi.
Jika dihubungakan dengan makna yang harus dikemukakan oleh penyair, Mattew Arnold menyatakan bahwa puisi hendaknya mengemukakan kritik terhadap kehidupan. McNaire menyatakan bahwa kritik itu merupakan reaksi penyair terhadap dunia (Sansom, 1960 : 5). Ekspresi imajinasi penyair itu baru bernilai sastra jika penyair mampu mengungkapkannya dalam bentuk bahasa yang cermat dan tepat. Ini berarti bahwa pilihan kata-kata, ungkapan, bunyi, dan irama harus benar-benar mendapat perhatian penyair (Tarigan, 1984 : 7). Di dalam puisi harus terjelmakan perasaan dan cita-cita rasa penyair (Edgar Allan poe 1960 : 8). Sedangkan Auden menyatakan abwa yang kacau (Kenndy, 1971 : 331). Pengalaman yang di ungkapkan penyair disamping bersifat emosional juga harus bersifat imajinatif (Tarigan, 1984 : 7-8).
Prof. Dr. Conny Semiawan menyatakan bahwa seorang seniman dapat menghasilkan kretifitas jika sedang dalam “passion”, yang berarti suasana jiwa yang luar biasa. Pengalaman jiwa dalam “passion” betul-betul dikuasai dengan jiwa emosi yang mendalam yang menghasilkan semangat luar biasa dan mampu menghasilkan “ego integritas”. Dengan “passion”, puisi mampu mempengaruhi siapapun yang membacanya. “passion” itu terjadi di atas tingkat kreatifitas penyair, yakni pada saat seseorang mengalami kedalaman emosi luar biasa melebihi “mood”. Tingkat perkembangan psikologis seseorang berada pada tingkat psikedelik dan iluminasi. Seluruh kesadaran penyair tertumpah pada kedalaman emosi yang ingin di sampaikan itu (1984 : 62).
Plett menambahkan bahwa dalam menelah puisi, hendaknya di pertahankan tiga aspek utama, yakni: (1) aspek struktur luar karya puisi (eksternal Strukturrelation): (2) aspek struktur batin (interne strukturrelation): dan (3) aspek dunia sekunder yang kompleks dan bersusun-susun (Teeuw,1983 : 2-3).
S. Effendi menyatakan bahwa dalam puisi terdapat dalam bentuk permukaan yang berupa larik, bait, dan pertalian makna larik dan bait. Kemudian penyair berusaha mengkonkritkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan, dan pelambangan. Dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya penyair bertitik tolak pada “mood” atau “atmosfer” yang dijelmakan oleh lingkungan fisik dan psikologis dalam puisi. Dalam memilih kata-kata, diadakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan atau eufoni. Jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi dengan makna (S. Effendi, 1982 : xi).
I.A. Richards menyebutkan adanya hakekat puisi untuk ).
I.A. Richards menyebutkan adanya hakekat puisi untuk mengganti bentuk batin atau isi puisi dan metode puisi untuk mengganti bentuk fisik puisi. Diperinci pula bentuk batin yang meliputi perasaan (feeling), tema (sense), nada (tone), dan amanat (intention). Sedangkan bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi (diction), kata konkret (the concrete word), majas atau bahasa figuratif (figurative language), dan bunyi yang menghasilkan rima dan ritma (rhyme and rhytm) (1976:129-225).
Dari batasan kedua tokoh tersebut, dapat dijelaskan bahwa unsur bahasa yang diperbagus dan diperindah itu dapat diterangkan melalui kata konkret dan majas (batasan kedua tokoh tersebut, dapat dijelaskan bahwa unsur bahasa yang diperbagus dan diperindah itu dapat diterangkan melalui kata konkret dan majas (bahasa figuratif). Secara terperinci majas dan kata konkret itu dijelaskan oleh Effendi menjadi: pengimajian, pelambangan, dan penghiasan. Uraian di atas bermaksud menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam puisi adalah bahasa konotatif yang “multiinterpretable”. Makna yang dilukiskan dalam puisi dapat makna lugas, namun lebih banyak makna kias melalui lambang dan kiasan. Makna itu diperinci lagi menjadi tema dan amanat yang didasarkan atas perasaan dan nada (suasana batin) penyairnya. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Tema bersifat lugas, obyektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subyektif, dan umum.
Untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup sulit. Namun beberapa pengertian yang tidak dapat dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan di sini. b penyairnya. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Tema bersifat lugas, obyektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subyektif, dan umum.
Untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup sulit. Namun beberapa pengertian yang tidak dapat dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan di sini. Beberapa pengertian yang diuraikan di atas jika didata dapat disebutkan sebagai berikut :
a.Dalam puisi terjadi pengkonsentrasian atau pemadatan segala unsur kekuatan bahasa;
b.Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi;
c.Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif;
d.Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e.Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan utuh menyaturaga tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya;
Disamping itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai saling keterkaitan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jalinan makna dalam membentuk kesatuan dan keutuhan puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih lengkap dari sekedar kumpulan unsur-unsur.
Jika dipaksa harus memberikan definisi puisi (yang sangat sukar di rumuskan), kira-kira adalah sebagai berikut :
“Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya”.
(Buku : “Teori dan Apresiasi Puisi” ’Herman J. Waluyo // Penerbit Erlangga 1987. lihat Daftar Isi’ Perpus. HB Jassin)
g.Masalah kesastraan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologi informasi yang amat pesat. Kondisi itu telah mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia.
Di antara bentuk dan jenis sastra lisan itu, misalnya, ada yang berupa kuncah atau undak-undakan ‘pantun’, paribasa ‘peribahasa’, dan jampi-jampi ‘mantera’ (semua ini termasuk dalam bentuk puisi) dan cerita prosa rakyat.
(Buku : “Struktur Sastra Lisan Aji” ‘Latifa Ratnawaty’Zainul Arifin Aliana, Muslim, Ahmad Bastari Suan’ Penerbit Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. 2002)
Dalam Buku (Edi Sedyawati, dkk. 2004. Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta : Pusat Bahasa)
Mantera adalah jenis puisi yang paling tua dalam sastra. Mantera diciptakan dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Alisjahbana (1985) mengelompokkan mantera dalam kelompok bahasa berirama. Demikian pula Nor (1985) menyebut mantera sebagai puisi bebas yang dapat dikategorikan ke dalam bahasa berirama sedang isinya merujuk pada hal-hal magis, penobatan, dan pembunuhan. Istilah lain untuk mantera adalah jampi, serapah, sembur, puja, cuca, seru, kemat, dan lain-lain.
Mantera itu biasanya dibacakan pada waktu berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan untuk membujuk hantu-hantu yang baik dan menolak hantu yang jahat.
Mantera yang termasuk dalam puisi melayu tradisional biasanya terikat oleh jumlah kata tiap larik, jumlah larik tiap bait, irama, dan rima. Ragam puisi lama ini banyak sekali yang nanti dibicarakan satu per satu berikut ini. Puisi lama ini umumnya disampaikan secara lisan, dinyanyikan, atau didendangkan.
Alisjahbana (1985:106-107) memperkenalkan satu mantera yaitu ”Mantera Menangkap Buaya” yang dikutipnya dari tulisan W.W Skeat dalam JSB berjudul ”Some Records of Malay Magic”. Hamid (1987:233) juga memperkenalkan satu mantera yang biasa dibacakan untuk menepungtawari rumah baru. Nor (1985:222 – 229) memperkenalkan 9 untai mantera yaitu (1) Memanggil Jembalang Tanah, (2) Membersih Tanah Tapak Rumah, (3) Pendinding, (4) Mengambil Nira Kelapa, (5) Menjerat Burung, (6) Membuang Badi Rusa, (7) Permainan Lukah, (8) Tawar Bisa, (9) Membunuh Peluru ke dalam Bedil.
Djamaris (1990:20 – 25) memperkenalkan dan membicarakan mantera berdasarkan tulisan Hooykaas (1952) dan Wilkinson (1907) yang memperkenalkan mantera yang biasa digunakan waktu berburu rusa, mengusir harimau, menyadap nira, menghindari pengaruh jahat hantu, jin yang tinggal di hutan, gunung, sungai, gua, dan sebagainya; dan mantera ”Doa Si Awang Lebeh”.
Dalam buku (Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media)
Bahasa Berirama
Adapun dalam bahasa berirama orang mendapat irama yang kuat dan teratur dengan jalan menyusun kalimat pendek-pendek, mengulang sesuatu lukisan dengan berbagai-bagai perumpamaan yang maksudnya sama. Acap benar dipakai kata permulaan kalimat yang serupa, sedangkan kata-kata dalam lukisan itupun sering pula sembunyi, baik tentang huruf hidup maupun tentang huruf mati. Oleh sekaliannya itu, serta pula karena bandingan dan perumpamaan yang dipakai itu sangat tepat membayangkan yang dilukiskan dan sangat kuat membangkitkan pikiran dan perasaan, maka bahasa berirama itu sesungguhnya sering amat indah. Di sinilah bahasa Melayu lama sampai ke puncaknya sebagai bahasa seni.
Dalam bahasa Melayu banyak terdapat bahasa berirama: cerita pelipur lara (dalam bahasa Minangkabau: kaba), pidato dalam berbagai-bagai upacara dan berbagai-bagai ilmu dan mantera, kata adat, pepatah dan lain-lain.
Agaknya pada tempatnya, kalau saya beri nasehat kepada pengarang-pengarang muda untuk memperhatikan bahasa berirama baik-baik, bukan untuk menirunya, tetapi untuk mempelajari betapa cakap-cakapnya orang dahulu itu memakai tenaga-tenaga yang tersembunyi dalam kata dan kalimat, dalam bunyi dan arti, dan bagaimana telitinya mereka memperhatikan alam sekelilingnya, yaitu dua syarat yang sampai sekarang masih menjadi ukuran bagi segala seni yang agak berarti.
Strukturalisme sesuai dengan aliran Kritik Baru meletakkan fokus perhatiannya pada karya sastra. Kesimpulannya tentang peran pengarang dalam penelitian sastra hampir sama. Kesimpulannya tentang peran pengarang dalam penelitian sastra hampir sama. Kritik baru kurang memberi arti pada faktor pengarang dengan menimbang bahwa biografinya tidak banyak menolong dalam memahami dan menilai karangannya, karena dunia karya adalah imajinasi yang berbeda dari dunia nyata yang dialami pengarang. Kecuali itu maksud atau “intention” pengarang dalam menulis roman, sajak atau lakon belum tentu terwujud dalam karya ataupun maksud yang dijelaskan oleh pengarang hanyalah pembenaran gagasan mengenai karangannya yang dinyatakan setelah bukunya terbit.
Di dalam strukturalisme pengarang disisihkan dari pusat perhatian dengan keyakinan bahwa karya sastra terwujud dalam proses “intertekstualitas” dengan karya-karya lain sehingga merupakan ramuan atau jalinan bersama antara karya-karya sejumlah pengarang. Artinya tidak ada hanya satu pengarang di belakang satu karya.
Di samping itu baik di dalam Kritik Baru maupun di dalam Strukturalisme karya dipandang sebagai kesatuan organis (organic unity) yang tertutup. Kalau Kritik Baru memisahkan dunia imajinasi dari dunia nyata tetapi bagaimanapun masih menganggap bahwa karya sastra masih menyajikan pengetahuan tentang dunia, Strukturalisme menganggap karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom yang tidak menempatkan manusia dengan dunianya di pusat perhatiannya, melainkan menekankan pada penelaahan struktur sebagai inti sastra. Yang penting adalah menemukan kaidah-kaidah umum, atau struktur dalam (deep structure) dibalik gejala sastra yang membentuk suatu tata sastra, sebanding dengan tata bahasa di dalam penelitian bahasa. Kalimat-kalimat di dalam karya tidak penting karena rujukannya ke dunia luar, melainkan karena menjadi sebagian dari struktur wacana yang mendasar.
Pembuangan kalimat pada latar belakang :
Berdasarkan tradisi yang dapat di lihat pada zaman dahulu untuk membentuk keluarga baru, haruslah melakukan beberapa prosesi yang secara adat wajib untuk dilakukan dan dilaksanakan. Hal ini merupakan suatu tradisi dan tidak bisa untuk di tinggalkan begitu saja. Pelaksanaan-pelaksanaan dalam melanjutkan perkawinan tersebut dilakukan melalui upacara yang bersifat adat dan sangat menggambarkan versi ketradisionalannya. Hal ini nampak pada penggunaan prasarana-prasarana yang dibutuhkan untuk melanjutkan pelaksanaan upacara tersebut oleh pemangku adat. Penggunaan prasarana tersebut memberikan makna dan keyakinan oleh suku Hindu Bali terhadap kedua mempelai dalam upacara adat perkawinan untuk memperoleh suatu kelanggengan dalam kehidupannya.
Di dalam suasana kehidupan yang serba modern saat ini, maka untuk melihat pelaksanaan dalam upacara adat perkawinan suku Hindu Bali secara utuh sudah tidak nampak lagi. Keadaan ini telah menggeserkan sedikit nilai kebudayaan yang secara utuh dan semata-mata akan menghilang sifat keasliannya. Sebab hal ini telah didukung adanya perkembangan-perkembangan dalam masyarakat sekitar yang bersifat praktis dan cenderung terlihat nasional. Seperti yang telah nampak adanya perkawinan dalam upacara adat di gabungkan dan dikolaborasikan dengan acara-acara resmi.
Pembuangan Kalimat Pada BAB III
4.4.1Teknik Pengumpulan Data
Mengingat judul penelitian adalah makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan suku Hindu Bali maka akan diadakan pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, teknik rekaman dan dokumentasi, pencatatan dan, teknik analisis data wawancara.
4.4.1.1Teknik Observasi
Teknik observasi dilaksanakan dalam penelitian ini untuk mengenal wilayah penelitian yang sebenarnya, mengenai keadaan dan situasi yang terdapat dalam lapangan dalam penelitian nantinya serta untuk menentukan informan yang dapat memberikan tanggapan tentang pelaksanaan perkawinan adat suku Hindu Bali.
Dalam teknik observasi ini, untuk memperoleh data yang sah, maka ditetapkan informan dengan ketentuan sebagai berikut :
I.Mengetahui tentang keberadaan mantera dalam upacara perkawinan.
II.Mempunyai peranan baik pada pelaksanaan maupun di luar pelaksanaan upacara dimaksud.
III.Masih berfungsi pendengarannya serta fasih ucapannya.
IV.Berumur antara 30 – 50, dengan jumlah informan yang ditetapkan untuk dapat menyempurnakan pada sumber data yang akan di analisis.
4.4.1.2Teknik Wawancara
Teknik wawancara dilaksanakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi mengenai makna struktur mantera pada upacara adat perkawinan suku Hindu Bali secara memadai dan akurat sehingga data yang diperoleh merupakan data yang valid.
4.4.1.3Teknik Rekaman dan dokumentasi
Teknik rekaman dilakukan dalam penelitian ini karena untuk mendapatkan informasi yang akurat, benar untuk dijadikan sebagai data yang akan dianalisis dan teknik dokumentasi untuk memberikan kepercayaan kepada pembaca terhadap informasi yang diperoleh dan memperkuat data yang didapat.
Pembuangan Kalimat ”Isi” pada BAB III
4.5Teknik Penelitian
4.5.1Metode dan Teknik Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang dapat memberikan secara sistematis fakta dan ciri populasi apa adanya, dalam hal ini adalah gambaran tentang makna struktur mantera dalam upacara adat perkawinan Hindu suku Bali.
Adapun teknik yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.Studi Pustaka
Kegiatan ini dilakukan dengan cara membaca buku-buku atau hasil penelitian yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan, yaitu sastra lisan Hindu Bali.
2.Wawancara
Wawancara ditujukan kepada informan dan penutur. Penutur yang dimaksud adalah orang-orang yang dapat menuturkan sastra lisan Hindu Bali dengan kriteria, antara lain; penutur asli (orang Bali Asli), memahami arti dan tujuan yang dituturkan serta mengenal lingkungannya.
3.Mencari dan mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan sastra lisan Hindu Bali.
4.Perekaman
Kegiatan ini dilakukan untuk merekam semua data (sastra lisan Hindu Bali) yang dituturkan oleh penutur.
5.Penerjemahan
Semua cerita rakyat yang berhasil direkam disalin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan pola bahasanya.
6.Analisis Struktur
Analisis struktur dilakukan dengan menempuh dua kegiatan sebagai berikut :
(1)Penelusuran terhadap unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita. Unsur-unsur struktur itu meliputi alur, latar, tokoh, dan tema yang kemudian dikaitkan dengan lingkungan cerita meliputi tempat bercerita, penutur cerita, kesempatan bercerita, cara bercerita.
(2)Menerapkan hubungan tataran satuan-satuan yang ada dalam cerita tersebut. Dengan menerapkan hubungan antara satuan-satuan itu dapat dilihat peran dan fungsi.
4.5.2Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam hal ini yaitu bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna keseluruhan. Unsur-unsur yang bisa mengembangkan makna keseluruhan itu adalah keterkaitan dari jalinan yang padu yang akan dianalisis dalam mantera yang mengarah pada struktur luar dan dalam.
Berikut terdapat beberapa prinsip dasar dalam penerapan untuk menganalisis karya sastra yang mengarah pada sastra lisan mengenai mantera melalui analisis struktural yakni sebagai berikut:
a.Analisis struktural bukanlah membedah, memisah-misahkan, menjumlah unsur-unsur struktur tetapi mencari hubungan unsur-unsur itu sehingga terdapat makna struktur keseluruhan.
b.Analisis struktural adalah menentukan atau melihat fungsi unsur-unsur dalam struktur struktur keseluruhan. Jadi setiap unsur hanya bermakna dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan berdasarkan tempatnya dalam struktur. Dengan demikian apa yang disebut makna suatu unsur pada suatu kondisi pengungkapan tertentu tidak bisa disingkap melalui penampilan formal unsur-unsur itu sendiri, melainkan harus melalui hubungan relasional antara unsur-unsur tersebut dengan unsur-unsur lain di dalam suatu totalitas, (Piliang, 1999:116). Arti baru muncul bila unsur-unsur bergabung membentuk struktur (Kaplan, 1999:240), (dalam Tuloli, 2000:44).
c.Semua unsur dalam karya sastra itu penting, sehingga tidak ada seleksi unsur dalam analisis. Unsur dominan bukanlah yang paling penting, melainkan menjadi pusat analisis karya itu .
d.Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsi fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik.
e.Analisis struktural menyangkut kajian relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacara, dan relasi intertekstual. Unsur-unsur mikroteks misalnya bunyi dalam kata, kata dalam kalimat, kalimat dalam alinea, dan alinea dalam konteks wacana yang lebih luas. Wacana adalah seluruh teks puisi dan novel atau rekaman ragam sastra lisan. Relasi intertekstual menyangkut hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun antara periode-periode yang berbeda.
f.Membaca karya sastra tidak cukup hanya melalui ringkasan. Dalam ringkasan terdapat unsur-unsur atau aspek sastra yang hilang.
Pembuangan Pada BAB I (1.8 Sistematika Penulisan)
1.8Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dilaporkan bentuk skripsi dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, definisi oprasional, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Pustaka yang terdiri dari hakikat makna struktur, pendekatan analisis struktural mantera, mantera sebagai salah satu jenis sastra lisan Bali, struktur mantera, bentuk sistem perkawinan, konsep tentang adat perkawinan Hindu suku Bali, analisis data.
Bab III : Metode Penelitian yang terdiri dari metode penelitian, pendekatan, sumber data, populasi dan sampel, teknik penelitian.
Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab V : Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar